Kesetaraan Gender Dan Desakralisasi Agama
Oleh Dr. Saiful Bahri, M.A.[1]
Pendahuluan
Tak sedikit orang mengklaim dirinya sebagai pembela kaum perempuan, atau sebagai pejuang penyetaraan gender. Sebagian lain meyakini bahwa pembelaan terhadap kaum perempuan merupakan hal yang baru yang belum pernah dilakukan oleh siapapun. Praduga dan perasaan seperti inilah yang kemudian menggerakkan sekelompok orang untuk –dengan berani- mengritisi nash-nash Al-Quran dan hadis, karena keduanya dianggap belum memberikan porsi yang cukup dalam memberikan pembelaan terhadap kaum perempuan. Di antara ayat-ayat yang dianggap dan diklaim misoginis itu adalah:
Tak sedikit orang mengklaim dirinya sebagai pembela kaum perempuan, atau sebagai pejuang penyetaraan gender. Sebagian lain meyakini bahwa pembelaan terhadap kaum perempuan merupakan hal yang baru yang belum pernah dilakukan oleh siapapun. Praduga dan perasaan seperti inilah yang kemudian menggerakkan sekelompok orang untuk –dengan berani- mengritisi nash-nash Al-Quran dan hadis, karena keduanya dianggap belum memberikan porsi yang cukup dalam memberikan pembelaan terhadap kaum perempuan. Di antara ayat-ayat yang dianggap dan diklaim misoginis itu adalah:
Artinya, ”dan anak laki-laki tidaklah seperti anak
perempuan…” (QS. Ali Imran [3]: 36)
Ayat di atas dianggap mengandung makna perlakuan
diskriminatif terhadap perempuan, padahal kata
“tidaklah seperti” (ليس كـ) berarti umum.
Perbedaan yang dimaksud bisa dari struktur fisik, fungsi-fungsi yang
diperankan, serta fitrah dan tabiatnya sudah tentu tidak bisa sama persis.
Maka, perbedaan antara keduanya adalah suatu keniscayaan. Namun, perbedaan di
atas tak menandakan bahwa derajat perempuan di bawah kaum laki-laki. Ada banyak
kesamaan lainnya dalam hak dan kewajiban. Seperti yang ditegaskan Allah dalam
firman-Nya:
Artinya, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki
dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71)
Maka, menjadi hal yang sangat prinsipil untuk dikatakan
bahwa antara perempuan dan laki-laki terdapat banyak perbedaan sebagaimana juga
tak sedikit persamaan di antara keduanya. Keduanya tak mungkin disamakan secara
mutlak sebagaimana tak juga bisa selalu dibedakan dalam segala hal.
Keseimbangan dalam hal persamaan dan perbedaan inilah yang menempatkan
perempuan di bawah naungan syariat Islam menjadi mulia dan bermartabat.
Sebelumnya, perempuan tak pernah mendapatkan hak
warisnya. Islam datang untuk mengatur hal-hal ini, termasuk memberikannya hak
waris yang merupakan sebuah aturan menyeluruh. Perempuan juga mendapatkan hak
belajar dan menuntut ilmu, hak keluar rumah dan beraktivitas, hak meriwayatkan
hadits dan pergi ke medan peperangan sebagai paramedis maupun pejuang,
sebagaimana ia mendapatkan jatahnya dari harta rampasan perang (ghanimah)([2]). Islam bahkan tak pernah
melarangnya untuk berpenghasilan dan bekerja.
Sebagian orang menjadikan kewajiban shalat jumat bagi
laki-laki -saja- tidak termasuk bagi perempuan, sebagai bentuk diskriminasi
lain. Padahal tidak diwajibkannya perempuan Shalat Jumat adalah sebuah bentuk
keringanan (rukhshah) yang diberikan kepada perempuan. Namun, bukan
berarti Islam melarang perempuan untuk mendatangi Shalat Jumat. Karena ada
sebuah kaidah “man shahha zhuhruhû shahhat jum’atuhû” (Barang siapa yang
shalat zhuhurnya sah, maka sah pula Shalat Jum’atnya)([3]).
Istilah dan Sejarah Gender
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan
bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.([4]) Istilah gender berasal dari
“Middle English”, gendre, yang diambil dari era penaklukan Norman
pada zaman Perancis Kuno. Kata ‘gender’ berasal dari bahasa Latin, genus,
berarti tipe atau jenis. Kedua istilah gendre dan genus,
memiliki arti tipe, jenis, dan kelompok. Gender adalah himpunan
karakteristik yang terlihat membedakan laki-laki dan perempuan.
Kata Gender dapat diperpanjang dari sekedar kata
“seks” sampai dengan “peran sosial atau identitas gender.” Kata, ‘gender’
memiliki lebih dari satu definisi yang valid. Dalam pidato umum, biasa
digunakan bergantian dengan ‘seks’ untuk menunjukkan kondisi fisik sebagai
laki-laki atau perempuan. Dalam ilmu-ilmu sosial, kata ‘gender’ secara khusus
mengacu pada konstruksi sosial dan perbedaan kelembagaan, seperti perbedaan
peran gender([5])([6]).
Hingga saat ini belum ada kesepakatan dari berbagai
kalangan untuk mendefinisikan gender. Maka sebagai sesuatu yang baru,
batasan-batasan gender menjadi sangat debatable. Gender bisa merupakan
peran-peran yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan).Dan
tak bisa dipungkiri, peran-peran ini tentu memiliki sudut pandang dan
implementasi yang berbeda dari suatu komunitas masyarakat dengan masyarakat
yang lainnya. Biasanya merujuk pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku di
sebuah masyarakat.
Adapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa
dilepaskan dari kisah emansipasi, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan
perjuangan meraih hak yang adil dan sejajar dengan laki-laki. Secara personal,
wacana emansipasi mencuat dengan diterbitkannya surat-surat pribadi RA. Kartini
dengan istri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia, Abendanon antara tahun
1899-1904 M. Terbitan dalam Bahasa Belanda itu diberi judul ”Door Duisternis
tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dicetak sebanyak lima kali sejak
tahun 1911 M. Dan pada tahun 1912 M Gubernur Van Deventer mendirikan “Yayasan
Kartini”([7]).
Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan
secara berkelompok dan dalam Aisyiyah Muhammadiyah (1917 M), Fatayat NU (1950
M), dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) (1954 M) sebuah under bow PKI.
Gerakan emansipasi perempuan di Indonesia mengalami
perubahan orientasi dari sekedar menuntut hak pendidikan, kesehatan dan
kehidupan yang laik, menjadi sebuah arus feminis. Yaitu gerakan yang menuntut
penyetaraan dan persamaan mutlak antara kaum laki-laki dan perempuan. Gerakan
ini pun berubah menjadi sangat liberal dengan berkembangnya aliran liberal di
Indonesia, terutama pasca euforia kebebasan pasca reformasi 1998.
Sasaran Penyetaraan Gender
Wacana Pengarusutamaan Gender (PUG) yang
menjelma menjadi perjuangan membela kesetaraan gender di berbagai sektor kehidupan,
tidaklah muncul sebagai sebuah gerakan independen. Ia juga tidak bermula dari
kesadaran perempuan atau dari para pembela hak-hakperempuan. Tapi hal tersebut
lebih merupakan desain global yang memiliki target jangka panjang. Di antaranya
yang paling mendasar adalah desakralisasi nilai-nilai yang ditanamkan dan
dipegang dalam pernikahan yang dalam agama Islam dikenal sebagai ”mîtsâqan
ghalîdhan”. Maka wacana-wacana tersebut kemudian diperjuangkan sampai
memasuki ranah konstitusi di tingkat internasional. Sebagai sebuah lembaga
representasi perkumpulan paling bergengsi di dunia, PBB pun akhirnya takluk di
tangan para pejuang kesetaraan gender.
Komitmen PBB untuk menjamin hak-hak perempuan secara
khusus ditunjukkan ketika Majelis Umum PBB menyetujui Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women) yang kemudian
dikenal dengan CEDAW pada tanggal 18 Desember 1979.
Konvensi tersebut memuat tiga puluh poin materi yang
terbagi menjadi enam pokok tema; mengatur segala hal perbedaan perlakuan yang
berkaitan dengan perempuan, langkah-langkah apa saja untuk menghilangkan dan
menghapuskan diskriminasi tersebut, kemudian membicarakan hak-hak pendidikan,
ekonomi, sosial, kesehatan, perilaku seksual, hak bekerja, perlindungan dalam
rumah tangga, perkawinan. Selain menjelaskan tatacara merealisasikan
kesepakatan ini, diatur juga bentuk pengawasan bersama baik dari pemerintah
maupun NGO untuk berkomitmen menghapuskan segala bentuk perbedaan perlakuan dan
diskriminasi terhadap perempuan([8]).
Pemerintah Indonesia pun telah menandatangani konvensi
tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 pada saat mengikuti Konferensi Perempuan
se-Dunia II di Kopenhagen. Konvensi tersebut kemudian diratifikasi
menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau lebih dikenal dengan Konvensi
Perempuan pada tanggal 24 Juli 1984.
Di samping meratifikasi Konvensi Perempuan, Indonesia
bersama 188 negara lainnya telah menyepakati Deklarasi dan Landasan Aksi
Beijing (Beijing Declaration and Platform for Action/ BPFA) yang
merupakan hasil Konferensi Perempuan se-Dunia IV yang diselenggarakan di
Beijing pada tahun 1995. BPFA merupakan landasan operasional yang disepakati
bagi pelaksanaan Konvensi Perempuan yang bertema kesetaraan, pembangunan, dan
perdamaian (equality, development, and peace). Dalam Millenium
Development Goals (MDGs) yang dicanangkan PBB dalam Millenium Summit
yang diselenggarakan pada bulan September 2000, juga tak luput dari isu dan
tekanan kesetaraan gender sebagaimana sebelum-sebelumnya.
Dengan isu gender, terselubung proteksi terhadap
perilaku penyimpangan seksual, dengan dalih kebebasan melakukan aktivitas
seksual. Perilaku menyimpang tersebut kini sudah diakui di PBB dengan
tajuk besar kebebasan orientasi seksual. Dampaknya, sebuah pernikahan tak lagi
dibatasi hanya terjadi antara dua jenis manusia, tapi memungkinkan untuk
dilakukan dengan sesama jenis. Kriminalisasi terhadap perilaku seksual seperti
ini (homoseks dan lesbian) dianggap sebagai pengekangan dan pelecehan terhadap
Hak Asasi Manusia ([9]).
Tema-Tema yang Ditarget Para Pejuang Gender
1. Asal kejadian
manusia
Dalam persoalan manusia pertama yang diciptakan Allah
pertama kali, para pejuang gender beranggapan bahwa Adam ‘alaihissalam bukanlah
manusia pertama tersebut. Penafsiran ayat Al-Quran yang mengarah pada hal
tersebut dianggap sangat diskriminatif. Maka, klaim yang disosialisasikan
adalah bahwa “nafsun wahidah” lah yang pertama kali diciptakan oleh
Allah, dan bukan laki-laki (Adam).
Menurut Musda Mulia pemahaman distortif dan sarat
dengan bias gender ini muncul dari penafsiran literal terhadap ayat Al-Quran.
Dan sayangnya pemahaman seperti ini justru dianut oleh kebanyakan kaum muslimin([10]). Sedangkan jumhur ulama
berpendapat bahwa yang dimaksud ”nafsun wahidah” dalam awal surat
An-Nisa’ adalah Adam alaihissalam.
