Lebih utama orang fakir atau kaya dalam pandangan Islam?
Oleh Tgk Alizar Usman
Lebih
utama fakir atau kaya?Menjawab pertanyaan di atas, ‘Izzuddin Abdussalam
menjawab dengan membagi manusia dalam tiga kondisi, yakni :
1. Seseorang yang diduga akan istiqamah dalam
agama selama dia dalam keadaan kaya dan berubah keadaannya menjadi pelaku
maksiat apabila dalam keadaan fakir. Maka ini, tidak ada perselisihan pendapat
bahwa baginya, kaya itu lebih baik dari pada fakir
2. Seseorang yang diduga akan istiqamah dalam
agama selama dia dalam keadaan fakir dan berubah keadaannya menjadi pelaku
maksiat apabila dalam keadaan kaya. Ini juga tidak ada perselisihan pendapat
bahwa baginya, fakir itu lebih baik dari pada kaya
3. Seseorang apabila fakir dia tetap teguh
dengan sikap yang seharusnya sebagai seorang fakir seperti ridha dan sabar.
Apabila dia kaya, dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai orang
kaya seperti dermawan, berbuat kebajikan dan bersyukur.
Terjadi
khilaf pendapat ulama dalam menentukan mana lebih utama bagi kondisi yang
ketiga ini. Sebagian ulama berpendapat lebih utama fakir dan sebagian ulama
lain mengatakan lebih utama kaya. Kemudian ‘Izzuddin Abdussalam mengatakan,
pendapat yang terpilih adalah lebih utama kaya.[1]
Namun
demikian, ulama lain seperti al-Ghazali berpendapat fakir yang sabar lebih
utama dari orang kaya yang bersyukur.[2]
Dalil-dalil
kaya lebih utama dari fakir. Adapun dalil-dalil yang kemukakan oleh ‘Izzuddin
Abdussalam adalah sebagai berikut [3]:
1. Karena Nabi SAW memohon perlindungan kepada
Allah dari kefakiran dan tidak boleh dimaknai fakir tersebut dengan makna fakir
jiwa, karena khilaf zhahir dengan tanpa dalil. Redaksi hadits dimaksud berbunyi
:
أَن
رَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أعوذ بك من
الْفقر و الْقلَّة والذلة،
Sesungguhnya
Rasulullah SAW mengatakan, sesungguhnya aku berlindung dengan-Mu dari
kefakiran, nestafa dan kehinaan. (H.R. Abu Daud, al-Nisa’i, Ibnu Hiban dan
al-Hakim. Al-Hakim mengatakan, hadits shahih atas syarat Muslim)[4]
2. Hadits riwayadari Abu Hurairah r.a., beliau
berkata :
أَتَى
فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِينَ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ ذَوُو الْأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَا
وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ يُعْتِقُونَ وَلَا نَجِدُ مَا نُعْتِقُ، وَيَتَصَدَّقُونَ
وَلَا نَجِدُ مَا نَتَصَدَّقُ، وَيُنْفِقُونَ وَلَا نَجِدُ مَا نُنْفِقُ؟ فَقَالَ
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى أَمْرٍ إذَا فَعَلْتُمُوهُ أَدْرَكْتُمْ بِهِ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ وَفُتُّمْ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ؟ قَالُوا بَلَى، قَالَ: تُسَبِّحُونَ
اللَّهَ تَعَالَى وَتَحْمَدُونَهُ وَتُكَبِّرُونَهُ عَلَى إثْرِ كُلِّ صَلَاةٍ
ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ مَرَّةً فَلَمَّا صَنَعُوا ذَلِكَ سَمِعَ الْأَغْنِيَاءُ
بِذَلِكَ فَقَالُوا مِثْلَ مَا قَالُوا، فَذَهَبَ الْفُقَرَاءُ إلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّهُمْ قَدْ قَالُوا
مِثْلَ مَا قُلْنَا؟ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ
يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Beberapa
para fakir dari kaum muslimin menemui Rasulullah SAW, mereka mengatakan, “Ya
Rasulullah!, orang-orang kaya hidup dengan derajat yang tinggi dan nikmat yang
cukup, mereka dapat memerdekakan hamba sahaya tetapi kami tidak dapat
melakukannya, mereka bersadaqah tapi kami tidak dapat melakukannya dan mereka
melakukan infaq tetapi kami tidak dapat melakukannya”.
