Islam masa kecil dan sebab kurang dekatnya generasi kita dengan pemikiran ulama Aswaja
Oleh Fauzan Inzaghi
Salah satu kenapa aktifis kampus tidak dekat dengan pemikiran Aswaja ketika memasuki dunia kampus, padahal masa kecil mereka dididik di lingkungan Ahlussunah Wal Jama'ah atau aswaja.
Ya salah kita thalibul ilm juga. Sedikit sekali buku pemikiran aswaja yang diterjemahkan, jangankan tersebar yang diterjemahkan saja sedikit sekali.
Dan sebagian besar aktifis orang umum yang gak bisa bahasa arab, jadi sangat wajar pada perkembangan pemikiran mereka sedikit demi sedikit, ukiran ajaran aswaja yang diukir sejak mereka kecil menghilang.
Seolah islam yang mereka kenal sekarang ajaran baru yang sangat berbeda dengan apa yang mereka pelajari dimasa kecil.
Walau sering mereka langsung memutuskan meninggalkan islam yang mereka pelajari waktu kecil karena menganggap bahwa yang sekarang jauh lebih "logis".
Tapi jauh dilubuk hati mereka masih ada kegelisahan "benarkah islam yang aku pelajari dimasa kecil, yang mana seluruh orang dikampungku beragama dengannya adalah ajaran yang salah, dan yang aku pelajari sekarang itu benar?
Benarkah seperti itu". Kegelisahan ini akan terus bergejolak jauh dilubuk hati mereka tanpa bisa mereka kendalikan.
Begitulah keadaan diera pra-medsos, jarang sekali mahasiswa umum terutama aktifis kampus bahkan aktifis islam yang mengenal nama-nama besar ulama aswaja dalam dunia pemikiran seperti Syeikh Said Ramadhan albuty, syeikh Abdullah bin Bayyah, syeikh Zahid alkaustary, syeikh Mustafa Shabry, syeikh Abdul Karim mudarris, syeikh Muhammad Salam Madkur, syeikh Nadim Jisr, Hakim Ummah Asyraf Ali Thahanawi, Maulana Said Palanpury, syeikh Nuruddin Itr, dll.
Jangankan membaca buku dan karya mereka, bahkan mendengar nama mereka masih jarang. Mungkin diantara mereka hanya beberapa nama yang lumanyan populer seperti syeikh wahbah zuhayly, syeikh khidr husein atau syeikh ibn asyur.
Tapi itupun sedikit sekali, terbatas, lagi-lagi karena sedikitnya buku mereka yang diterjemahkan.
Makanya banyak dari mereka ketika masa muda lagi aktif-aktifnya membaca buku-buku pemikiran karya non-aswaja(gak salah membaca buku apa aja), memberontak pada tradisi islam yang mereka pelajari waktu kecil.
Tapi makin tua banyak yang merasa "kok seolah yang aku pelajari waktu kecil dulu gak ada benarnya ya?"
Kegelisahan itu muncul dan terus dipendam, sampai akhirnya era medsos datang, mereka mulai mendengar pemikiran beberapa ulama aswaja.
Walaupun dari ringkasan buku yang tersaji dimedsos, melalui status-status singkat oleh para pelajar yang sehari-sehari berenang dilautan buku ulama aswaja
Banyak dari para aktivis ini, diusia mereka yang mulai memasuki tua, mereka mulai merasa ternyata islam yang aku pelajari ketika kecil sehebat ini ya?
Kok bisa dulu aku dulu menganggapnya kampungan? Kok bisa dulu aku sejauh itu? Ternyata Islam yang diajarkan orang tua dan nenek kakekku dulu mampu menjawab banyak permasalahan yang selama ini mengganjal dalam hatiku.
Kemana saja aku selama ini? Keadaan seperti ini tentu dirasakan banyak orang ketika era medsos masuk. Mungkin ini salah satu efek positif medsos.
Masalah baru muncul, ternyata tahap baru dalam pemikiran mereka ini membuat mereka ketagihan bermedsos, karena ingin selalu melihat updetan tentang ulama pemikiran ulama-ulama yang sesuai dengan ajaran islam yang pelajari ketika kecil.
Kadang karena kecaduan ini membuat mereka melupakan lagi ulama kampung yang mengajarkan ajaran tadi.
Padahal isi ajarannya sama, bahkan disana mereka bisa belajar langsung, bahkan ada keberkahan majlis dan musyafahah(tatap muka).
Ini malah bertentangan dengan ajaran aswaja yang sangat menekankan pada musyafahah dalam belajar islam.
Sudah jadi tugas siapa saja untuk mengingatkan mereka agar tidak meninggalkan musyafahah yang menjadi ushul dalam belajar islam.
PR lainnya adalah bagaimana mencegah lahirnya kelompok ini muncul dimasa depan, yaitu menerjemahkan buku-buku ulama aswaja, dan mengenalkan lebih luas pemikiran mereka dikampus.
Terutama dikalangan aktifis dan intelektual kampus, dengan menjelaskan bahwa islam yang mereka pelajari waktu kecil semaju ini loh pemikirannya.
Ini identitas islam kalian, orang tua kalian, nenek kalian, buyut kalian, dll.
Hanya saja pemikiran itu diterjemahkan dengan baju yang bisa menjadi solusi untuk problematika yang akan kalian hadapi hari ini, sesuai denhan zaman kalian tapi tidak menghilangkan ajaran islam masa kecil kalian.
Tidak masalah bagi kalian melakukan pertualangan pemikiran, itu lumrah, tapi paling tidak, kenali dulu identitas kalian sendiri.
Pesan ini harusnya jadi PR untuk disampaikan untuk generasi intelektual aswaja generasi ini dan selanjutnya, agar kita tidak mengulangi kesalahan atau kekurangan yang sama.
Posting Komentar untuk "Islam masa kecil dan sebab kurang dekatnya generasi kita dengan pemikiran ulama Aswaja"