Sebagian kecil saja dari para ulama yang berpendapat
selain itu. Di antaranya adalah Al-Qadhi Abdul Jabbar al-Mu’tazily, ”Jika
Allah mampu menciptakan Adam dari debu/tanah, maka tentu Allah sanggup mencipta
Hawa juga dari tanah. Jika demikian, lalu apa faidah penciptaan Hawa dari
tulang rusuk Adam”([11]). Sedangkan Abu Muslim
al-Asfahany (254-322 H) mengatakan, ”lafazh ‘nafs’ di dalam Al-Quran diulang
sebanyak 295 kali. Dan tidak ada yang mengisyaratkan bahwa yang dimaksud adalah
Adam ‘alaihissalam. Demikian juga kata ”nafsun wahidah” yang
diulang sebanyak lima kali. Tak ada satupun yang mengindikasikan bahwa yang
dimaksud adalah Adam ‘alaihissalam”([12]).
Para pejuang gender ini merasa makin kuat ketika
mendapatkan dukungan dari Muhammad Syahrur yang sangat terpengaruh teori
evolusi Darwin. Menurutnya bahwa Allah menciptakan manusia setidaknya melalui
dua tahap. Pertama, Allah ciptakan semua unsur jantan (dzakar)
dan betina (untsa) dari semua makhluk-Nya, yang berakal maupun yang
tidak. Pada tahap kedua, Allah membedakan antara jenis manusia dan yang lainnya
ketika meniupkan ruh.
Kemudian Allah menegaskan kemuliaan manusia tanpa
memandang perbedaan jenis kelamin (QS. Al-Isra’: 70)([13]).
Adapun kebanyakan pakar tafsir dan ulama menyepakati
bahwa Adam lah manusia pertama yang diciptakan Allah, seperti penuturan Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan 31. Kemudian penegasan bahwa perumpamaan Isa
dan Adam itu sama-sama merupakan mukjizat dan tanda kekuasaan Allah([14]). Pendapat ini juga didukung
dalil-dalil hadis yang kuat yang menunjukkan bahwa Adam adalah manusia pertama
ciptaan Allah yang akan mendapat pengaduan anak-anak Adam ketika hari kiamat([15]).
Adapun penciptaan Hawa, di dalam Al-Quran secara
implisit disebut sebanyak tiga kali dengan redaksi ”khalaqa minhâ” atau
“ja’ala minhâ”([16]). Sedangkan secara eksplisit
hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang
rusuk laki-laki([17]).
Pilihan penulis terhadap pendapat jumhur bukan hanya
karena banyak yang berpendapat demikian. Tapi karena pendapat ini argumentatif
dan didukung dalil yang kuat. Dan permasalahan penciptaan ini tidak berhubungan
dengan kualitas manusia. Karena kualitas manusia tidaklah ditentukan oleh jenis
kelaminnya juga oleh urutan penciptaannya. Nabi Muhammad SAW, yang diciptakan
Allah jauh setelah Adam dan nabi-nabi utusan-Nya bahkan menjadi utusan
pamungkas dan nabi akhir zaman, justru ditahbiskan dan dinobatkan sebagai
manusia terbaik dan pimpinan para nabi dan rasul.
2. Tema perwalian dan
mahar dalam nikah
Adanya perwalian dan mahar dalam pernikahan, menurut
para pejuang gender dianggap sebagai bentuk diskriminasi lain yang harus
diamandemen aturannya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 30 disebutkan,
“calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang
jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati kedua belah pihak”. Musdah Mulia
mengusulkan amandemen pasal ini dalam Counter Legal Draft (CLD),
pasal 16 dengan menawarkan, ”(1) Calon suami dan calon istri harus
memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya)
setempat. (2) Jumlah, bentuk dan jenis mahar disepakati oleh kedua belah pihak
sesuai dengan kemampuan pemberi”([18]). Hingga saat ini usulan CLD ini
masih belum diterima, tetapi jika suatu saat RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender
(KKG) disahkan tidak mustahil butir-butir aneh tersebut termasuk usulan-usulan
lainnya akan kembali diperjuangkan.
Mahar yang merupakan salah satu syarat nikah, maka
hukum memberikan mahar adalah wajib, baik tunai ataupun ditunda. Mahar bukanlah
sebuah simbol hegemoni atau “harga” seorang perempuan. Justru Islam
menjadikannya simbol penghormatan dan pemuliaan. Maka mahar adalah kepemilikan
penuh bagi istri yang tak boleh diotak-atik oleh suami atau pihak lainnya.
Selain masalah mahar, mereka juga banyak menyebut
unsur-unsur diskriminatif lain dalam ajaran agama Islam. Masalah perwalian
misalnya, juga hak menolak atau meminta hubungan badan (jima’) atau
menikmatinya sama seperti suaminya (laki-laki). Maka hak aborsi juga perlu
diberikan kepada perempuan, bahkan kesediaan untuk hamil atau menundanya atau
menolaknya adalah hak setiap perempuan. Sebagaimana hak untuk keluar rumah dan
beraktivitas serta mendapatkan pendidikan yang lain.
Tentunya pembahasan masalah mahar, perwalian juga
aborsi (pengguguran janin) tidaklah bisa disamakan dengan masalah hak
perempuan dalam pendidikan, ekonomi dan aktivitas publik. Terlebih masalah
hubungan badan yang merupakan hak keduanya secara sama, yang oleh Rasulullah
SAW ditegaskan ”pada kemaluan kalian terdapat shadaqah”([19]). Karena Rasul menambahkannya
bahwa jika dilampiaskan pada yang haram maka akan berdosa. Hasrat seksual
sengaja Allah ciptakan pada manusia sekaligus diberikan jalan pemenuhannya
secara halal dan aman. Sedangkan, wacana kesetaraan gender punya kepentingan
untuk melegalkan kebebasan seksual tanpa batas.
Poin lain dalam masalah sensitif ini adalah tentang
masalah nusyuz yang sering disalahartikan dan tak jarang justru
dituduhkan sebagai dasar normatif KDRT (kekerasan dalam rumah tangga)
dalam Islam. Menurut bahasa, nusyuz diambil dari suatu dataran tinggi di
bumi. Maka bisa diartikan nusyuz terjadi bila salah satu pihak dari
masing-masing suami maupun istri merasa lebih tinggi dari yang lainnya. Nusyuz
disebut secara spesifik sebanyak dua kali, yaitu dalam QS. An-Nisa: 34-35 bila
terjadi dari pihak istri (perempuan) dan di dalam An-Nisa’: 128, jika terjadi dari
pihak suami (laki-laki).
