Singgung Sultan Alauddin, Berikut Transkrip Lengkap Pidato Erdogan tentang Tsunami Aceh
Suara Darussalam – Dalam rangka memperingati 17 tahun Tsunami Aceh, Presiden Turki Receb Thayeb Erdogan ikut memberikan pidatonya tentang tsunami yang melanda Aceh 17 tahun silam. Tidak hanya itu, Erdogan juga menyingung sejarah hubungan masa lalu antara Aceh dan Turki Usmani.
Erdoga
menyebut bahwa hubungan persaudaraan antara Turki dan Indonesia telah berlangsung
sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam dahulu.
“Kita
punya ikatan persaudaraan yang kuat dan lama mengakar ke dalam sejarah ratusan
tahun silam. Permintaan bantuan dari sultan Aceh Allauddin yang tidak dibiarkan
tanpa jawaban oleh para leluhur kami, menjadi amanah tak ternilai yang kami
warisi, “ ujar Erdogan.
Ucapan itu disampaikan oleh orang nomor satu di Turki saat menghadiri acara Peringatan 17 Tahun Tsunami Aceh secara virtual, diselenggarakan oleh Aceh Global Diaspora Forum, Minggu (26/12/2021) kemarin.
Berikut
selengkapnya transkrip pidato Erdogan…
Saudara-saudara
yang terhormat, para hadirin yang mulia!
Dengan
hati yang tulus, cinta dan takzim, saya ucapkan salam utk anda semua. Meski
hanya dari jauh, saya sangat bersenanghati bisa mengikuti program yang
dilaksanakan oleh diaspora Aceh global ini, dalam rangka memperingati 17 tahun
tsunami Aceh yang terjadi pada 2004 lalu. Lewat kalian saya titipkan salam dan
cinta untuk seluruh saudara kami di seluruh penjuru Indonesia.
Saya
mendoakan semoga Allah menaungi dalam rahmatNya semua saudara kami yang wafat
pada musibah besar 2004 tersebut, keluarga yang ditnggal Allah ilhami kesabaran.
Saudara-saudara kita yang wafat, semoga Allah beri makam mulia para syuhada.
Kita
punya ikatan persaudaraan yang kuat dan lama mengakar ke dalam sejarah ratusan
tahun silam. Permintaan bantuan dari Sultan Aceh Allauddin yang tidak dibiarkan
tanpa jawaban oleh para leluhur kami, menjadi amanah tak ternilai yang kami
warisi.
Hari
ini pun kami terus melanggengkan solidarits terhadap saudara kami di Indonesia
sesuai tuntunan dari perintah nabi kita "umat Islam itu bersaudara".
Kami
memandang bahwa duka rakyat Indonesia adalah duka kami, bahagia mereka bahgia
kami. Meski jarak fisik yang jauh antara negeri kita, alhamdulillah kami tidak
pernah meninggalkan saudara kami di Indonesia sndirian di masa sulit.
Setiap
saat mereka membutuhkan, kami selalu kerahkan apa yang kami punya untuk Indonesia.
Sikap ini sekali lagi kami tunjukkan secara konkrit, terutama di masa begitu
setelah terjadi bencana tsunami pada 2004.
Begitu
mendapat kabar tentang bencana yang terjadi di Aceh, bangsa ini berduka begitu
dalam. Tanpa membuang waktu, campaign bantun segera dilakukan di seantero
negeri. Baik organ pemerintah terkait maupun lembaga sipil, semua bekerja
sepenuh jiwa raga dalam proses tersebut.
Bantuan
yg terkumpul dengan partisipasi mayoritas besar bangsa ini, segera kami
kirimkan ke lokasi. Pemerintah kami turut memberi dukungan di daerah yang
terdampak gempa dan tsunami, mengrimkan segera tim dari Kızılay dan TIKA ke
lapangan, dan berpartisipasi dalam pembangunan kembai kawasan.
Saya
sendiri saat menjabat sebagai PM, segera lakukan kunjungan ke Indonesia pada
2005, tidak lama setelah kejadian bencan tersebut.
Saya
menyaksikan sendiri dimensi kerusakan di Banda Aceh, sebagai salah satu kawasan
paling parah terdampak bencana. Dalam kunjungan tersebut, pada waktu yang sama
kami juga bisa melihat langsung bagaimana kedekatan yang ditunjukkan rakyat
aceh terhadap negara, bangsa dan pribadi saya sendiri.
Bantuan
pembangunan yang dikirimkan dari negara kami ke Indonesia melampaui jumlah 75
juta dolar. Kami ingin agar kalian selalu yakin bahwa kami akan terus melakukan
hal ini sebagai bentuk persaudaraan dan cinta tanpa pamrih di antara kita.
Sembari
menutup pembicaraan saya bersamaan ingatan ini, sekali lagi saya mendoakan
semoga saudara-saudara kami yang wafat pada bencana tsunami 17 tahun silam,
Allah naungi dlm rahmatNya, dan para karib kerabatnya Allah beri kesabaran.
Semoga Allah tidak lagi menguji kalian dan seluruh umat manusia dengan musibah
sangat pilu serupa.
Terima
kasih atas undangan baik dan kecintaan yg kalian tunjukan, Salam dari hati kami
yang dalam, untuk kalian dan seluruh saudara kami di Indonesia. Jaga Kesehatan!
[Diterjemahkan oleh Andika Rahman, Mahasiswa Indoensia di Turki. Dikutip dari
Group Sahabat Erdogan Aceh]
Siapa Sultan Alauddin yang Disinggung Erdogan?
