Beragamalah Seperti Cara Beragama Anak-anak dan Orangtua
"BERAGAMALAH SEPERTI CARA BERAGAMA ANAK-ANAK DAN ORANG TUA"
Oleh Tgk. Muhammad Iqbal Jalil
Ma'had Aly MUDI MESRA Samalanga
(Rangkuman dari Pengajian Kitab Syarah Kubra karya Imam Sanusi - Hawasyi Al-Hamidi bersama Guru Kami Waled Tarmizi Al-Yusufi Beberapa Hari yang Lalu di Dayah MUDI, Aceh)
Dalam pengajian kitab Syarah Kubra, kami menyimak uraian menarik tentang ucapan Umar bin Abdul Aziz dalam mengawal masyarakat agar selamat dari penyesatan pemikiran yang semakin bertebaran saat itu dengan mengarahkan mereka agar beragama dengan cara beragamanya orang tua yang lemah atau cara beragamanya anak-anak saja.
عليكم بدين العجائز
"Beragamalah seperti cara beragama orang tua yang lemah!"
عليك بدين الصبي
"Beragamalah seperti agamanya anak-anak!"
Anak-anak dan orang tua saat itu pemikirannya jauh lebih selamat dari terpengaruh dengan pemikiran nyeleneh yang muncul dari Ahlul Ahwa' atau kelompok sesat yang pemikiran mereka memperturut keinginan hawa nafsu. Anak-anak masa itu merupakan anak-anaknya para Sahabat dan orang tua yang dimaksud adalah mereka sisa-sisa didikan para Sahabat yang masih hidup. Mereka adalah orang-orang yang memahami agama secara sederhana seperti apa yang diajarkan oleh para Sahabat. Maka mengikuti mereka sebenarnya adalah mengikuti ajarannya para Sahabat dan Salafus Shalih.
Jika ditanya, kenapa seperti itu arahan Umar bin Abdul Aziz? Kenapa tidak diarahkan saja dengan bahasa yang lugas agar beragama dengan cara beragamanya para Sahabat dan Salafushalih?
Imam Sanusi menjelaskan bahwa slogan itu muncul di zaman haijanul bida' (munculnya gelombang bid'ah). Hal ini dapat dipahami dari konteks pertanyaan yang menjadi dasar ungkapan ini muncul berkaitan dengan Ahlul Ahwa', yaitu tentang bagaimana hukumnya mempelajari pemikiran mereka.
Imam Sanusi menjelaskan bahwa dengan muncul gelombang fitnah dan berangkat dari kekhawatiran terpengaruhnya masyarakat dalam pemikiran menyimpang, maka dianjurkanlah kepada mereka agar beragama seperti cara beragamanya anak-anak dan orang tua, karena mereka adalah didikan para Sahabat dan di sisi lain kelompok menyimpang tidak menjadikan mereka sebagai bidikan untuk menyebarkan pemikiran mereka. Aliran-aliran menyimpang lebih banyak menyasar kalangan rasionalis dalam menabur benih pemikiran mereka.
Ungkapan Umar bin Abdul Aziz ini hampir sama dengan nasehat beberapa Ulama tuha dan Teungku-teungku di Aceh, "Kajeut lagee geu peureunoe le Guree aleh ba jameun, kajeut lagee lam kitab Masailai, kajeut lagee lagee i'tikeud 50 yang ta meureunoe di TPA jameun, atau ungkapan semisalnya." Itu semua adalah ungkapan yang bertujuan untuk menyelamatkan masyarakat agar tidak tergerus dalam arus pemikiran destruktif yang menghanyutkan akidah mereka.
Sebagaimana lazimnya yang kita saksikan saat ini bahwa kaum Muslimin yang tinggal di kampung, tidak kenal internet dan jarang bersentuhan dengan aneka ragam pemikiran luar, iman mereka biasanya lebih selamat. Sementara kalangan generasi muda yang suka membaca di internet tanpa pendampingan guru biasanya lebih mudah terpapar pemikiran menyimpang dan membuat mereka jatuh dalam kebingungan yang sebagiannya bahkan sampai meragukan adanya Tuhan. Nauzubillah!
Dalam kondisi seperti ini, solusi yang tepat untuk menyelamatkan masyarakat umum yang tidak secara khusus mendalami ilmu agama adalah mengajak mereka untuk masuk dalam hirzil ma'mun (benteng penjagaan yang selamat dari serangan musuh). Apa itu? Beragamalah dengan cara sederhana sebagaimana yang diajarkan oleh Ulama dahulu yang tidak sedikit sedikit mengkafirkan, tidak menganggap Tuhan memiliki organ fisik atau bertempat seperti makhluk, tidak ekstrim dan radikal serta ramah dengan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan syariat. Di sisi lain perlu juga menjaga diri agar tidak terpengaruh pemikiran liberal yang toleransinya sampai keblabasan.
Lalu bagaimana dengan tanggung jawab sebagai seorang Muslim menghadapi serangan musuh dalam perang pemikiran yang kian berkecamuk?
Tidak perlu khawatir! Biarkanlah para ulama yang pasang badan dan menanggung kesakitan dalam perang pemikiran ini. Mereka memiliki persenjataan yang lengkap serta kelihaian dalam bertempur. Maka biarkanlah mereka berdiri di saf terdepan dalam peperangan ini. Jika kita yang lemah mencoba ikut-ikutan dalam perang ini, takutnya kita malah terkena anak panah bidikan musuh atau kita akan terperangkap sehingga malah kemudian akan bergabung bersama pasukan musuh. Tidak ada cara lain bagi kita selain berlindung dalam benteng penjagaan (hirzil ma'mun).
Benteng penjagaan itu adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin Abdul Aziz dengan nasehat beliau "alaikum bidinil 'ajaiz" atau "alaikum bidinis shabiy" yang substansinya kurang lebih sama dengan nasehat Ulama agar beragama dengan cara sederhana yang sudah diajarkan turun temurun oleh para Ulama di nusantara sejak dahulu dan menjadi pedoman mayoritas Kaum Muslimin jauh sebelum pemikiran-pemikiran yang aneh itu muncul, yaitu Islam berlandaskan manhaj Ahlussunnah Waljamaah dan bermazhab dengan salah satu mazhab Mu'tabarah (Mazhab Syafii).
Kenapa tidak diarahkan saja agar Kaum Muslimin mengikuti pemahaman Sahabat atau Salafusshaleh? Kenapa tidak diarahkan saja agar umat ini kembali kepada Alquran dan sunnah? Jawabannya; Anjuran seperti itu sama saja mengarahkan mereka dalam kebingungan (ihalah ila jahalah), karena setiap kelompok sesat juga mengaku diri mereka paling sesuai dengan pemahaman Sahabat dan Salafusshaleh atau mengaku diri paling sesuai dengan Alquran dan Sunnah. Kalau seperti itu yang diarahkan, maka sama saja seperti orang buta diarahkan masuk dalam medan pertempuran dalam kondisi mereka tidak mampu membedakan mana kawan dan mana lawan. Tentu saja hal ini sama saja dengan menggiring mereka kepada kebinasaan.
Demikian kurang lebih yang dapat Alfaqir terjemahkan dan rangkum dari uraian Guru dalam pengajian Kitab Syarah Kubra. Jika ada yang keliru, itu sepenuhnya karena kekurangan Alfaqir dalam memahami uraian yang Guru sampaikan. Wallahu A'lam bis Shawab!
Samalanga, 7 Februari 2021
.
Posting Komentar untuk "Beragamalah Seperti Cara Beragama Anak-anak dan Orangtua"