Darwis A Soelaiman: Ali Hasjmy Filsuf dari Aceh Setara Mohammad Iqbal dari India
Banda Aceh
- Ali Hasjmy (1914-1998 M) merupakan seorang pemikir atau filsuf yang
sebanding dengan Mohammad Iqbal dari India. Kedua-duanya merupakan
sastrawan yang terlibat di dalam dunia politik. Namun Ali Hasjmy menulis
dalam bahasa Melayu (Indonesia), bukan dalam bahasa Inggris seperti
Mohammad Iqbal (1887-1938 M) sehingga lebih dikenal dunia dan
mendapatkan hadiah Nobel.
Demikian kata pakar pendidikan guru besar di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darwis A. Soelaiman, di dalam acara memperingati 101 Tahun Lahir Ali Hasjmy yang dilangsungkan di Gedung Turki Sultan II Selim ACC, Selasa, 17 Maret 2015. Menurutnya, Ali Hasjmy melahirkan tulisan berisi filsafat sehingga sesuai disebut filsuf.
“Dalam karya sastranya Ali Hasmy mengandung banyak nilai-nilai filsafat. Ali Hasjmy lebih banyak mendapatkan penghargaan dari luar negeri bila dibandingkan dengan Mohammad Iqbal," kata Darwis dalam acara yang dilaksanakan oleh PuKAT (Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki) dengan tempat acara diberi pakai cuma-cuma oleh managemen Sultan II Selim ACC.
Darwis mengisahkan, tatkala dirinya berada di bangku kelas 6 SD (Sekolah Dasar), ia telah membaca tiga buku tulisan Aceh: Leburnya Peradaban Aceh, Lhee Saboh Nang karya Abu Bakar Aceh, dan sajak karangan Ali Hasjmy. Darwis paling ingat sajak Ali Hasjmy yang berjudul Sawah karena ia tinggal di dekat sawah.
“Pada tahun 1966 baru saya kenal langsung Ali Hasjmy. Saat itu ia membuat seminar tentang integrasi antara MIN dan SD. Ali Hasjmy memiliki pandangan yang amat berbeda dengan beberapa orang lain. Setelahnya dibentuk tim membentuk integrasi MIN dan SD. Semua itu diterapkan pada sekolah percobaan teladan, di Lamteumen dan Lamnyong,” sebut Darwis dalam acara yang dihadiri sastrawan (Saiful Bahri, Nab Bahany AS), aktivis perempuan, aktivis MAPESA, awak media, akademisi, dan cucu Ali Hasjmy tersebut.
Darwis mengatakan, setelah seminar tersebut, keluar SK Menteri yang menyamakan sekolah agama dan sekolah umum. Itu salah satu pengaruh Ali Hasjmy di Aceh dan Indonesia. Pakar pendidikan itu mengisahkan lagi, dirinya diberikan jabatan sebagai Sekretaris di majalah Sinar Darussalam oleh Ali Hasjmy.
“Saya dan Pak Badruzzaman Ismail, diminta menjadi anggota MUI (Majelis Ulama Indonesia). Dan, ketika saya di DKA (Dewan Kesenian Aceh), Ali Hasjmy di LAKA (Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh). Saat itu Ali Hasjmy banyak mengadakan seminar yang dihadiri orang-orang dari luar negeri,” kata lulusan Amerika Serikat ini di acara yang dipandu oleh sastrawan dan pendakwah Ameer Hamzah.
Setelah pemateri lainnya Badruzzaman Ismail, Ketua MAA (Majelis Adat Aceh -red), menyampaikan tentang Ali Hasjmy dan Tanya jawab dengan hadirin, Darwis menyebutkan, dirinya setuju dengan Badruzzaman bahwa Ali Hasjmy adalah seorang humanis. Tetapi, kata Darwis, harus ditambah, Ali Hasjmy adalah seorang humanis religius. Pembicaraan selama acara semakin meyakinkan Darwis bahwa tentang rencananya membuat desertasi yang mengukuhkan bahwa Ali Hasjmy adalah seorang filsuf.
“Di sisi pendidikan, saya (guru besar -red) di bidang pendidikan, Ali Hasjmy memiliki pemikiran yang baik. Iqbal menghendaki manusia insan kamil, falsafah kesempurnaan manusia. Ali Hasjmy juga memiliki falsafah manusia pari purna. Mereka setara. Di bidang kemanusiaa dan kepemimpinan, Ali Hasjmy orang yang sangat tenang walaupun di saat orang lain panik. Ia bukan orang yang meledak-ledak. Ia adalah orang besar yang berjiwa tenang,” kata Darwis.