Ini adalah solusi penawaran dalam sebuah masalah yang
terjadi di tengah keluarga. Jika permasalahan berat atau kesalahan dari pihak
perempuan maka sebagai pemimpin rumah tangga laki-laki disarankan untuk
menyeselaikannya dengan santun, melalui tiga tahap: menasehati dan berdialog,
jika tak mempan maka diambil langkah berikutnya yaitu “pisah ranjang”. Adapun
langkah ketiga “memukul” terdapat banyak aturan, di antaranya: tidak menyakiti
dan tidak memukul wajah serta tidak menghinakan. Imam Malik bahkan menyaratkan
boleh memukulnya dengan sehelai tisyu. Hal tersebut bukan dimaksudkan sebagai
pelampiasan kemarahan atau hukuman tapi untuk mencairkan suasana dan
mengembalikan keakraban serta keharmonisan.
Imam al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan hadis Nabi
SAW, ”Orang-orang pilihan di antara kalian takkan pernah memukul
–istrinya-”([20]). Nusyuz istri ini
tidaklah dikarenakan semua bentuk kesalahan istri, tapi kesalahan besar yang
mengganggu keharmonisan rumah tangga. Ar-Ragib Al-Asfahany menegaskan, ”bahwa
nusyuz terjadi bila istri merasa tinggi di depan suaminya sehingga berdampak
ketidaktaatan, atau jika hatinya sudah tak berhasrat padanya dan berpaling pada
laki-laki lainnya”([21]).
Demikian sebaliknya jika tanda-tanda nusyuz
ditemukan seorang perempuan dalam diri suaminya, serta ada masalah
disharmonisasi di tengah biduk rumah tangga, maka cara damai diutamakan untuk
ditempuh. Jika dalam dua kondisi nusyuz di atas tak terelesaikan secara
internal, maka dibolehkan minta mediasi (dari keluarga masing-masing mereka)
untuk ikut menyelesaikan masalah. Dan jika cara ini tak menemui solusi yang
baik, maka berpisah pun diperbolehkan dengan cara yang makruf. Sedang ketiadaan
tahapan-tahapan penyelesaian nusyuz (bagi perempuan) mengandung hikmah
yang sangat arif. Karena, jika perempuan disarankan memukul tentu rumah tangga
akan berubah menjadi ring pertarungan yang tak seimbang. Dengan hal ini justru
perempuan dilindungi dari kekerasan dan pelecehan martabatnya sebagai manusia
yang terhormat.
Tak jarang, sebagian orang menukil beberapa data
perceraian yang diakibatkan oleh KDRT sebagai argumen untuk mendelegitimasi
aturan agama. Mereka mengatakan bahwa perilaku KDRT ini meningkat bisa jadi
karena sandaran aturan normatif yang salah. Padahal, jika mau jujur orang-orang
yang melakukan KDRT tesebut sama sekali tidak memahami aturan agamanya, bahkan
mungkin tidak terbersit bahwa apa yang mereka lakukan memiliki pembenaran dan
dalil. Dengan demikian kesimpulan di atas menjadi sangat prematur dan merupakan
bentuk generalisasi yang tidak argumentatif.
3. Masalah thalaq (perceraian)
Sebagai tindak lanjut masalah sebelumnya, kali ini
talak atau perceraian diklaim sebagai bentuk lain perlakuan diskriminatif Islam
terhadap perempuan atau bentuk hegemoni lain laki-laki terhadap perempuan.
Karena –menurut mereka- laki-laki dan perempuan tidak memiliki hak talak yang
setara.
Maka menurut para pejuang penyetaraan gender, sebagai
bentuk keadilan yang mutlak adalah jika hak percerian hanya bisa dilakukan oleh
pengadilan. Maka, pelucutan hak talak dari laki-laki merupakan bunyi keadilan
dan kesetaraan gender.
Di samping itu mereka juga menghendaki adanya iddah
yang diberlakukan juga bagi laki-laki. Salah satu pejuang penyetaraan
gender, Nawal Sa’dawi mengatakan, ”Sesungguhnya talak merupakan salah satu
solusi untuk menyelesaikan sebagian masalah rumah tangga. Tapi apakah sebuah
keluarga hanya berisi satu pihak saja yaitu laki-laki? Mengapa penyelesaian
masalah justru merugikan pihak lain?”([22]).
Sementara yang lain –Aminah Wadud- memandang bahwa
peraturan ini hanya bersifat temporer, mengingat kondisi saat turun wahyu
sangat tidak memihak perempuan([23]). Maka di zaman saat kesetaraan
dijunjung tinggi hal itu perlu direvisi dan diubah.
Talak adalah salah satu solusi disharmonisasi dalam
rumah tangga, bahkan merupakan solusi terakhir yang ditempuh jika solusi
alternatif lainnya tidak menghasilkan solusi yang memuaskan kedua pihak yang
bertikai. Meskipun hak talak ini aslinya dipegang laki-laki, tapi diikuti
batasan dan aturan yang sangat ketat. Karena ada kondisi tertentu yang tidak
diperbolehkan menjatuhkan talak pada istri, demikian halnya kewajiban nafkah
dan tempat tinggal tidak dengan otomatis berhenti seketika bagitu talak
dijatuhkan pada sang istri. Secara normal dan umumnya pasangan, laki-laki yang
selama ini menafkahi akan menakar-nakar ulang sebelum menjatuhkan pilihan
antara mentalak atau menahannya. Tentu berbeda kasusnya jika penyikapannya
hanya memperturutkan perasaan yang emosional. Biasanya perempuan lebih
emosional dan lebih sering menuntut untuk diulangkan ke rumah orang tuanya. Bahkan
dalam kondisi ia mampu menyumbangkan pemasukan bagi keluarga sekalipun. Maka
pelucutan sepihak seperti di atas adalah bentuk kezhaliman. Ini belum
membicarakan hak asuh anak dan masalah-masalah yang berkaitan dengan persusuan
serta persoalan rujuk, jika terjadi keinginan antar keduanya untuk memulai
membangun kembali mengurai disharmonisasi.
