Hukum Tamu Tidak Diundang Makan pada Resepsi Perkawinan
Pelaksanaan kenduri. Foto dari internet |
Oleh Tgk Alizar Usman
Dalam fiqh dikenal adanya istilah tathafful, yakni
sebutan untuk orang yang masuk ke suatu kaum tanpa diundang.
Tathafful ini, hukumnya
haram kecuali diketahui ada keridhaan dari pemilik acara sebagaimana dijelaskan
oleh Zakariya al-Anshari berikut ini :
)وَيَحْرُمُ التَّطَفُّلُ) وَهُوَ حُضُورُ الْوَلِيمَةِ
مِنْ غَيْرِ دَعْوَةٍ إلا إذَا عَلِمَ رِضَا الْمَالِكِ بِهِ لِمَا بَيْنَهُمَا
مِنْ الْأُنْسِ وَالِانْبِسَاطِ.
Dan haram tathafful, yakni
menghadiri walimah tanpa diundang kecuali apabila dimaklum ridha pemiliknya,
karena diantara keduanya terjadi rasa saling suka dan gembira.[1]
Imam al-Nawawi mengatakan
dalam kitabnya, Raudhah al-Thalibin :
يحرم التطفل واستثنى المتولي وغيره فقالوا إذا كان في
الدار ضيافة جاز لمن بينه وبين صاحب الطعام انبساط أن يدخل ويأكل إذا علم أنه لا
يشق عليه
Haram hukumnya tathafful,
al-Mutawally dan lainnya mengatakan, apabila dalam rumah ada jamuan dimana
antara dia dan pemilik jamuan ada rasa
gembira, maka boleh masuk dan turut serta makan apabila dimaklumi hal itu tidak
menimbulkan kesukaran atas pemilik jamuan.[2]
Adapun dalil-dalil fatwa di
atas antara lain kisah yang diriwayat dari Abu Mas’ud r.a. sebagai berikut :
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: كَانَ
رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ: أَبُو شُعَيْبٍ، وَكَانَ لَهُ غُلَامٌ
لَحَّامٌ، فَرَأَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَرَفَ فِي
وَجْهِهِ الْجُوعَ، فَقَالَ لِغُلَامِهِ: وَيْحَكَ، اصْنَعْ لَنَا طَعَامًا
لِخَمْسَةِ نَفَرٍ، فَإِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَدْعُوَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ، قَالَ: فَصَنَعَ، ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَاهُ خَامِسَ خَمْسَةٍ وَاتَّبَعَهُمْ
رَجُلٌ، فَلَمَّا بَلَغَ الْبَابَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ هَذَا اتَّبَعَنَا، فَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَأْذَنَ لَهُ، وَإِنْ
شِئْتَ رَجَعَ، قَالَ: لَا، بَلْ آذَنُ لَهُ يَا رَسُولَ اللهِ،
Dari Abu Mas’ud al-Anshari
r.a. beliau mengatakan, ada seorang Anshar yang bernama Abu Syu’aib, memiliki
seorang hamba sahaya penjual daging. Suatu hari dia melihat tanda-tanda lapar
di wajah Nabi SAW, kemudian dia perintahkan hamba sahayanya : “Kasian,
buatkanlah makanan untuk lima orang, aku ingin mengundang Nabi SAW bersama
empat sahabat lainnya. Abu Mas’ud mengatakan, hamba sahaya itupun membuatnya.
Kemudian Abu Syu’aib itupun menemui Nabi SAW mengundang Nabi SAW bersama empat
sahabatnya. Namun ada seorang yang ikut (tanpa undangan). Maka beliau bersabda,
“Tapi ini ada satu orang yang ikut. Jika mau, kamu bisa mengizinkan dan jika
kamu mau, dia akan kembali. Orang Anshar
tersebut menjawab, “Tidak, akan tetapi aku izinkan ya Rasulullah.” (H.R.
Muslim)[3].
Dalam hadits ini, Rasulullah
SAW kepada yang mengundang jamuan menanyakan kerelaan menerima tamu yang tidak
diundang dan seandainya yang mengundang tidak rela, maka tamu yang tidak
diundang akan pergi meninggalkan jamuan makan.
Ini menunjukkan jamuan makan
yang dihadiri tamu yang tidak diundang haram memakan jamuan. Dalam hadits ini
juga menjadi petunjuk seandainya pemilik jamuan memberikan izin, maka boleh tamu
yang tidak diundang makan bersama tamu lainnya. Keharaman menghadiri jamuan
makan tanpa diundang juga dipahami dalam sabda Nabi SAW berikut ini :
مَنْ دُعِيَ فَلَمْ يُجِبْ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ
وَرَسُولَهُ، وَمَنْ دَخَل عَلَى غَيْرِ دَعْوَةٍ دَخَل سَارِقًا، وَخَرَجَ
مُغِيرًا
Barangsiapa diundang tidak
memenuhinya, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
barangsiapa menghadiri walimah tanpa diundang maka ia masuk laksana pencuri dan
keluar sebagai perampok. (H.R. Abu Daud)[4]
Al-Iraqi mengatakan, Abu Daud
telah mentakhrij hadits ini dari Abaan bin Thaqiq, sedangkan dia majhul.[5]
Adapun dalil boleh menghadiri
jamuan makan bagi tamu tidak diundang apabila diduga ada kerelaan pemilik
jamuan, meskipun kerelaan itu diketahui tidak melalui ucapan antara lain hadits
Anas bin Malik mengatakan,
بَعَثَنِي أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَدْعُوَهُ وَقَدْ جَعَلَ طَعَامًا، قَالَ:
فَأَقْبَلْتُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ،
فَنَظَرَ إِلَيَّ فَاسْتَحْيَيْتُ، فَقُلْتُ: أَجِبْ أَبَا طَلْحَةَ، فَقَالَ
لِلنَّاسِ: قُومُوا
Abu Thalhah mengutusku menemui
Rasulullah SAW untuk mengundangnya, sesungguhnya Abu Thalhah telah
mempersiapkan makanan. Anas mengatakan, maka akupun memenuhinya, sedangkan
Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya, beliau memandangku, akupun memberi
penghormatan kepadanya. Kemudian aku mengatakan, “Aku memenuhi perintah Abu
Thalhah”. Maka Rasulullah memerintahkkan sahabat-sahabatnya “ Bangunlah”. (H.R.
Muslim)[6]
Dalam hadits ini, yang
diundang hanya Rasulullah SAW, namun karena Rasulullah SAW menduga yang
mengundangnya rela diikutsertakan sahabat-sahabatnya, maka beliau memerintahkan
sahabat-sahabatnya juga ikut serta. Berdasarkan pemahaman ini, maka Imam Muslim
menempatkan hadits ini dalam “Bab boleh mengikutsertakan orang lain kerumah
orang yang dipercaya ridha yang demikian.”[7]
REFERENSI
[1] Zakariya al-Anshari, Asnaa
al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 227
[2] Al-Nawawi, Raudhah
al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Juz. VII, Hal. 339
[3]. Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1608, No. 2036
[4] Abu Daud, Sunan Abu Daud,
Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 341, No. 3741
[5] Al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib
fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VII,, Hal. 70
[6] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Syamilah, Juz. III, Hal. 1612, No. 2040
[7] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1609
Posting Komentar untuk "Hukum Tamu Tidak Diundang Makan pada Resepsi Perkawinan"