Demikian kata pakar pendidikan guru besar di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darwis A. Soelaiman, di dalam acara memperingati 101 Tahun Lahir Ali Hasjmy yang dilangsungkan di Gedung Turki Sultan II Selim ACC, Selasa, 17 Maret 2015. Menurutnya, Ali Hasjmy melahirkan tulisan berisi filsafat sehingga sesuai disebut filsuf.
“Dalam karya sastranya Ali Hasmy mengandung banyak nilai-nilai filsafat. Ali Hasjmy lebih banyak mendapatkan penghargaan dari luar negeri bila dibandingkan dengan Mohammad Iqbal," kata Darwis dalam acara yang dilaksanakan oleh PuKAT (Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki) dengan tempat acara diberi pakai cuma-cuma oleh managemen Sultan II Selim ACC.
Darwis mengisahkan, tatkala dirinya berada di bangku kelas 6 SD (Sekolah Dasar), ia telah membaca tiga buku tulisan Aceh: Leburnya Peradaban Aceh, Lhee Saboh Nang karya Abu Bakar Aceh, dan sajak karangan Ali Hasjmy. Darwis paling ingat sajak Ali Hasjmy yang berjudul Sawah karena ia tinggal di dekat sawah.
“Pada tahun 1966 baru saya kenal langsung Ali Hasjmy. Saat itu ia membuat seminar tentang integrasi antara MIN dan SD. Ali Hasjmy memiliki pandangan yang amat berbeda dengan beberapa orang lain. Setelahnya dibentuk tim membentuk integrasi MIN dan SD. Semua itu diterapkan pada sekolah percobaan teladan, di Lamteumen dan Lamnyong,” sebut Darwis dalam acara yang dihadiri sastrawan (Saiful Bahri, Nab Bahany AS), aktivis perempuan, aktivis MAPESA, awak media, akademisi, dan cucu Ali Hasjmy tersebut.
Darwis mengatakan, setelah seminar tersebut, keluar SK Menteri yang menyamakan sekolah agama dan sekolah umum. Itu salah satu pengaruh Ali Hasjmy di Aceh dan Indonesia. Pakar pendidikan itu mengisahkan lagi, dirinya diberikan jabatan sebagai Sekretaris di majalah Sinar Darussalam oleh Ali Hasjmy.
“Saya dan Pak Badruzzaman Ismail, diminta menjadi anggota MUI (Majelis Ulama Indonesia). Dan, ketika saya di DKA (Dewan Kesenian Aceh), Ali Hasjmy di LAKA (Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh). Saat itu Ali Hasjmy banyak mengadakan seminar yang dihadiri orang-orang dari luar negeri,” kata lulusan Amerika Serikat ini di acara yang dipandu oleh sastrawan dan pendakwah Ameer Hamzah.
Setelah pemateri lainnya Badruzzaman Ismail, Ketua MAA (Majelis Adat Aceh -red), menyampaikan tentang Ali Hasjmy dan Tanya jawab dengan hadirin, Darwis menyebutkan, dirinya setuju dengan Badruzzaman bahwa Ali Hasjmy adalah seorang humanis. Tetapi, kata Darwis, harus ditambah, Ali Hasjmy adalah seorang humanis religius. Pembicaraan selama acara semakin meyakinkan Darwis bahwa tentang rencananya membuat desertasi yang mengukuhkan bahwa Ali Hasjmy adalah seorang filsuf.
“Di sisi pendidikan, saya (guru besar -red) di bidang pendidikan, Ali Hasjmy memiliki pemikiran yang baik. Iqbal menghendaki manusia insan kamil, falsafah kesempurnaan manusia. Ali Hasjmy juga memiliki falsafah manusia pari purna. Mereka setara. Di bidang kemanusiaa dan kepemimpinan, Ali Hasjmy orang yang sangat tenang walaupun di saat orang lain panik. Ia bukan orang yang meledak-ledak. Ia adalah orang besar yang berjiwa tenang,” kata Darwis.
Laporan Thayeb Loh Angen, Pusat Kebudayaan Aceh - Turki (PuKAT)/peradabandunia.com