Non Muslim Damai dalam Syari`at Islam di Aceh
Masjid Raya Baiturrahman. Sumber: internet
Oleh Teuku Zulkhairi
Ketika menulis untuk majalah Suara Darussalam di tahun 2014, penulis sempat mewawacarai pandangan beberapa tokoh non muslim yang tinggal di Aceh tentang Syari`at Islam . Hasilnya ternyata sungguh mencengangkan. Mereka justru merasakan banyak nilai-nilai positif dari Syari`at Islam yang sesungguhnya juga mereka butuhkan. Umat non Islam di Aceh hidup damai dalam naungan Syari`at Islam.
Meski Syari`at Islam telah belasan tahun diterapkan di Aceh, namun tidak lantas merusak kerukunan umat beragama. Pola interaksi umat Islam dengan non Muslim terjalin begitu baik dan mesra. Bahkan, umat non Islam di Aceh tidak merasa keberatan dengan penerapan Syari`at Islam di Aceh.
Hal
itu misalnya dikatakan Sahnan Ginting, S.Ag, Pembimas Agama Hindu Kanwil
Kementerian Agama Prov. Aceh. Menurut Sahnan, “Sesuai dengan konsep ajaran
Islam bahwa penerapan syari’at, menurut pemahaman kami, tidak diterapkan bagi
non Muslim. Cuman kan, umat non Islam juga hendaknya bisa menyesuaikan diri
dengan kondisi masyarakat/umat Islam di Aceh,”.[1]
Sahnan
juga mengakui, pihaknya merasa damai hidup di Aceh yang menerapkan Syari`at
Islam . “Sepengatahuan kami, selama saya menjabat sebagai Pembimas Hindu selama
tujuh tahun di Aceh, belum pernah kami jumpai adanya keluhan umat Hindu apabila
mereka berhubungan dengan masyarakat Muslim di Aceh yang menerapkan Syari`at
Islam . Tidak pernah terjadi gesekan,” kata Sahnan memberi keterangan.
Oleh
sebab itu, Sahnan juga mengakui pihaknya ingin menerapkan kerukunan umat
beragama. “Dalam agama kami sendiri, kami diajarkan untuk menghormati umat
lain, sebab, bagaimana kita menghormati diri sendiri jika kita tidak
menghormati orang lain, “ kata Sahnan lagi.
Sahnan
menyebutkan, misalnya perihal berpakaian yang etis. Menurutnya, berbusana yang
sopan itu dalam masing-masing agama sebenarnya sudah ada. Cuman dalam islam
dijelaskan lebih terang lagi aturan berpakaian yang bernuansa syari’at,
misalnya dengan menutupi bagian-bagian tubuh. “Jadi, kami sangat memaklumi
penerapan Syari`at Islam di Aceh,” ujar Sahnan.
Sementara
itu, agamawan Budha, Wiswadas, S.Ag, M.Si, juga memberikan pengakuan serupa.
Wiswadas mengakui damai hidup di Aceh meskipun Aceh memberlakukan Syari`at
Islam . “Secara pribadi saya mendukung pelaksanaan Syari`at Islam di
Aceh, dalam artian pelaksanaan syaria’t Islam benar-benar dilaksanakan dengan
tepat sehingga efek dari pelaksanaan Syari`at Islam bisa memberikan
keteduhan, perlindungan dan keamanan bagi umat non Islam itu sendiri, “ ujar
Wiswadas.[2]
Wiswadas
mengakui, selama ia di Aceh, masyarakat Aceh berinteraksi secara sosial dengan
baik dengan umat Non Muslim. “Saya juga punya pengalaman, saya bisa
berinteraksi dengan warga non muslim, mereka bisa berbaur dan menghargai, dalam
konteks yang sifatnya umum seperti gotong royong, kunjungan orang sakit dan
sebagainya. Ini suatu kebiasaan yang lazim nilai-nilai yang berlaku secara
universal,” kata Wiswadas menceritakan.
Syari`at
Islam yang bermuatan rahmatan lil ‘alamin dianggap
Wiswadas sebagai suatu nilai yang sangat tinggi dan
universal. “Kalau Syari`at Islam itu ditegakkan, maka
kita tidak akan takut meninggalkan barang-barang berharga kita di depan umum,”
kata Wiswadas.