Di samping itu, jika dalam kondisi perempuan menjadi
pihak yang dirugikan jika terpaksa bertahan dalam keadaan disharmonisasi yang
menjeratnya, ia bisa melakukan khulu’ (tuntutan cerai kepada suaminya).
4. Hijab/Jilbab
Menutup aurat yang menjadi salah satu tanda iffah
dan usaha merealisasikan ketakwaan. Namun, kewajiban kaum muslimah ini
didesakralisasi oleh para slogan perangusutamaan gender dengan meluaskan
wilayah khilafiyah (perbedaan pendapat) dari yang sudah maklum di
kalangan umat Islam; yaitu antara wajah dan kedua telapak tangan muslimah. Khilafiyah
ini diperluas dengan redefinisi dan pembatasan aurat perempuan (di depan publik
dan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya) menjadi lebih luas dari itu;
yaitu bukan hanya sekedar wajah dan dua telapak tangan.
Orang-orang yang sering menyebut diri mereka kalangan
modernis, di antaranya Muhammad Syahrur, meredefinisi ”az-zinah” yang
dikecualikan dalam ayat (ولا يبدين زينتهنّ إلا ما ظهر منها) [QS. Al-Ahzab: 31] terbagi dalam dua hal: yaitu, 1. Az-zinah yang
zhahir dan 2. Az-Zinah yang tersembunyi. Lalu apakah yang dimaksud zinah
di siniyang sesuai dengan ruh dalam ayat QS. An-Nisa’: 22 dan 23.
Setelah membagi jenis-jenis perhiasan/zinah,
Syahrur juga menjelaskan apa yang dimaksud kata ”juyub” dalam Al-Qur’an
yang dianggapnya aurat kubra. Ia lalu mengatakan, ”Jika ada
pertanyaan: bolehkah seorang perempuan membuka auratnya (telanjang) di depan mahram-mahramnya.
Maka saya jawab: boleh, jika tidak mengganggu atau ada keperluan. Jika ada rasa
tak enak maka itu termasuk bagian dari adat, kepatutatan/aib atau malu. Tapi
hal ini tidak ada hubungannya dengan halal dan haram, karena suami dan ayah
termasuk di dalamnya. Jika seorang ayah melihat anak perempuannya demikian, ia
jangan mengatakan: ini haram. Tapi katakanlah hal tersebut aib!”([24]).
Sementara Muhammad Said al-Asywamy mencoba mengritisi
argumen disyariatkannya jilbab yang menurutnya secara global bermula dari dua
hal: melindungi kaum muslimat yang merdeka dari pelecehan seksual atau disamakan
dengan budak atau pelacur pada saat mereka hendak menunaikan hajat (buang air).
Inilah –menurut Asymawy- maksud yang sesungguhnya dan bukan untuk mewajibkan
pakaian islami sebagaimana banyak diklaim orang. Apalagi saat ini untuk
membedakan identitas seseorang sangat mudah karena ada kartu identitas, juga
karena hampir semua model kamar kecil (toilet) sekarang berada di dalam rumah
atau ruang yang sangat tertutup (privasi). Dengan demikian perlu peninjauan
ulang terhadap klaim kewajiban jilbab([25]).
Penulis takkan menjawab syubhat ini, karena kewajiban
tentang jilbab sudah demikian jelas sejelas kewajiban shalat dan zakat. Jika
ada perdebatan maka wilayahnya menjadi sangat kecil, yaitu hanya wajah dan
kedua telapak tangan. Jika sebagian muslimah atau banyak di antara mereka
enggan mengenakan pakaian iffah ini maka tidak menjadi tolok ukur bahwa
kewajiban jilbab kemudian tereduksi dan mengalami perubahan hukum atau
dikatakan hukumnya belum final.
5. Waris
Satu-satunya wacana klasik yang diperdebatkan dalam
masalah waris dalam frame kesetaraan gender adalah bahwa dalam masalah
perwarisan seorang perempuan –hanya- mendapatkan jatah setengah bagian
laki-laki. Maka ini merupakan bentuk perlakuan diskriminatif yang lain.
Padahal dalam agama Islam hukum waris adalah sebuah
sistem komprehensif dan tidak boleh dipahami dan dilaksanakan secara parsial
saja. Aturan-aturan tersebut dikemas dalam al-Qur’an yang kemudian dipelajari
perkembangan kasus-kasusnya yang oleh para ulama kemudian dinamakan dengan
sebuat disiplin ilmu ”Fara’idh”. Para pejuang gender tersebut hendak
menggeneralisasi kondisi perwarisan, atau dimaksudkan untuk memblow up,
beberapa kondisi yang sangat sedikit saja sehingga mendukung tujuan mereka
serta menempatkan Islam dalam posisi tembak dan tak ubahnya seperti
perundang-undangan yang bisa direvisi dan diamandemen.
Secara umum Islam mengatur hak perempuan dalam waris
sebagai berikut, jika diperhatikan justru yang terjadi sebaliknya, perempuan
menjadi sangat dimuliakan dan dijunjung derajat dan martabatnya.
- Hanya ada 4 kondisi saat perempuan menerima setengah bagian laki-laki
- Ada 8 kondisi saat perempuan menerima bagian sama sempurna seperti laki-laki
- Ada 10 kondisi saat perempuan menerima bagian lebih banyak dari laki-laki
- Bahkan ada beberapa kondisi saat itu perempuan menerima bagian, sementara laki-laki tidak mendapatkannya([26]).
