Rincian Konprehensif Dalil Kebolehan Merayakan Maulid
Ketika bulan Rabiul Awal datang di Aceh atau di Indonesia pada
umumnya selalu terjadi pro dan kontra terhadap perayaan maulid nabi Muhammad
SAW. Hal itu terlihat di Sosial Media berjibun status dan perdebatan mengenai
kebolehan merayakan maulid.
Menjawab semua itu Suara Darussalam mempublikasikan makalah yang
pernah disajikan di pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam
(KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingkee Banda Aceh oleh Tgk Edi Syuhada,
SS selaku Wakil Mudir Dayah Darul Ihsan Tgk. H. Hasan Krueng Kalee, Siem,
Darussalam, Aceh Besar.
Alasan Perayaan Maulid Nabi Saw.
1. Mensyukuri Ni’mat Allah Swt
Perayaan Maulid Nabi Saw yang dilakukan ummat Islam setiap tahun
diberbagai belahan dunia oleh lintas generasi, sebenarnya hanyalah ungkapan
rasa syukur kepada Allah Swt. Kalaulah kita boleh mengungkapkan rasa syukur
atas nikmat nasi yang kita makan, air yang kita minum, udara yang kita hirup,
maka mengapakah kita tidak boleh mensyukuri nikmat Allah yang lebih besar
dan lebih agung dari itu semua? bukankah kelahiran dan keberadaan Rasul Saw di
dunia ini telah menyelamatkan sekian banyak manusia dari siksa api neraka yang
kekal abadi? Inilah inti dari makna “Perayaan Maulid Nabi Saw” sepanjang zaman.
2. Mengingatkan Kembali Hari-hari
Allah yang Bersejarah, Baik mendapat ni’mat atau Bala
Firman Allah Swt:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا
مُوسَى بِآيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ
صَبَّارٍ شَكُورٍ (ابراهيم : 5)
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa
dengan membawa ayat-ayat kami, (dan Kami perintahkan kepadanya), ‘Keluarkanlah
kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka
kepada hari-hari Allah”. Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.
” (QS. Ibrahim [14] : 5
Yang dimaksud dengan hari-hari Allah pada ayat itu ialah peristiwa
yang telah terjadi pada kaum-kaum dahulu serta nikmat dan siksa yang dialami
mereka. Umat nabi Musa disuruh oleh Allah swt. untuk mengingat kembali
peristiwa-peristiwa yang telah lalu, baik itu yang berupa nikmat atau berupa
adzab, dari Allah swt.. Dengan adanya peringatan maulid itu kita selalu
diingatkan kembali kepada junjungan kita Rasulullah saw. sebagai penghulu para
Nabi dan Rasul. Tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat atau memperingati
hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari tertentu. Juga tidak
ditetapkan peringatan itu harus dilakukan secara berjama’ah ataupun secara
individual. Begitu juga halnya dengan peringatan maulid, dapat diadakan setiap
waktu, boleh secara individu atau berjama’ah. Sudah tentu waktu yang paling
tepat ialah pada hari turunnya nikmat Allah. Dalam hal memperingati maulid Nabi
saw. waktu yang paling sesuai adalah pada bulan Rabiul-awal (bulan kelahiran
Rasulallah saw.). Akan tetapi mengingat besarnya manfaat peringatan maulid ini
dan mengingat pula bahwa dengan cara berjama’ah lebih utama dan lebih banyak
barakah, maka peringatan maulid dapat diadakan pada setiap kesempatan yang baik
secara berjama’ah.
Mengenai diselenggarakannya peringatan hari-hari Allah pada
hari-hari ulang tahun turunnya nikmat, terdapat hadits shohih yang dapat
dijadikan dalil, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim tentang
puasa pada hari ‘Asyura. Karena puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan oleh Rasulullah
saw. setelah beliau saw melihat kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10
Muharram tersebut. Beliau saw. bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini
berpuasa pada hari itu? Mereka menjawab; ‘Pada hari ini Allah swt.
menyelamatkan Nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka’ (Fir’aun dan
pasukannya). Kemudian Nabi saw. menjawab: ‘Kami lebih berhak memperingati
Musa dari pada kalian’! (Nahnu aula bi muusaa minkum).
Dari hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah Saw
melakukan puasa hari ‘Asyura karena ingin merayakan hari-hari Allah yaitu hari
diselamatkanya Nabi Musa As dari kerajaran Fir’aun laknatillah alaih dan
pasukannya.
