Materi Tarbiyah Islam - Ghazwul Fikri (Perang Pemikiran)
Ilustrasi Ghazwul Fikri. Foto: internet |
Oleh Teuku Zulkhairi
Ghazwul Fikri atau perang pemikiran adalah salah satu tantangan terbesar dari agenda kembali ke jalan Islam lewat penegakan Syari`at Islam . Sebab, Ghazwul Fikri memiliki sejumlah agenda yang langsung berbenturan dengan agenda Syari`at Islam. Hal ini tidak mengherankan oleh sebab Ghazwul Fikri sendiri memang didesain untuk membendung arus kebangkitan Islam, khususnya menghambat Syari`at Islam . Ghazwul Fikri dilancarkan oleh kesadaran sejarah non muslim bahwa umat Islam pernah memimpin peradaban selama berabad-abad dimana kekuatan kejayaan umat Islam saat itu adalah terletak pada aqidah dan mereka.
Dengan
kata lain, Ghazwul Fikri ini adalah alternatif lain di luar perang
militer terhadap umat Islam, Ghazwul Fikri sesuai dengan namanya adalah
“perang pemikiran” yang dilakukan secara intelektual. Tingkat bahayanya
melebihi perang dengan militer oleh karena ia tidak ada batasan wilayah dan
berlangsung sepanjang zaman hidup manusia di dunia. Perang ini akan memperdaya
kaum muslimin untuk condong kepada orang-orang kafir yang lambat laun justru
akan memunculkan rasa cinta kepada sistem kekafiran.[1]
Dan kecintaan kepada orang-orang kafir dengan segala sistem mereka inilah yang
akan menanggalkan jati diri muslim.
Ghazwul
Fikri dilakukan setidaknya dengan lima cara:[2]
Pertama,
merusak akhlak. Dalam kongres misionaris tahun 1930-an, seorang Yahudi pemuka
kaum zending mengatakan di hadapan para peserta bahwa tugas para misionaris
bukan (hanya, pen) mengkristenkan kaum muslimin di negeri-negeri Islam
karena itu berarti pemuliaan terhadap mereka, tugas kaum zending yang
sebenarnya adalah menjauhkan kaum muslimin dari agamanya sehingga akan lahir
generasi yang tidak memiliki hubungan dengan Al-Khaliq. Saat seseorang tidak
memiliki hubungan dengan Al-Khaliq maka saat itulah ia mengalami kebobrokan
moral.[3]
Oleh
sebab itu, jika hari ini kita menyaksikan fenomena kerusakan akhlak, maka
sesungguhnya fenomena itu tidaklah hadir dengan sendirinya. Terdapat sistem
kekafiran yang merekayasa fenomena tersebut lewat berbagai metode dan
sarananya, serta lewat berbagai pelakunya, misalnya seperti lewat Televisi,
media massa, klub-klub hiburan, minuman beralkohol dan sebagainya. Sesungguhnya
inilah wujud nyata pertarungan antara al-Haq (Islam) dan al-Bathil
(sistem kekafiran).
Kedua,
menghancurkan fikrah. Aqidah yang lemah membuat mereka tidak lagi berpegang
pada nilai-nilai moral dan sifat utama. Pada saat itu visi idealisma perjuangan
Islam akan hilang, lalu orang-orang kafir menyebarkan syubhat tentang Islam
sehingga kaum muslimin meragukan agamanya sendiri.
Ketiga,
melarutkan kepribadian. Akibat dari serang pemikiran dengan melarutkan
kepribadian adalah kaum muslimin tidak percaya diri lagi untuk menampakkan
identitas keislaman mereka. Nama-nama, model pakaian, bahasa, gaya hidup, pola
pikir semuanya mereka ganti dengan kebudayaan impor dari Barat. Dan lalu
dimunculkanlah pemikiran bahwa “apabila ingin maju maka kita harus menjiplak
Barat”. Suatu pemikiran yang tentu saja lahir dari mental inferior (perasaan
rendah diri) berlebihan. Keempat, pemurtadan, dalam kondisi yang sudah
terjangkiti mental inferior sebagaimana disebutkan di atas, dimana identitas
Islam sudah terganti dengan identitas Barat, maka agenda pemurtadan menjadi
lebih mudah. Inilah awal dari kecelakaan terbesar dalam hidup seorang muslim
sehingga harus disadari sejak dini.
Kelima,
loyalitas kepada orang-orang kafir. Kalau beberapa hal di atas sudah berhasil,
maka seorang muslim akan menunjukkan loyalitas mereka justru kepada orang
kafir, bukan lagi kepada sesama Muslim. Hari ini kenyataan ini bisa kita
saksikan dengan baik dimana terdapat segelintir umat Islam yang mengidolakan
pemimpin non muslim ketimbang pemimpin muslim.
Ghazwul
Fikri di dunia Islam sebenarnya telah dijalankan sebelum era penjajahan
yaitu dalam bentuk orientalisme dan Kristenisasi. Lalu orientalisme dan
Kristenisasi berlanjut hingga era penjajahan, plus dengan ide-ide sekulerisme.
Kita di Aceh mengenang tokoh orientalis Belanda, yaitu Snouck Hugronje yang dahulu berpura-pura masuk
Islam, lalu membuat umat Islam di Aceh berpecah belah, dimana hal ini
dijalankan sebagai salah satu upaya menyukseskan penjajahan Belanda di Aceh.
Sementara
pasca penjajahan Ghazwul Fikri ini justru semakin beragam
bentuknya, selain orientalisme dan Kristenisasi, misalnya terdapat agenda baru
seperti Athesisme, Nasionalisme yang sempit dan Westernisasi.[4]
Adanya
sejumlah serangan pemikiran dari orang-orang kafir ini sebagaimana firman Allah
Swt dalam al-Qur’an:
لَتَجِدَنَّ
أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِّلَّذِيْنَ آمَنُوا الْيَهُوْدَ وَالَّذِيْنَ
أَشْرَكُواْ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُمْ مَّوَدَّةً لِّلَّذِيْنَ آمَنُوا
الَّذِيْنَ قَالُوَاْ إِنَّا نَصَارَى ذَلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيْسِيْنَ
وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat
persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata:
‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian itu disebabkan karena di
antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” [QS. Al-Ma`idah: 82]
Posting Komentar untuk "Materi Tarbiyah Islam - Ghazwul Fikri (Perang Pemikiran) "