6. Poligami
Adapun poligami yang dihalalkan Allah sudah tentu
menjadi musuh utama para pejuang gender. Karena selain dianggap perlakuan
diskriminatif terhadap perempuan, poligami dianggap tidak manusiawi dan
merendahkan martabat perempuan. Tak heran, jika di mana-mana poligami
disosialisasikan untuk diperangi, karena merupakan bentuk perbudakan dan
perlakuan tidak adil yang dialami perempuan. Juga karena perempuan tidak
diperbolehkan memiliki pasangan lebih dari satu.
“Termasuk pula dalam pengertian ”mâ anzalallah”
adalah hukum poligami. Dalam banyak pandangan di dalam masyarakat hukum
poligami bukan sekedar dibolehkan, tetapi juga sunnah karena pernah
dipraktekkan oleh Nabi SAW” ([27]).
Gerakan anti poligami ini sangat mudah untuk
digulirkan. Dengan memanfaatkan sisi emosional perempuan yang memang sulit
menerima untuk diduakan, maka tak perlu berpikir panjang seolah-olah poligami
adalah dilarang dan dimusuhi bersama. Di saat yang sama para pejuang gender
tersebut ingin melegalkan dan melindungi praktek perselingkuhan dan perzinahan,
termasuk perilaku seksual yang sangat bebas tanpa batasan tertentu karena
dipandang sebagai wilayah yang sangat privat.
Padahal poligami adalah sebuah solusi sebagaimana
perceraian yang diperbolehkan dalam Islam. Adanya syarat keadilan yang tak bisa
ditawar merupakan bentuk pengetatan dan rem keberanian seorang laki-laki
sebelum melangkah mengambil keputusan untuk menikah lagi. Nabi Muhammad SAW
sendiri tetap bertahan monogami selama kurang lebih 27 tahun. Sulitnya kondisi
perceraian tak menyebabkan seseorang harus mengatakan bahwa talak
diharamkan.
Maka demikian halnya dengan poligami, yang jika
–terpaksa- dilakukan karena suatu sebab dan diikuti dengan pemenuhan keadilan
yang maksimal maka adalah bentuk prestasi. Meski pandangan yang mengatakan
bahwa poligami adalah sunnah, tetap harus dikritisi dan dikaji ulang. Karena
poligami merupakan salah satu solusi masalah sosial dan juga kebutuhan pribadi
di waktu yang sama. Maka secara proporsional –justru- akan kembali menempatkan
perempuan dalam kehormatannya. Berbeda dengan perselingkuhan dan perzinahan
yang merupakan bentuk hubungan yang sulit dipertanggungjawabkan secara
manusiawi sebelum di hadapan hukum Allah.
7. Kepemimpinan (qawwamah)
Masalah qawwamah cenderung dibahasakan sebagai
penguasaan atas perempuan. Kepemimpinan yang dimaksud adalah pengayoman didistorsis
sebagai hegemoni dan diktatorisme. Parahnya pembahasan kepemimpinan lokal dalam
skup rumah tangga kemudian diluaskan ke mana-mana seolah menjadi genderang
perang terhadap Al-Quran yang diklaim menutup hak politik dan publik para
perempuan.
Gerakan dan perjuangan para pembela kesetaraan gender
ini bahkan sangat berlebihan. Sebagai contohnya, ranah politik dipaksakan harus
mengakomodir 30% jatah khusus perempuan. Ini di Indonesia, di saat
negara-negara maju di dunia ini tak sampai menetapkan kuota dengan angka
seperti itu.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik[28] mengakomodasi beberapa paradigma baru
Indonesia. Pasal 2 ayat (2) dan ayat (5) yang menyebutkan :
(2) Pendirian dan pembentukan Partai
Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% keterwakilan
perempuan.
(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat
pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling
rendah 30% keterwakilan perempuan.
Islam tak melarang perempuan untuk menggunakan hak
politiknya juga tak melarang rincian-rincian di atas. Namun, jika ditilik dari
munculnya undang-undang tersebut maka tak bisa dilepaskan dari semangat
pengarusutamaan gender, atas nama kesetaraan gender.
8. Persaksian perempuan
Isu yang diangkat dalam masalah persaksian juga tak
jauh berbeda seperti poin-poin sebelumnya, perlakuan tak adil (diskriminatif)
terhadap perempuan dalam masalah persaksian didakwa sebagai
pembedaan/diskriminasi perempuan sekaligus sama halnya menempatkan perempuan
sebagai setengah manusia.
Banyaknya wilayah perbedaan dalam masalah ini di
kalangan para ulama mengindikasikan bahwa terjadi perkembangan yang
konstruktif. Dan semakin menegaskan pemahaman para ulama akan hal-hal yang
konstan (tsâbit) yang tak bisa berubah yang tidak menjadi wilayah
ijtihat serta mana yang termasuk wilayah yang berubah (mutaghayyirât).
Sebagai contoh sederhana, seorang murid yang sangat setia pada gurunya seperti
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, banyak berbeda pendapat dengan gurunya, Ibnu
Taimiyah dalam masalah ini([29]).
Metode yang Digunakan
Untuk disebut sebagai sebuah metode, dalam kajian
apapun yang diperlukan adalah konsistensi dan nilai ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Secara khusus penulis tidak menemukan metode yang digunakan para pejuang gender
untuk mencari sandaran normatif dalam rangka mendukung dan menguatkan
propaganda mereka dari perspektif agama. Meskipun pada dasarnya agama dan etika
adalah dua hal yang dihindari, dikritisi dan dijauhi.
Secara global pembahasan ayat-ayat Al-Quran yang
berkaitan dengan perempuan dikaji dalam perspektif kesetaraan gender dengan
beberapa pendekatan dan metode berikut.
1. Hermeneutika
Secara umum hermeneutika adalah penakwilan bebas dan
tak ada yang final dalam penafsiran teks (relativisme). Wahyu telah berubah
menjadi teks dan masuk ke dalam ranah manusia karena sudah diturunkan ke bumi.