Sangat tidak etis membid’ahkan dan atau mengkafirkan mereka yang
merayakan maulid Nabi Saw, disamping tidak ada dalil yang valid yang
menunjukkan haram merayakan maulid, malah sebaliknya, para ulama banyak sekali
menyebutkan dalil akan bolehnya merayakan maulid, baik itu dari al-Qur’an,
Hadits, Qawa’id Fiqhiah dan ijma’ ahli ilmu.
Dalil yang membolehkan sangat banyak, akan tetapi dalam kesempatan
ini kami hanya ingin menambah satu dalil lagi yang terang dan tidak samar yaitu
“ Ijma’ ahli ilmu “ . Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يُجْمِعُ
أُمَّتِي عَلىَ ضَلاَلَةٍ, وَ يَدُ اللهِ عَلىَ الْجَماَعَةِ, مَنْ شَذَّ شَذَّ
فِي النَّارِ, رواه الترمذي , زاد ابن ماجه : فَإِذاَ وَقَعَ اْلاِخْتِلاَفُ ,
فَعَلَيْكَ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ , مَعَ اْلحَقِّ وَ أَهْلِهِ , و فى الجامع
الصغير , إِنَّ اللهَ قَدْ أَحاَرَ أُمَّتِي أَنْ تَجْتَمِعَ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas
suatu kesesatan secara massal (jama’ah). Kekuasaan Allah berada pada Jama’ah
(kelompok, massal, mayoritas). Barangsiapa yang keluar (berpisah dari jama’ah),
maka ia akan terjerumus ke dalam api neraka. Imam Ibnu Majah menambahkan: “Jika
terjadi perbedaan (di antara kalian), maka hendaklah kalian berpegang teguh
pada “As-Sawad Al-A’dham” (kelompok mayoritas, ulama yang agung), beserta yang
benar (hak) dan yang ahlinya. Dan dalam kitab “Al-Jami’us Shagir” diterangkan
bahwa Allah telah menyelamatkan umatku dari kesesatan yang dilakukan secara
sepakat oleh jama’ah”.
Riwayat ini menggambarkan dengan sangat jelas kepada kita bahwa
mustahil ummat Nabi Muhammad Saw sepakat atas suatu kesesatan atau kekafiran
secara berjama’ah atau mayoritas. Yang dimaksud dengan “jama’ah / Mayoritas” di
sini adalah jama’ah mayoritas ahli ilmu, atau para pakar/ulama, bukan kumpulan orang-orang
bodoh. Apalah artinya kesepakatan orang bodoh walaupun banyak secara kwantitas.
Dalam hal-hal yang disepakati oleh kelompok mayoritas ahli ilmu, di sana ada
jaminan kebenaran (haq) dan jaminan keselamatan dari kesesatan atau kekafiran.
Kesepakatan mayoritas ummat ini atas boleh merayakan peringatan
maulid Nabi Saw adalah suatu kebenaran.
Sejarah Peringatan Maulid
Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh Raja Irbil
(wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada awal abad ke
7 Hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata:
Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan
Rabi'ul Awal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang
yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil – semoga Allah merahmatinya.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn Al-Jauzi bahwa dalam peringatan
tersebut, Sultan Al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh ulama
dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama dalam bidang ilmu Fiqh, ulama Hadits,
ulama dalam bidang ilmu kalam, ulama usul, para ahli tasawuf, dan lainnya.
Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan Maulid Nabi, beliau telah melakukan
berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para
hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama
dalam wilayah kekuasaan beliau juga ulama diluar kekuasaan belaiu saat itu
membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan Al-Muzhaffar
tersebut. Mereka semua berpandangan dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi
yang digelar untuk pertama kalinya itu.
Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa
Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke
Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, beliau mendapati
Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap
perayaan Maulid Nabi. Oleh karena itu, Al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis
sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “Al-Tanwir Fi Maulid
Al-Basyir An-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Sultan
Al-Muzhaffar.
