Kudeta militer Myanmar dan kegagalan reformasi Suu Kyi
Oleh: Pizaro
Kudeta terhadap pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar U Win Myint oleh Militer Myanmar kembali menunjukkan semakin gagalnya transisi demokrasi di Myanmar.
Meski kudeta ini mengejutkan karena beberapa hari lalu militer masih mengatakan tidak akan melakukan kudeta terhadap Suu Kyi, tapi sejatinya akar konstitusi di Myanmar memberikan jalan untuk melakukan tindakan-tindakan anti demokrasi.
Perlu dicatat, pada tahun 2008 para jenderal Myanmar menciptakan dan mengadopsi Konstitusi di mana militer menjadi pemegang kekuasaan sesungguhnya.
Konstitusi ini dirancang khusus untuk memungkinkan militer mengendalikan kementerian utama, memiliki jatah 25 persen kursi di parlemen, dan mengantongi hak veto.
Militer juga memiliki kaki tangan di parlemen melalui The Union Solidarity and Development Party(USDP): yang sebagian besar terdiri dari mantan jenderal, kroni-kroninya, serta orang-orang yang selama ini dibesarkan militer.
Jadi bolehlah Suu Kyi dan NLD menjadi pemimpin administratif di Myanmar, tapi sejatinya kekuasaan utama itu ada di tangan militer.
Kudeta yang terjadi di Myanmar sebenarnya tidak lepas dari konflik politik antara NLD dan militer.
Dari 476 kursi di Parlemen hasil pemilu November 2020, NLD meraih kemenangan telak dengan 396 kursi, sedangkan mantan-mantan jenderal hanya mendapatkan 33 kursi.
Sementara 166 kursi lainnya disediakan bagi orang yang ditunjuk militer sebagaimana aturan konstitusi (pro militer) di Myanmar.
Jika ditotal jumlah itu tetap tidak bisa melampaui kursi NLD di parlemen nasional.
USDP sendiri hanya memegang hanya 71 kursi dari total 1.117 di Parlemen nasional dan semua majelis negara bagian dan lokal. Jumlahnya 46 lebih sedikit dibandingkan tahun 2015.
Kondisi ini memberi NLD kendali penuh atas badan legislatif dan dinilai tidak menguntungkan militer.
USDP dan militer pun melempar tuduhan bawah NLD telah melakukan kecurangan pemilu: sebuah jalan pintas untuk menumbangkan jalan bagi NLD untuk kembali berkuasa.
Di sisi lain, kudeta ini juga menampilkan ironisme atas relasi Suu Kyi-Militer yang telah dibangun saat dia naik kekuasaan pada 2015.
Jika orang mengatakan kemenangan NLD pada 2015 sebagai langkah transisi demokrasi di Myanmar, nyatanya klaim itu sangat jauh dari apa yang sesungguhnya terjadi dalam politik domestik Myanmar.
Hubungan sipil-militer di Myanmar pun memburuk. Konflik etnis semakin meningkat. Tekanan internasional atas krisis Rohingya terus berlanjut.
Kesulitan sosial-ekonomi semakin memburuk dengan pandemi virus corona.
Saat pemilu, lebih dari 1,5 juta pemilih di daerah etnis tidak diizinkan untuk memilih dengan dalih keamanan.
Media-media pemerintah juga menyensor suara-suara yang berbeda pendapat yang membuat pertarungan menjadi tidak imbang, khususnya terhadap partai-partai etnis yang tidak memiliki sumber daya memadai.
Saat berkuasa, Suu Kyi gagal memenuhi janji kampanyenya seperti reformasi konstitusi, rekonsiliasi dan perdamaian nasional, perbaikan sosial ekonomi, serta terus membiarkan militer melakukan tindakan kekerasan kepada sejumlah kelompok etnis, termasuk Rohingya.
Inilah mengapa Suu Kyi sendiri gagal menjadi pemimpin yang melindungi hak-hak Muslim Rohingya, karena meski menjadi pemimpin negara, dia tidak sepenuhnya dapat mengendalikan militer.
Suu Kyi pun tidak berdaya untuk mengkritisi Militer dalam sidang pengadilan internasional atas tuduhan genosida terhadap muslim Rohingya.
Alih-alih tampil sebagai pembela HAM, peraih nobel perdamaian itu justru menjadi tameng militer dari serangan dunia internasional atas kekerasan yang berlangsung di Rakhine.
Foto: Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing dan Aung San Suu Kyi. (Soe Zeya - Reuters)
Posting Komentar untuk "Kudeta militer Myanmar dan kegagalan reformasi Suu Kyi"