Sementara
itu, masyarakat Tionghoa di Banda Aceh mengaku sama sekali tidak terganggu
dengan pemberlakuan syariat Islam yang berlaku di daerah tersebut. Sebagai non
muslim, warga Tionghoa turut merasa dihargai selama hidup di daerah tersebut
dengan tidak adanya pemaksaan-pemaksaan mengikuti pelaksanaan syariat
Islam. "Selama ini kita nyaman-nyaman saja. Kan pemberlakuannya bukan
untuk non muslim, meskipun begitu sebagai non muslim kita menjaga juga,"
ujar Ketua HAKKA Aceh, Kho Khie Siong, Senin 17 Februari 2014, sebagaimana
dilansir atjehpost.com. [3]
Menurutnya
selama ini dirinya bersama tetua setempat kerap menganjurkan agar gadis-gadis
Tionghoa di Banda Aceh untuk berpakaian sopan. Mereka juga sering memberikan
nasehat-nasehat agar berlaku sewajarnya dan menghormati penduduk Aceh yang
mayoritas Islam.
"Meskipun
non muslim, kita juga menjaga aturan-aturan yang ada di daerah Aceh. Kan dimana
bumi dipijak di situ langit dijunjung," katanya. Dia mengaku secara umum
banyak warga Tionghoa, terutama komunitas HAKKA Aceh tidak merasa canggung
dengan peraturan syariat Islam. Begitu pula dengan pelaksanaan ibadah,
"tidak ada problem kita. Tapi yang perlu diingat, kita di HAKKA itu
beragam. Ada mualaf juga di sana bukan cuma non muslim dan saya tidak ingin
menonjolkan masalah agama, apalagi kita merasa nyaman di sini (Banda
Aceh)."
Sementara
itu, pengakuan mengejutkan datang dari tokoh Katolik di Aceh, yaitu Barron
Ferrison yang merupakan Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Aceh. Sebagaimana di
lansir Majalah Suara Darussalam.[4] tahun 2014, dalam Coffe
Morning kalangan Jurnalis Aceh di Kanwil Kementerian Agama Prov. Aceh,
Barron mengakui sangat bahagia di Aceh. “Sungguh sangat luar biasa
kalau (syariat Islam kaffah) benar-benar ditegakkan, karena
hampir sama dengan yang kita perjuangkan. Kami Katolik, di Aceh sangat
dilindungi", ujar
Barron Ferison.
Ketika ia diberi kesempatan berbicara, Baron, begitu
ia disapa spontan mengatakan, “Saya merasa menjadi khatolik sejati selama di
Aceh, tidak pernah dikekang untuk beribadah.” Semua peserta yang hadir
tercengang mendengar pernyataan pria bernama lengkap Baron Ferison Pandiangan
itu. Pasalnya, saat itu beberapa media nasional dan
internasional menyebutkan bahwa kebebasan beragama di Aceh
terkekang. Bahkan, Baron mengatakan Syariat Islam membuat ia
nyaman. Sehingga ia pun mendukung bila Syariat Islam diterapkan secara kaffah
di Provinsi berjuluk Serambi Mekkah, ini. Ia mengaku tahu bahwa Islam juga mengajarkan toleransi terhadap
umat beragama lain.[5]
Demikian
beberapa fakta bahwa pada dasarnya, Syari`at Islam menghadirkan
kedamaian dan ketenangan bagi siapa saja. Sebab, Islam akan menjadi Rahmatan
Lil’alamin saat ia diimplementasikan dalam berbagai sendi kehidupan.
[1] Pengakuan Sahnan kepada Majalah Suara Darussalam saat
dijumpai di ruang kerjanya di Kanwil Kementerian Agama Prov. Aceh,
Selasa, (9/12/2014).
[2] Pengakuan Wiswadas kepada Majalah Suara Darussalam
saat dijumpai di ruang kerjanya di Kanwil Kementerian Agama Prov.
Aceh, Selasa, (9/12/2014).
[3] Lihat: http://atjehpost.co/berita2/read/Paguyuban-China-Aceh-Kami-Tak-Ada-Masalah-dengan-Syariat-Islam-560.
Diakses 20 September 2016.
[4]http://www.suaradarussalam.com/2013/11/baron-menjadi-katolik-sejati-di-aceh.html. Diakses 20 September 2016
[5] Penulis yang
bekerja di Kanwil Kementerian Agama Prov. Aceh ikut hadir dalam pertemuan ini
dan mendengar pengakuan ini
Posting Komentar untuk "Non Muslim Damai dalam Syari`at Islam di Aceh"