Para ulama, semenjak zaman Sultan Al-Muzhaffar dan zaman
setelahnya hingga sekarang ini menganggap bahwa perayaan Maulid Nabi adalah
sesuatu yang baik (mustahsan). Para ulama terkemuka dan Huffazh Al-Hadits telah
menyatakan demikian. Di antara mereka seperti Al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H),
Al-Hafizh Al-Iraqi (w. 806 H), Al-Hafizh As-Suyuthi (w. 911 H), Al-Hafizh
Al-Sakhawi (w. 902 H), SyeIkh Ibn Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Al-Imam
Al-Nawawi (w. 676 H), Al-Imam Al-Izz ibn Abd Al-Salam (w. 660 H), mantan mufti
Mesir yaitu Syeikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i (w. 1354 H), mantan Mufti Beirut
Lubnan yaitu Syeikh Mushthafa Naja (w. 1351 H), Syeikh Ibnu Taimiyah (imam
wahabi/salafi) (w. 728 H) dalam kitabnya Iqtidhak shiratil mustaqim halaman
297, Imam az-Zahabi (w. 748 H) murid Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Tarikh Islam,
Imam Ibnu Katsir (w. tahun 1372 M) dalam Bidayah wan Nihayah, Imam Syeikh
Abdullah al-Harari al-Habsyi, (w. 2008 M), Musnid Dunya Syeikh Yasin al-Fadani
( w. 1990 M), Prof. Dr. Syeikh Sa’id Ramadhan al-Buthi (w. 2013 M), Prof. Dr.
Syeikh Ali Jum’ah mantan mufti Mesir, Prof. Dr. Syeikh Yusuf al-Qardhawi, Prof.
Dr. Wahbah az-Zuhaili, dan terdapat banyak lagi para ulama besar yang lainnya.
Bahkan Al-Imam Al-Suyuthi menulis karya khusus tentang Maulid yang berjudul
“Husn Al-Maqsid Fi Amal Al-Maulid”. Karena itu perayaan Maulid Nabi, yang biasa
dirayakan pada bulan Rabiul Awal menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia,
dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn
Katsir, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lainnya telah sepakat
menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah
Sultan Al-Muzhaffar.
Kalau seandainya perayaan maulid ini suatu bid’ah yang mungkar
menurut agama, pastilah mereka tidak akan sepakat dan pastilah mereka
mengingkarinya, memerangi dan memberi peringatan keras. Oleh karena itu para
ulama menyimpulkan tidak ada dalil yang mengharamkan perayaan maulid.
Adapun sebahagian kecil kelompok minoritas yang mengharamkan
maulid, kesimpulan dari hasil diskusi bersama mereka hanya beralasan “Rasul Saw
dan Ulama Salafu al-Shalih tidak pernah merayakannya, jika maulid itu suatu
kebaikan pastilah mereka lebih duluan dari kita لو كان خيرا
لسبقونا إليه. Merayakan maulid adalah suatu bid’ah dan setiap bid’ah tempatnya
di neraka kata mereka. Demikian alasan mereka. Padahal kalimat “ لو
كان خيرا لسبقونا إليه “ bukan nahi jazim (kata larangan tegas) bukan juga qawa’id fiqhiyah
yang dapat digali darinya hukum haram.
Jika ini dijadikan dalil, maka ada ratusan perbuatan hari ini yang
dikerjakan mereka tidak pernah dilakukan oleh Rasul Saw dan salafus shalih.
Apakah Rasul pernah bersabda?
لاَ تَحْتَفِلُوْا
بِذِكْرَى مَوْلِدِي
Artinya: Jangan kalian peringati hari kelahiranku
Bahkan Rasul Saw bersabda:
وَ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي الناَّرِ
Atrinya: Setiap hal baru (rekayasa) adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah adalah sesat dan setiap sesat itu (tempatnya) di Neraka.
Sebenarnya kata “setiap” dalam hadits ini, maksudnya sebahagian
sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Pengertian hadits ini bahkan tidak sah dijadikan landasan pengharaman
maulid seperti kata mereka: “Jika maulid itu suatu kebaikan, pasti Rasul Saw
dan Salafus shalih lebih duluan dari kita, berarti merayakan maulid itu bid’ah
dan setiap bid’ah itu tempatnya di neraka”. Mari kita lihat tafsir hadits di
atas.
