Masih Jauhkah Aceh dengan Tarim?
Oleh:
Max Al Fathany
Sekitar
4 tahun lalu, saya minta izin untuk ke Yaman. Tepatnya ke Tarim. Orangtua tidak
mengizinkan. Ya sudah, harus bagaimana. Patah semangat? Tidak. Maksudnya tidak
hanya patah. Namun semangat itu hancur berkeping-keping. Hahaha
Karena semangatku sudah hancur berkeping, saya duduk merenungi nasib "semangat" ke depannya. Kasian semangatku kalau dibiarkan begitu. Akhirnya, saya memilih bersyukur atas hancurnya semangat itu.
Kenapa? Karena ku
tahu, kini semangatku sudah banyak. Jika dulu sebelum patah lalu hancur
berkeping-keping, semangatku hanya satu. Bukan?
Dari
semangat yang telah banyak karena sudah berkeping-keping itu, saya berinisiatif
untuk tidak menyatukannya kembali. Karena, kalau menyatukan semangat yang
pernah patah menjadi utuh kembali, pasti punya semangat besar yang jelek. Ada
bekas di las misalnya.
Nah,
berangkat dari itu, saya memilih untuk membesarkan saja semangat-semangat kecil
dari kepingan itu menjadi semangat-semangat besar. Apa yang saya lakukan? Simak
terus kisahnya di bla bla blaa....
Di
antara yang saya lakukan ketika itu adalah tetap meminta ridha Ayah-Ibu, doa
dari mereka.
"Mak,
jika saya tidak diizinkan, yasudah, Mamak jangan nangis. Saya tidak akan pergi
tanpa izin dan doa Mak. Saya hanya mohon sama Mak, doain saya tetap semangat...",
dan masih panjang saya bilang ke Mak malam itu. Di ujung permintaan, saya
bilang ke Mak: Mak, jika saya tidak bisa ke Tarim, doakan semoga Ahlu Tarim itu
datang ke saya.
Dua
dan tiga tahun berlalu. Berjalan cepat. Dalam masa itu, saya telah menjadi orang
gila. Gila untuk Tarim. Saya membaca ratusan buku yang ada kaitan dengan Tarim.
Kisah negerinya, kisah ulamanya, hingga tata letak kotanya.
Saya
kenali ulama-ulamanya, saya baca semua karya tentang sirah mereka. Di antara
buku yang saya baca tentang itu adalah Biografi Faqih Muqaddam, biografi Syeikh
Ali Khali Qasam, biografi Syeikh Abu Bakar bin Salim, biografi Imam Umar bin
Abdurrahman al-Athas, muridnya; Imam Abdullah al-Haddad, hingga ulama yang
masih hidup masa sekarang. Buku-buku itu berbahasa Arab. Sebagian kecilnya
berbahasa Indonesia.
Setelah mengenali para ulamanya, saya mencari semua karya ulama itu. Buku-buku Imam Haddad menjadi buku favorit saya. Saya khatam berulang kali. Di antara yang paling merubah cara berpikir saya adalah buku beliau Risalah Adab Sulukil Murid.
Tipis bukunya, tebal dan berat isinya. Dan sekarang, saya merutinkan
baca buku beliau Risalah Mu'awanah. Itu akan saya jadikan sebagai wirid.
Berharap itu menjadi futuh bagi saya dalam membaca buku-buku lain.
Selain
karya Imam Abdullah al-Haddad, saya membaca hampir 70 karya Habib Abdullah bin
Alwi al-Aydrus. Karena bukunya tidak tebal, bisa dibaca sekali atau dua kali
duduk. Itu termasuk ulama yang sudah wafat yang masanya paling dekat dengan
kita. Adapun yang masih hidup, saya membaca karya Habib Umar bin Hafiz,
diantaranya: Qabas Nurul Mubin, Maqashid Halaqat Ta'lim, Manhaj Dakwah fi
Madrasah Hadhramaut, dan beberapa buku beliau yang lain. Falillahi al-hamd.
Mampu membaca buku-buku berbahasa Arab dengan mudah itu saya rasakan setelah belajar bahasa Arab ke Pare, Kediri. Saya percaya, penyebab utama saya terpilih menjadi salah satu wafidin ke Pare adalah doa Ibu saya.
Satu kalimat yang paling saya kenang dari kalam Sayyidil Habib Salim asy-Syatiri adalah: Tidak perlu jauh-jauh keluar untuk mencari wali. Di rumahmu ada wali, yang doanya mustajabah. Kalam itu menjadi PSTS bagi saya layaknya PLTA misalnya.
Jika PLTA
disebut Pembangkit Listrik Tenaga Air, maka PSTS adalah Pembangkit Semangat
Tenaga Spiritual.
Tidak
sampai di situ. Sejak kepulangan saya dari Pare, satu per satu Ulama Tarim,
Yaman mulai berdatangan ke Aceh. Lebih-lebih sejak kepulangan Sayyidil Habib
Muhammad bin Ahmad Al-Athas dari Jakarta ke Simpang Ulim, Aceh. Mungkin itu
menjadi alasan paea habaib membuka mata untuk ziarah Aceh. Saya merasakan ada
madad besar sejak saat itu.
Dari
sekian banyak para ulama Tarim yang ziarah Aceh, hampir 90% saya menjumpai
mereka. Ada saja caranya membuat saya bisa berjumpa. Sekali lagi, saya
merasakan madad ini dan meyakini ini adalah kekuatan doa Ibu.
Hingga
kini, hubungan ulama Yaman yang pernah ziarah Aceh itu terjalin baik dengan
kami. Komunikasi kami terus berjalan lewat WA dan media sosial lainnya. Sidi
Syeikh Ali Baharmy satu di antaranya. Ada Sidil Habib Abdurrahman al-Habsyi yang
sering saya hubungi untuk istifadah ilmu. Dan, masih banyak yang lain.
Saya sering mencari informasi terkait pelajar Aceh yang ingin berangkat ke Tarim guna manitipkan hadiah buat para ulama mereka. Dan, kalau ada yang pulang dari Tarim, para ulama di sana juga menitipkan hadiah balasan untuk kami.
Saya
merasakan nikmat sekali dikirimi hadiah oleh ulama Tarim. Cinta untuk Tarim
kini benar-benar saya rasakan. Tarim, tunggu saya di waktu yang tepat yang
telah Allah tuliskan. Aku akan menjumpai Tarim. Pun, jika tidak aku, maka
anakku.
***
Sahabatku, foto ini menjadi foto terbaik yang pernah saya lihat di tahun 2021. Betapa tidak, Syeikh Ali Baharmi dengan senyum khas yang —wallahi, sangat saya rindukan— tersuguh di bibir mulianya dengan memakai kopiyah Aceh hadiah dari kami. Foto ini sampai ke kami di tengah malam waktu kita di Aceh, jam 3 malam.
Begitu melihat fotonya, seakan ada kekuatan besar yang tertancap di hati.
Bahagia, haru, senang sekali, semua bercampur yang membuat mataku panas
menitikkan airnya.
Akhir kata, semoga kita bertemu di Aceh bulan depan, Sidi.
(Dikutip dari Facebook Max Al Fathany )
Posting Komentar untuk " Masih Jauhkah Aceh dengan Tarim?"