Hukum penggabungan qadha puasa Ramadhan dengan puasa sunat Syawal
Penggabungan qadha puasa Ramadhan dengan puasa sunat Syawal
Oleh Tgk Alizar Usman
Masalah ini dalam kajian fiqh, termasuk dalam masalah Tasyrik fii al-niat (penggabungan dua ibadah dengan mengkombinasikan niat).
Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah wa an-Nadhair menyebutkan bahwa mengkombinasikan niat ada beberapa katagori :
1. meniatkan satu ibadah dengan disertai niat lain yang bukan ibadah dan kadang-kadang dapat membatalkan ibadat itu sendiri, seperti menyembelih hewan ditujukan untuk Allah dan lainnya.
Ini bisa menyebabkan haramnya sembelihan tadi. Namun ada juga yang tidak membatalkan ibadah tadi, seperti berwudhu’ atau mandi dengan menyertakan niat mendinginkan badan.
Alasannya karena mendinginkan badan tadi meskipun tanpa niat juga tercapai dengan wudlu atau mandi, maka tidak mengurangi keikhlasan. Contoh lain adalah qira-ah dalam shalat dengan niat qira-ah dan memberi tahu, Ini tidak batal shalatnya.
Termasuk dalam masalah ini adalah puasa sunnah dengan tujuan pengobatan dan haji dengan tujuan berdagang. Ibnu Abdussalam mengatakan ibadah seperti itu tidak mendatangkan pahala, namun Imam Ghazali mengatakan dilihat dari mana niat yang lebih banyak, kalau yang lebih besar adalah niat karena Allah maka tetap dapat pahala.
2. menggabung ibadah fardlu dengan sunnah. Ini ada yang sah keduanya dan ada yang sah fardhu saja atau sunnah saja dan ada juga yang tidak sah kedua-duanya .
a. contoh yang sah keduanya antara lain niat shalat fardlu sekaligus sebagai tahiyyatul masjid. Menurut pengarang syarah al-Muhazzab tidak ada khilaf dalam mazhab Syafii bahwa keduanya sah dan mendapatkan pahala.
Begitu juga seseorang yang mandi junub hari jum'at, kemudian dia niat mandi wajib dan jum'at sekaligus.
b. contoh yang sah fardhunya, seperti orang haji berniat fardlu dan sunnah, padahal dia belum pernah haji, maka yang sah fardhunya. Contoh lain qadha shalat pada malam Ramadhan disertai niat shalat Tarawih, maka menurut Ibnu Shilah sah qadha shalatnya, tidak sah tarawih.
c. contoh sah sunnah saja, seperti seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat dan sedekah, maka yang sah sedekahnya bukan zakatnya.
d. contoh tidak sah keduanya antara lain, imam dalam shalat berjama’ah sudah dalam posisi rukuk, lalu seorang masbuq membaca satu takbir dengan niat sebagai takbiratul ihram dan sekaligus sebagai takbir intiqalat, maka tidak sah shalat simasbuq tersebut sama sekali, karena ada tasyrik pada niat. Contoh lain adalah shalat dengan niat shalat fardhu dengan sekaligus shalat rawatib.
3. menggabungkan ibadah fardlu dengan fardlu lain. Berkata Ibnu Subki : Ini tidak sah kecuali masalah haji dan umrah, yaitu haji qiran, dimana didalamnya digabung ibadah umrah wajib dan haji wajib.
Menurut as-Suyuthi ada contoh lain yaitu mandi wajib sambil menyelam dengan niat wudlu’ juga. Ini sah kedua-duanya menurut pendapat yang lebih sahih.
4. menggabungkan dua ibadah sunnah. Qufal mengatakan hukumnya tidak sah. Namun as-Suyuthi mengatakan pernyataan itu bertentangan dengan hokum sah mandi dengan niat untuk jum’at dan hari raya sekaligus pada ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at.
Contoh lain adalah berkumpul shalat hari raya dan gerhana, lalu dibaca dua khutbah dengan niat untuk keduanya, maka hukumnya adalah sah. Demikian juga sah menggabung shalat qabliyah dhuhur dan tahiyyatul masjid.
Demikian lagi juga sah dengan ijmak ulama seorang imam shalat mengeraskan suaranya pada takbir dengan niat memperdengarkan kepada makmum.