Imam Nawawi mengatakan: “Sekte Mujassimah (Kelompok yang
menetapkan Allah beranggota tubuh seperti tangan, wajah, mata dsb), sekte
musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah Swt dengan makhluq) dan sekte
yang mengharamkan ta’wil dan juga mereka yang mengharamkan maulid, tidak dapat
dijadikan pegangan atas tafsir-tafsir hadits yang mereka lakukan”. Menurut imam
Nawawi dalam menafsirkan hadits ini:
وَ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي الناَّرِ
Artinya: “Setiap hal baru yang diada-adakan (rekayasa) itu bid’ah
dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap tempatnya di neraka
Bid’ah yang dimaksud di sini adalah bid’ah mungkarah (mungkar)
bukan bid’ah hasanah, karena hadits ini ditakhsis oleh 3 riwayat hadits lain
yang tersebut dalam shahih muslim.
1. مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئٌ
Artinya: Siapa saja yang memulai suatu tradisi baik, maka ia akan
mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa
dikurangi pahala mereka sedikitpun, dan siapa saja yang memulai suatu tradisi
yang tidak baik (jelek), maka ia akan akan menanggung akibatnya dan akibat
orang yang mengikutinya setelahnya tanpa dikurangi pahala mereka sedikitpun.
2. كُلُّ عَمَلٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ
فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: Setiap amalan yang tidak sejalan dengan urusan (agama)
kami, maka tertolak.
3. مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا
لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ ، أي أن ما ليس من الدين فهو مردود وأما ما كان من
الدين فهو مقبول
Artinya: Barang siapa yang mengada-ada (merekayasa) dalam urusan
(agama) kami ini, bukan bahagian darinya, maka tertolak. Maksudnya; apapun hal
rekayasa yang bukan bahagian dari agama (tidak sejalan), maka tertolak.
Sedangkan hal rekayasa yang sejalan dengan urasan agama maka dapat diterima.
Kalaulah setiap bentuk bid’ah itu dhalalah (sesat), pastilah Rasul
bersabda;
وَكُلُّ ماَ أُحْدِثَ
بَعْدِيْ ضَلاَلَةٌ
Bukan
وَ كُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
Ketiga hadits ini menjadi syahid (bukti penguat) dalam menafsirkan
makna hadits di atas. Maka jadilah makna hadits di atas setelah di takhsis,
“Setiap bid’ah (munkarah) itu sesat, dan setiap sesat itu tempatnya dalam
neraka”. Bid’ah yang menggiring ke neraka adalah bid’ah yang
bertentangan dengan Al-Qur’an, sunnah, Ijma’ dan atsar (pendapat / praktek
sahabat). Keterangan imam Nawawi ini tersebut dalam kitab beliau “Tahzibul Asma
wa al-Lugah”.
Beliau juga menegaskan, bahwa lafadh “Kullu” di sini ‘am makhsus.
إِنَّ " كُلُّ
" يُطْلَقُ وَيُرَادُ بِهِ اْلبَعْضُ أَيْ أَكْثَرُ أَنْوَاعِ اْلبِدَعِ
اْلمُخاَلِفَةِ لِلدِّيْنِ
Artinya: Kata “Kullu” disini lafadh “umum” yang maksudnya
“sebahagian besar”. Sebagaimana firman Allah Swt:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ
(الأحقاف: 25)
Artinya: Angin menghancurkan segala sesuatu
Apakah angin tersebut mengahancurkan langit, gunung, laut, bumi?
Pada hal semua ini masuk dalam kata-kata “syai’” (sesuatu). Jadi pengertian
“menghancurkan segala sesuatu” artinya menghancurkan sebahagian besar segala
sesuatu yang dilaluinya.
Imam Syafi’I yang tentu lebih ‘alim dan lebih paham dalam
menafsirkan maksud hadit-hadits Rasulullah Saw mengatakan;
المُحْدَثاَتُ مِنَ
اْلأُمُوْرِ ضَرْباَنِ: مَا أُحْدِثَ مِمَّا يُوَافِقُ اْلكِتاَبَ وَالسُّنَّةَ
وَاْلأِجْماَعَ وَاْلأَثَرَ فَهُوَ بِدْعَةُ اْلهُدَى وَمَا أُحْدِثَ مِمَّا
يُخَالِفُ فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلاَلَةِ.
Segala hal yang diada-adakan (direkayasa) dalam agama terbagi
dalam dua kategori: Hal baru yang sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan
Atsar (ucapan dan praktek sahabat), maka itu bid’ah terpetunjuk (baik) dan
apapun hal baru yang tidak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar,
maka itu bid’ah sesat. Inilah tafsir para ulama. Kalaulah semua jenis bid’ah
itu sesat, pastilah tidak keluar dari mulut Sayyida Umar dalam hadits shalat
Tarawih
نِعْمَتِ اْلبِدعَةُ
هَذِهِ
Artinya: Ini adalah sebaik-baik bid’ah .