”Sebuah ilmu tentang penakwilan teks-teks suci atau teks agama manusia,
seperti sebuah tafsir atau ilmu filologi, pemaknaan literal (harfiyah), atau
pendekatan marfologi dan gramatikal. Atau yang dikenal sebagai penafsiran per
lafazh”([30]). “… yaitu dengan menanyakan
banyak hal dari sumbernya atau dari pembacaan di lain sisi”([31]). Maka bagi para penganut ”tafsir
hermeneutika” ada lima unsur pokok: (1). Matinya pengarang, karena penakwilan
dibebaskan sesuai pembacaan pembaca; (2). Wahyu telah beralih menjadi teks
manusia, maka bisa dikritisi sebagaimana karangan manusia; (3). Tak ada yang
zhahir, semuanya bisa ditakwilkan; (4). Relativisme dan tidak ada yang final
dalam penakwilan, karena akan terus berkembang; (5). Maka sebagaimana para mufassirun
berkarya, semua yang datang setelahnya boleh berkata apa saja. Di antara
pelopor hermeneutika: Schleirmacher (1768-1834 M), Martin Heidegger (1889-1976
M), Gadamer (1900-2002 M). Oleh para sarjana muslim yang belajar ke Barat,
hermeneutika dianggap sebagai penemuan atau ilmu baru yang dibutuhkan dalam
penafsiran Al-Quran.
2. Kritik sastra dan
kebahasaan Al-Quran
1. Strukturalisme (al-binyawiyah):
Dengan pendekatan strukturalisme, Al-Quran bagaikan
teks yang berdiri sendiri terlepas dari berbagai ikatan ideologis. Atau
menjadikan teks harus dikembalikan kepada kaidah kebahasaan yang memiliki
aturan gramatikal dan sebagainya. Tidak finalnya Al-Quran ditunjukkan dengan
adanya qira’ah sab’ah (tujuh) atau asyrah (sepuluh). Maka bagi
kritikus strukturalis tidaklah memiliki misi mengungkap hakikat sesuatu yang
terkandung dalam bahasa teks, tapi misinya adalah menyesuaikan bahasa teks
dengan bahasa modern saat ia hidup di tengahnya([32]).
Di antara para pelopor aliran kritik sastra ini:
Ferdinand De Sausure (1857-1913 M) dan Roland Barthes (1980-1915 M).
2. Dekonstruksi (at-tafkîkiyah): adalah sebuah
metode pembacaan teks yang beranggapan, setiap teks/ungkapan
selalu kontekstual. Di antara tokohnya: Jacques
Derrida (1930-2004 M) menunjukkan bahwa kita cenderung untuk
melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu
kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final.
Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme, yaitu, kecenderungan untuk mengacu
kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek
absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis
terhadap setiap teks. Derrida sendiri banyak terpengaruh oleh
Nitche (1844-1900 M)([33]) dengan filsafat nihilismenya([34]).
3. Stylistik (al-uslûbiyah):
Yaitu dengan menempatkan Quran dalam kritik sastra dan
kebahasaan. Wahyu yang semula adalah kalam Allah, ketika disampaikan kepada
Muhammad (manusia), maka yang digunakan adalah bahasa manusia. Adanya
kesenjangan antara dua bahasa tersebut (antara sumber dan penerima) dimediasi
oleh Jibril. Maka yang menjadi pusat kritik bukan asal sumbernya (wahyu/kalam
Allah), juga bukan penerimanya (Nabi Muhammad), juga bukan mediatornya
(Jibril), tapi teks yang sampai kepada Umat Islam. Al-Quran yang diterima Nabi
Muhammad dari Jibril, pasti berbeda pemaknaan dari yang diterima sahabat
langsung dari Nabi SAW, demikian seterusnya para tabi’in hingga sampai ke zaman
sekarang. Maka kritik gaya bahasa (uslub) dijadikan poin penting dalam
kritik. Meski terjadi perbedaan serius di antara para pelopor aliran ini([35]), tapi tetap bisa dipakai para
pejuang gender untuk mengangkat kebenaran relatif dan perlunya amandemen isi
al-Quran.
4. Semiotika (as-simiya`iyyah):
Dengan metode ini yang dipusatkan adalah unsur bahasa
yang sering disebut kode atau simbol([36]). Maka unsur-unsur yang dimuat
dalam al-Quran juga demikian, menjadi sangat relatif. Sebagai contoh: definisi khamr,
aurat dalam kebahasaan Arab akan berkembang dan mungkin berubah jika dilakukan
dengan pendekatan bahasa lain dan di tengah komunitas lain.
3. Pendekatan
sejarah
Dengan pendekatan sejarah, agama (Islam) dimasukkan
sebagai unsur sejarah([37]) dan budaya yang mengalami
perkembangan. Maka kandungan ajaran-ajaran yang dibawa harus dikritisi dan
direvisi untuk menyesuaikan perkembangan sejarah. Tak heran jika kemudian
muncul istilah ”muntaj tsaqafi” (produk budaya) sebagai padanan Al-Quran([38]). Artinya sebagai produk budaya
Al-Quran juga tak bisa lepas dari kritik dan revisi. Termasuk di dalamnya
tema-tema perempuan dan gender.
Tak heran jika kemudian, para pejuang kesetaraan
gender mencoba memperjuangkan persamaan antara laki-laki dan perempuan termasuk
dalam wilayah budaya dalam RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender). Jika
nantinya RUU ini disahkan, maka bisa dijadikan pintu untuk merevisi atau
mengamandemen aturan-aturan agama yang sudah pakem. Apalagi jika ditekankan
bahwa Islam adalah bagian dari sejarah dan budaya([39]), maka sudah selaiknya
ditinggalkan dan diganti dengan yang baru. Atau jika tak memungkinkan
setidaknya diperbarui dan diubah kandungannya.
4. Pendekatan sosiologis
dan antropologis
Dengan pendekatan ini, dipahami bahwa agama adalah
fenomena sosial([40]), maka perilaku keagamaan orang
Arab tak bisa disamakan dengan perilaku keagamaan orang Indonesia. Targetnya
adalah lokalisasi ajaran agama (nasionalisasi). Termasuk di antaranya
kondisi perlakuan terhadap perempuan dan kentalnya sistem laki-laki dalam Arab.