Lalu
Rasulullah SAW bersabda : “Apakah belum pernah aku tunjukkan kepada kalian
suatu perkara apabila kalian lakukan, maka dengan sebabnya kalian akan sama
dengan orang-orang kaya sebelum kalian dan terluput darinya oleh orang-orang
sesudah kalian?”. Para fakir itu menjawab :”Benar”.
Rasulullah
SAW melanjutkan, “Kalian bertasbih kepada Allah Ta’ala, memuji-Nya dan
bertakbir pada setiap selesai shalat tiga puluh tiga kali.” Manakala
orang-orang fakir tersebut melakukannya, para orang kaya mendengarnya, lalu
orang-orang kayapun mengatakan apa yang dikatakan para fakir.
Kemudian
para fakir tersebutpun pergi menemui lagi Rasulullah SAW dengan memberitahukan
kepada beliau bahwa orang-orang kaya juga mengatakan apa yang mereka katakan.
Pada ketika itu kepada mereka, Rasulullah SAW bersabda : “Yang demikian itu
merupakan karunia Allah yang didatangkan kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya”.
Hadits
ini dengan redaksi sedikit berbeda telah diriwayat oleh Imam Muslim dalam
Shahihnya.[5] Jawaban Nabi SAW pada akhir hadits terhadap keluhan para
fakir muslimin “itu merupakan karunia Allah yang didatangkan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”, menunjukan kaya lebih utama dari pada
fakir.
Komentar
terhadap dalil yang mengataan fakir lebih utama
1. Sebagian ulama yang mengatakan lebih utama
fakir, berhujjah dengan ghalib keadaan Rasulullah SAW dalam keadaan fakir
sehingga diberikan kekayaan oleh Allah Ta’ala dengan penghasilan Khaibar,
tebusan dan harta Bani Nazhir.
Jawaban
:
Jawaban
Izzuddin Abdussalam : Para anbiya dan auliya tidak hadir dalam suatu hari
kecuali harinya itu lebih baik dari hari sebelumnya. Barangsiapa yang sama
keadaannya dalam dua hari, maka termasuk orang yang tertipu dan barangsiapa
hari kemarennya lebih baik dari harinya sekarang, maka termasuk terlaknat,
yakni terus menerus tertipu. Ujung usia Rasulullah SAW ditutup dengan keadaan
kaya dan kaya beliau tidak melepaskannya dari perbuatan yang biasa beliau
lakukan pada hari fakirnya berupa dermawan, pemurah dan sederhana sehingga
beliau wafat dimana baju besinya tergadai pada seorang Yahudi. Bagaimana tidak
seperti ini, padahal Rasulullah SAW sendiri bersabda :
يَا
ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ، وَأَنْ تُمْسِكَهُ
شَرٌّ لَكَ
Hai
anak Adam, sesungguhnya memberikan kelebihanmu lebih baik bagi kamu dan
menahannya keburukan bagimu.(H.R. Muslim)[6]
2. Nabi SAW pernah bersabda :
يَدْخُلُ
فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِينَ الجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ
وَهُوَ خَمْسُمِائَةِ عَامٍ.