Sanggahan dan Jawaban serta Alasan Kelompok Yang Mengharamkan
Perayaan Maulid
Kelompok yang mengharamkan maulid beralasan bahwa dalam perayaan
maulid terjadi ikhtilad (berbaur) antara laki-laki dan perempuan, bacaan-bacaan
yang tidak jelas benar salahnya, atau nyanyian yang melaupui batas.
Jawaban:
Jika memang terjadi demikian pada sebahagian yang merayakan
maulid, bukan maulidnya yang dilarang tapi pelakunya yang perlu diluruskan,
dibimbing, diarahkan diajarkan yang benar bukan diharamkan perayaan maulidnya,
karena ini sejalan dengan petunjuk syari’at. Sebagai contoh; bukankah sebagian
khatib jum’at sering melakukan kesalahan di atas mimbar? Apakah karena
kesalahan khatib tersebut lantas kita boleh mengatakan khutbah itu haram,
mungkar, sesat dan sebaginya? Tentu tidak. Tapi cukup dengan kita tinggalkan
khatib tersebut.
Isi Perayaan Maulid Nabi Saw dan Dalilnya
Bacaan al-Qur’an
Sejalan dengan firman Allah Swt.
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ (المزمل : 20)
Artinya: Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an
Zikir
Firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا
كَثِيرًا (الأحزاب :41)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
Shalawat
Firman
Allah Swt:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (الأحزاب:
56)
Artinya: Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan untuknya.
Membagi-bagikan Makanan dan Minuman Halal
Firman Allah Swt:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ (الإنسان : 8)
Artinya: Dan mereka memberikan makanan yang disukainya
Nasehat dan Pelajaran Agama
Firman Allah Swt:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ (الذاريات :
55)
Artunya: Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya
peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.
Membesarkan dan Memuliakan Rasul Saw
Memuji Rasul diperintahkan oleh al-Qur’an. Firman Allah Swt:
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (8)
لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ
بُكْرَةً وَأَصِيلًا (9) الفتح
Artinya: Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kamu sekalian beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya menguatkan (agama) Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih
kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.
فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا
النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (الأعراف
: 157)
Artinya: maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi),
memuliakannya dan menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ (القلم : 4)
Artinya: Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi
pekerti yang agung
Menampakkan Kegembiraan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunan beliau dan di shahihkan
oleh al-hafidh al-Bushiriy:
إنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي
بَعْضِ طُرُقاَتِ اْلمَدِيْنَةِ فَرَأَى جَوَارٍ (أي بَناَتٍ) مِنْ بَنِي
النَّجَّارِ. فَلَماَّ رَأَيْنَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ سِرْنَ
يَمْدَحُ الرَّسُوْلَ، يَقُلْنَ:
نَحْنُ جَوَارٍ مِنْ بَنِي النَّجاَّرِ ## ياَ
حَبَّذَا مُحَمَّدٌ مِنْ جَارِ
ثم الرسول سمعهن ورأىهن لم يمنعهن ولم يحرم عليهن ولم ينههن عن مدحه.
ثم قال الرسول:وَاللهُ يَعْلَمُ أَنِّي أُحِبُّكُنَّ
Artinya: Pernah suatu waktu Rasul Saw sedang berada di salah satu
jalan di kota Madinah. Tampaklah sekumpulan pemudi dari suku Bani Najjar.
seketika mereka melihat Rasul, mereka pun memuji-muji Rasul Saw sambil berjalan
(karena gembira). Meraka mendendangkan syair:
“Kami pemudi-pemudi dari
suku Bani Najjar, Wahai Muhammad yang berbudi pekerti dari suku tetangga”
Rasul Saw mendengar pujian mereka, melihat mereka dan tidak
mencegahnya. Bahkan Rasul bersabda: “Allah Swt Maha Tahu, sungguh Aku juga
mencintai kalian”
Dari riwayat hadits ini ulama juga memahami sebagai berikut:
Dibolehkannya menampakkan kegembiraan dengan memuji Rasul Saw secara
beramai-ramai, tidak hanya oleh golongan laki-laki bahkan wanitapun dibenarkan.