Menurut situs wikipedia, Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil; meninggal tahun 1605) adalah sultan Kesultanan Aceh yang ke-10, yang berkuasa antara tahun 1596/1589–1604. Era pemerintahannya menjadi salah satu era penting dalam sejarah di wilayah Asia Tenggara karena pada masa itu untuk pertama kalinya wilayah perairan Selat Malaka kedatangan tiga kekuatan asing dari Eropa: Belanda, Inggris dan Prancis.
Kapal-kapal
dagang Eropa dari Belanda, Inggris dan kapal Prancis mulai berdatangan di
wilayah itu selama pemerintahan Sultan Alauddin ini.
Hal
ini menciptakan situasi baru di kawasan sejak bangsa pelaut ini bersahabat
dengan bangsa Portugis. Meskipun hubungan dengan Portugis senantiasa
menghadirkan rasa was-was bagi siapapun di kawasan itu.
Pemimpin
armada Belanda Cornelis de Houtman tiba di Aceh pada bulan Juni 1599.
Komunikasi antara Belanda dengan kesultanan pada awalnya berlangsung dengan
baik dan ramah, tetapi intrik Portugis memprovokasi Aceh menyerang kapal-kapal
Belanda.
Serangan
Aceh menewaskan De Houtman dan saudaranya Frederik de Houtman ditangkap dan
dipenjarakan. Pada bulan november 1600 dua buah kapal Belanda yang lain di
bawah pimpinan Van Caerden berlabuh di pantai Aceh.
Kedatangan
kapal-kapal ini diterima dengan baik oleh sultan. Beberapa tahanan Belanda
segera melarikan diri ke kapal Van Caerden sehingga membuat tentara Aceh
melakukan penggeledahan atas kapal-kapal Belanda.
Namun
Van Caerden menduga Aceh sedang merencanakan sesuatu yang buruk terhadap
kapal-kapal mereka, lalu mereka merampas banyak lada di pelabuhan dan segera
meninggalkan pelabuhan yang diikuti oleh tembakan yang dilepaskan oleh tentara
Aceh. Van Caerden berhasil melepaskan diri dan ia meninggalkan beberapa kapal
milik Aceh dan Portugis yang telah dibakar oleh orang-orangnya di pelabuhan.
Insiden
di pelabuhan dengan Belanda membuat Portugis berkeinginan mendirikan sebuah
benteng di muara Krueng Aceh. Menganggap telah bersahabat baik dengan sultan,
dengan penuh percaya diri mereka mengajukan permohonan itu. Namun sultan
mencurigai maksud Portugis itu dan menolaknya, membuat hubungan antara Aceh dan
Portugis menjadi dingin.[7] Pada tahun berikutnya 1601, sebuah sengketa muncul.
Sebuah
kapal Portugis mengejar kapal Arab yang membawa muatan kerajinan, kapal itu
diserang dan muatannya dirampas lalu dibawa ke Aceh. Kejadian ini membuat
pertimbangan lain bagi Belanda, guna menjadikan Portugis sebagai musuh utama
mereka di perairan selat Malaka dan dibawa oleh kapal Aceh. Bagi Aceh hal ini
menjadi penilaian yang lain tentang hubungan mereka dengan Belanda.
Pada
akhirnya Aceh lebih memilih berhubungan dengan Belanda daripada dengan
orang-orang Portugis. Melaksanakan misi perdamaian dengan Belanda, Aceh
mengirimkan dua orang utusan resmi ke Belanda.
Salah
seorang dari utusan itu meninggal di Middelburg namun yang lainnya berhasil
melakukan kesepakatan dengan Pangeran Maurits dari Nassau Ketika utusan ini
kembali ke Aceh pada bulan desember 1604, ia membawa banyak persembahan dari
Belanda untuk sultan.
Sebelumnya
pada tahun 1602 beberapa kali kapal-kapal angkatan laut Inggris dan Prancis
mengunjungi Aceh. Armada laut Inggris ini suatu ketika pernah bekerja sama
dengan Belanda dan berhasil menangkap sebuah galias besar milik Portugis. Ketika
armada ini melaporkan penangkapan ini kepada sultan, dia menyambutnya dengan
gembira dan menyampaikan rasa terima kasihnya kepada armada Inggris-Belanda.
Dilansir
kompas.com, Untuk melawan Portugis, Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahar juga
mengirim utusannya ke Turki dengan membawa berbagai hadiah. Utusan ini diminta
menemui Sultan Sulaiman Agung dan memohon bantuan untuk melawan Portugis yang
telah memblokade para pedagang di Samudera Hindia.
Sultan
Turki Ottoman segera menjawab permintaan Sultan Aceh dengan mengirimkan ahli
pembuat senjata dan prajurit untuk menghadapi Portugis. Bantuan tersebut
menjadi bukti bahwa Kesultanan Aceh dan Turki Ottoman memiliki sebuah hubungan
diplomatik yang baik.
Bukti
lain yang menguatkan hubungan antara Kesultanan Aceh dan Kesultanan Turki
adalah ditemukannya ratusan koin emas di Desa Gampong Pande, Aceh. Koin-koin
tersebut bertuliskan nama Sultan Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahar berdampingan
dengan Sultan Sulaiman I (Sultan Turki).
Posting Komentar untuk "Singgung Sultan Alauddin, Berikut Transkrip Lengkap Pidato Erdogan tentang Tsunami Aceh"