5. Meniatkan pada yang bukan ibadah sesuatu yang bukan ibadah juga, sedangkan keduanya berbeda pada hokum.
Contohnya berkata seseorang pada isterinya : “Engkau haram untukku” dengan niat thalaq dan zhihar sekaligus. Menurut pendapat yang lebih sahih, suami tersebut boleh memilih antara keduanya.1 Menggabung Qadha Ramadhan dengan Sunnah Syawal
Menggabung Qadha Ramadhan dengan Sunnah Syawal termasuk dalam katagori menggabung ibadah fardlu dengan sunnah. Hukumnya ada yang sah dan ada yang tidak sah. Mengenai menggabung Qadha Ramadhan dengan Sunnah Syawal mari kita simak pendapat para ulama, yaitu :
1 Berkata Muhammad bin Sulaiman al-Kurdy al-Madny :
“ Dhahir hadits وأتبعه ستا من شوال"” dan hadits lainnya, tidak menghasilkan pahala puasa enam apabila diniatkannya bersamaan dengan qadha Ramadhan, tetapi Ibnu Hajar menjelaskan dapat asal pahala, tidak dapat kesempurnaannya, apabila diniatkan puasa enam, sama halnya dengan lainnya seperti puasa Arafah dan ‘Asyura Bahkan Imam ar-Ramli mentarjihkan dapat asal pahala semua perbuatan sunat dilakukan bersamaan dengan fardhu, meskipun tidak diniatkan perbuatan sunat itu selama tidak ada yang memalingkan dari darinya seperti seseorang qadha Ramadhan pada Bulan Syawal, sedangkan dia meniatkan qadha puasa enam pada Bulan Zulqaidah”.2
Lengkapnya hadits di atas adalah :
من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر
Artinya : Barang siapa yang berpuasa bulan Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari bulan Syawal, maka dia seperti puasa sepanjang masa.(H.R. Muslim)3
2. Berkata Pengarang Mughni :
“Kalau seseorang berpuasa qadha Ramadhan pada Bulan Syawal atau nazar ataupun lainnya, apakah dapat baginya sunat atau tidak ?.
Belum pernah aku lihat yang menyebutnya. Dhahirnya dapat, tetapi tidak dapat baginya pahala yang disebutkan (seperti puasa sepanjang masa), khususnya orang yang luput puasa Ramadhan dan dia berpuasa untuk syawal , karena tidak terbenar atasnya makna yang telah tersebut dahulu”.4
Namun demikian, Imam Nawawi salah seorang dimana fatwanya menjadi ikutan dalam Mazhab Syafi’i dan al-Asnawi berpendapat lain. Kedua beliau ini mengatakan, jika diniat puasa sunat dan fardhu pada puasa tersebut, maka keduanya tidak sah.
Ibnu Hajar al-Haitami yang hidup sesudah kedua tokoh tersebut, kemudian mengoreksi pendapat Nawawi dan al-Asnawi tersebut dengan menjelaskan bahwa pendapat itu baru dapat diterima apabila puasa sunat tersebut merupakan maqshud lizatihi (diqashad diri puasa). Kemudian al-Haitamy mengatakan, disyariatkan puasa enam bulan Syawal ini bukanlah merupakan maqshud lizatihi, tetapi yang menjadi maqshud-nya hanyalah wujud puasa pada bulan Syawal. Oleh karena itu, ia sama dengan shalat tahiyatul masjid. Maka yang diinginkan di sini adalah wujud puasa enam hari pada bulan Syawal, baik dengan sendirinya maupun digabungkan dengan lainnya.5
Kesimpulan
1. Berdasarkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitamy di atas, maka meniatkan puasa enam bulan Syawal pada saat mengqadha puasa Ramadhan pada bulan Syawal dapat menghasilkan asal pahala puasa enam, tetapi tidak menghasilkan pahala yang sempurna seperti disebutkan, yaitu pahala puasa sepanjang masa.
2. Akhirnya, bagi yang mampu dan kuat, maka sebaiknya niat itu satu-satu. Artinya kalau mampu, maka puasa qadla dulu baru melakukan sunnah syawal.
Atau kalau kurang mampu, maka puasa syawal dulu karena waktunya pendek hanya sebulan, lalu mengqadla Ramadhan di bulan lain karena waktunya fleksibel selama setahun hingga Ramadhan berikutnya.
Kalau merasa kurang mampu juga, maka lakukan dengan menggabungkan puasa Ramadhan dengan puasa sunnah Syawal, tetapi ini kurang afdhal.
DAFTAR PUSTAKA
1. As-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadhair, al-Haramain, Indonesia, Hal. 15-17
2.Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Hal. 113
3.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 822
4.Sayyed al-Bakri Ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 268. lihat Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 310
5.Zainuddin al-Malibary dan Sayyed al-Bakri Ad-Dimyathi, Fathul Muin dan hasyiahnya, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 271
Posting Komentar untuk "Hukum penggabungan qadha puasa Ramadhan dengan puasa sunat Syawal"