Fakir
dari kaum muslimin akan masuk syurga setengah hari sebelum yang kaya dari
mereka. Setengah hari itu lima ratus tahun.(H.R. al-Turmidzi, Hadits hasan
shahih).[7]
Dan
Nabi SAW juga pernah bersabda :
اطَّلَعْت
عَلَى الْجَنَّةِ فَرَأَيْت أَكْثَرَهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْت عَلَى النَّارِ
فَرَأَيْت أَكْثَرَهَا النِّسَاءَ
Aku
pernah melihat syurga, di dalamnya, aku melihat kebanyakannya adalah para fakir
dan juga pernah melihat neraka, di dalamnya aku melihat kebanyakannya adalah
perempuan. (H.R. Bukhari).[8]
Mengomentari
dua hadits di atas, ‘Izzuddin Abdussalam mengatakan keadaan tersebut merupakan
keadaan yang ghalib terjadi dari keadaan orang kaya dan fakir. Karena orang
kaya tidak bersikap seperti sifat kehidupan orang fakir dan mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala dengan kelebihan yang dipunyai dalam hidupnya kecuali
sedikit sekali, nadir dan hampir tidak ditemukan. Adapun orang yang sabar atas
kefakirannya sedikit, sedangkan orang yang ridha lebih sedikit lagi dari yang
sedikit tersebut.[9]
Dalam
mengomentari hadits orang fakir lebih dahulu masuk syurga dibandingkan orang
kaya, Syeikh Ibrahim al-Bajuri mengatakan, mengutamakan orang kaya dari orang
fakir tidak menafikan masuk syurga orang fakir lebih dahulu dari pada orang
kaya. Karena kadang-kadang hal-hal yang tidak didapati pada orang yang utama
justru didapati pada orang yang tidak utama. Pendapat lebih utama orang kaya
ini merupakan pendapat yang mu’tamad menurut Ibrahim al-Bajuri.[10]
Kesimpulan
1. Terjadi khilaf pendapat ulama dalam
menentukan mana lebih utama bagi kondisi seseorang apabila fakir dia tetap
teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai seorang fakir seperti ridha dan
sabar dan apabila dia kaya, dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya
sebagai orang kaya seperti dermawan, berbuat kebajikan dan bersyukur.
2. Pendapat lebih utama orang kaya lebih
rajih sesuai dengan dalil-dalil di atas
3. Bahkan Imam Ghazali sendiri yang
berpendapat secara umum, fakir lebih utama, juga mengakui kadang-kadang orang
kaya yang bersyukur lebih utama dari fakir yang sabar. Beliau mengatakan,
terkadang orang kaya yang bersyukur yang lebih utama dibandingkan dengan orang
fakir yang sabar. Mereka itu adalah orang kaya yang memberlakukan dirinya
seperti orang fakir. Ia tidak memegang harta untuk dirinya kecuali sebatas
kebutuhan darurat, dan selebihnya ia gunakan untuk hal-hal kebaikan.[11]
4. Sebagaimana diuraikan di atas, khilaf
ulama di atas terjadi dalam menentukan mana lebih utama antara fakir atau kaya.
Karena itu, dhahirnya miskin di sini dimasukkan dalam kelompok fakir. Karena
pengertian miskin yang ma’ruf juga termasuk orang yang tidak dapat memenuhi
sebagian kebutuhannya, meskipun berada sedikit di atas dibanding fakir dalam
bab zakat.
5. Adapun do’a Nabi SAW dalam hadits
al-Turmidzi berbunyi :
اللَّهُمَّ
أَحْيِنِي مِسْكِيناً وَأَمِتْنِي مِسْكِيناً وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ
الْمَسَاكِيْن
Ya
Allah, hidupkan dan matikan aku dalam keadaan miskin serta kumpulkan aku
bersama orang-orang miskin (H.R. al-Turmidzi).
Ibnu
Hajar al-Asqalani mengatakan, isnadnya dhaif. Masih menurut Ibnu Hajar
al-Asqalani, hadits ini juga telah diriwayat oleh Ibnu Majah, namun sanadnya
juga dhaif. Dalam al-Mustadrak al-Hakim, hadits ini diriwayat dari ‘Itha’ dari
Abu Sa’id. Al-Baihaqi meriwayat dari ‘Ubadah bin al-Shaamit.
Menurut
al-Baihaqi do’a Nabi SAW memohon miskin bukan dalam arti kurang harta, akan
tetapi miskin yang kembali kepada makna rendah hati dan tawadhu’.[12]
[1]
Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal.
362-363
[2]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 258
[3]
Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal.
363-364
[4]
Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 366
[5]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 416, No. 595
[6]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 718, No. 1036
[7]
Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 156, No. 2354
[8]
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 117, No. 3241
[9]
Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal.
363-364
[10]
Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 285
[11]
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 137
[12]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Talkhish al-Habir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal.
233-23
Posting Komentar untuk "Lebih utama orang fakir atau kaya dalam pandangan Islam?"