Dibolehkan memuji Rasul Saw
di jalanan segaimana tampak jelas dalam riwayat di atas.
Memukul rebana
Ulama mengkiaskan kepada hadits:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ
وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
Artinya: Rayakanlah pernikahan ini di dalam masjid, pukullah
rebana Jika untuk perayaan nikah saja boleh memukul rebana, apa lagi untuk
memperingati mauled Nabi Saw.
Para ulama mgqiyaskan, jika untuk merayakan pernikahan saja boleh
dilakukan di dalam masjid lantas disemarakkan dengan pukulan rebana, apa lagi
untuk peringatan perayaan maulid Nabi Saw yang lebih umum kebaikannya.
Menari Ringan (Like Likok)
أَنَّ اْلحَبَشَةَ كاَنُوْا يَزْفِنُوْنَ ( أي يَرْقُصُوْنَ) فِي
مَسْجِدِ النَّبِي وَمَعَهُمْ حِرَابٌ وَجَعَلُوْا يَقُوْلُوْنَ جَماَعَةً
بِلُغِتِهِمْ مَا هُوَ مَدْحٌ لِلرَّسُوْلِ وَالرَّسُوْلُ سَأَلَ التُّرْجُمَانَ،
مَاذاَ يَقُوْلُوْنَ؟ قَالَ: يَقُوْلُوْنَ مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ وفيى رواية :
أَبُو اْلقَاسِمِ طَيِّبًا
روى أحمد في مسنده وابن حبان في صحيحه
Artinya: Beberapa orang dari Habasyah sedang menari (ringan) di
dalam Masjid Nabi Saw sambil memegang tombak, mereka mengucapkan kata-kata
pujian kepada Rasul Saw dalam bahasa mereka, hingga rasul bertanya kepada
penterjemah: “Apa yang mereka katakan?” jawab penterjemah, mereka mengatakan,
“Muhammad hamba (Allah) yang Shalih (Baik)”. Dalam riwayat lain, “Abul Qasim
orang yang berbudi pekerti”. HR Imam Ahmad dan Ibn Hibban
Dari hadits ini dapat digali hukum sebagai berikut:
Boleh memuji Rasul Saw secara beramai-ramai disertai dengan tarian
ringan (semacam likok Aceh) walaupun di dalam masjid.
Memuji Rasul Saw tidak mesti dalam bahasa Arab, boleh juga dalam
bahasa ajam seperti yang dilakukan oleh jama’ah Habasyah dalam bahasa mereka.
Adapun dalil boleh memuji Rasul Saw secara individual maka sangat
banyak dan masyhur. Diantaranya, paman Rasul Saw sayyidina Abbas Ra sering
memuji Rasul Saw di depan Baginda dengan qashidahnya, hingga Rasul Saw pernah
mendo’akan Sayyidina Abbas
ماَ نُقِضَتْ أَسْنَانُكَ
Artinya: Semoga gigi-gigi anda tetap utuh.
Terbukti memang, gigi-gigi sayyidina Abbas tetap utuh tidak ada
yang gugur kecuali hanya satu gigi seri saja pada hal saat itu beliau telah
berumur senja lebih kurang 80 tahun. Hal yang sama juga dilakukan
oleh pakar syair Hassan bin Tsabit Ra, kemudian dilanjutkan oleh ulama-ulama
berikutnya dalam banyak karya mereka, seperti sufi ternama Syaikh Ja’far bin
Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al–Barzanji dalam kitab beliau Maulid
Al-Barzanzi, dan Al-Sayyid Abu Abdillah Muhamad Bin Sulaiman Al Jazuli Ra dalam
kitab beliau Dalail Khairat dan Syeikh Bushiri dalam Qashidah Burdahnya. Dan
sebagainya..
Kesimpulan:
Semua isi dalam perayaan maulid yang selama ini dirayakan oleh
masyarakat Aceh khususnya dan ummat Islam di seluruh pelosok dunia umumnya,
sejak awal abad ke tujuh hingga hari ini, semua berdasarkan dalil dan petunjuk
dari agama. Tidak ada satupun yang sesat (mungkar, khurafat, kafir dan
sebagainya), apa lagi menyesatkan. Tidak ada dalil yang valid mengharamkan
maulid bahkan sebaliknya. Ulama mengatakan boleh dan berpahala pelakunya.
Editor: Muhammad Chaldun