Maka dengan sendirinya, dalam konteks keindonesiaan atau tatanan sosial modern
perlu diatur perlakuan manusiawi yang lebih bermartabat kepada perempuan.
5. Pendekatan psikologis
Dalam pendekatan ini, yang diutamakan dalam
tataran realita adalah hasil dari perilaku keagamaan. Tanpa melihat seseorang
memeluk agama tertentu apa. Dari sini akan dimunculkan sebuah madhab baru dalam
beragama, yaitu madzhab pluralisme([41]). Yang terpenting adalah
keshalihan dan kebaikan individu tanpa memandang agama yang dianutnya. Atau
dengan kata lain mereka mengklaim mengambil intisari kebaikan dari berbagai
agama.
RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)
Target dari pengesahan RUU KKG adalah kriminalisasi
segala bentuk pelanggaran dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan([42]), tanpa memandang kondisi. Maka
dengan rujukan RUU ini kelak akan berimplikasi terevisi dan teramandemennya
beberapa Undang-Undang di negara ini, khususnya secara mendasar akan terjadi
perubahan besar dalam UU Perkawinan (Ahwal Syakhshiyyah). Target dan
sasaran ini bisa diendus dengan masuknya unsur budaya dalam berbagai poin dalam
RUU tersebut. Dengan pendekatan budaya dan sejarah, maka segala bentuk aturan
agama adalah unsur budaya yang terus mengalami perkembangan.
Meskipun belum bisa digeneralisir, namun patut
dicermati sebuah fakta yang mencengangkan sekaligus menyedihkan. Angka
perceraian di Indonesia pasca reformasi (di atas tahun 2000) meningkat empat
hingga sepuluh kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2009,
terdapat 250 ribu perkara perceraian, atau sebanding dengan 10% angka
pernikahan di tahun yang sama.
Tujuh puluh persen di antara perceraian tersebut
adalah bentuk cerai gugat, yaitu pihak istri (perempuan) yang menggugat cerai
suaminya dengan berbagai sebab([43]). Padahal para pejuang dan
pembela kesetaraan gender sering mengemukakan bahwa terjadi perbaikan dan
peningkatan dalam penerapan kesetaraan gender serta penekanan angka perlakuan
diskriminatif terhadap perempuan.
Penutup
Di antara bukti Islam menghargai dan menghormati
perempuan, di dalam Al-Qur’an secara khusus terdapat sebuah surat bernama Surat
an-Nisa’, wasiat terakhir Nabi Muhammad SAW adalah berkaitan dengan perlakuan
yang baik terhadap perempuan, serta banyak kesempatan di dalam Al-Quran dan
As-Sunnah yang memerinci penempatan mulia serta menjunjung martabat perempuan.
Maka, kita tak menafikan perjuangan dan kegigihan para pejuang gender, tapi
yang kita perlu waspadai jika aksi tersebut berbau politis dan ideologis,
dengan membawa misi anti kemapanan, relativisme serta mendobrak nilai dan
tatanan agama serta memerangi kemapanan keluarga dalam masyarakat.
REFERENSI
([1]) Alumni Universitas Al-Azhar Cairo, Jurusan
Tafsir dan Ilmu-Ilmu Al-Quran, Wakil Ketua Komisi Seni Budaya MUI Pusat, Divisi
Kajian Sharia Consulting Center (SCC) Jakarta, Dosen di Sekolah Tinggi
An-Nuaimy, Jakarta, Dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta, aktif di Asia Pasific
Community for Palestina di Jakarta.
([2]) Dr. Ali Muhammad Shalabi, As-Sirah
An-Nabawiyyah; Ardh Waqa’i wa Tahlil Ahdats, Darut Tauzi’, Cairo, Cet. II,
20023 M-1424 H, Jilid 2, hlm. 363-364. Suhailah Zainal Abidin, al-Mar’ah
al-Muslimah wa Muwajahah Tahaddiyat al-Aulamah, Ubaikan, Riyadh, Cet.I,
2003 M-1424 H, hlm. 190-191.
([3]) An-Nawawi, Minhaj al-Qashidin wa Umdatu
al-Muftin, Darul Ma’rifah, Beirut, 1986 M-1406 H, J.1, h. 21.
([4]) Lihat Helen Tierney (Ed.), “Women’s Studies
Encyclopedia”, Green Wood Press, New York, Vol. I, hlm. 153.
([5]) Lihat Wikipedia Online, dengan alamat http://en.wikipedia.org/wiki/Gender,
diakses tanggal 17 September 2010.
([6]) dikutip dari Naskah Akademis RUU KKG (Kesetaraan
dan Keadilan Gender), Tim Kerja PUU-Deputi Perundang-undangan DPR RI, 24
Agustus 2011, hlm. 11
([7]) M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (1200
– 2008 M), Serambi, Jakarta, Cet. I, 2008, hlm. 341
([8])United Nations, The CEDAW and its Optinal
Protocol-Handbook for Parlimentarians, Switzerland, 2003, hlm. 9, 13
([9])International Commision of Jurists, Sexual
Orientation, Gender Identity and International Human Rights Law-Practitioners
Guide No. 4, Geneva, 2009, hlm. 52, 53
([10]) Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi
Kesetaraan Gender, Kibar Press, Yogyakarta, Cet.II, Agustus 2007, hlm. 62,
63
([11]) sebagaimana dinukil oleh Imam Fakhrurrazi dalam
tafsirnya (Mafatih al-Ghaib, Darul Fikr, Beirut, Cet. I, 1980 M – 1401
H, Jilid 9, hlm. 167)
([12]) Yaitu QS. An-Nisa’:1, QS. Al-An’am: 98, QS.
Al-A’raf: 189, QS. Luqman: 28, QS. Az-Zumar: 6
([13]) Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an:
Qira’ah Mu’ashirah, 596-597
([14]) QS. Ali Imran: 59
([15]) HR. Bukhori dalam shahihnya, Bab Lima
Khalaqtu bi Yadayya, hadis nomer 6975, dan Muslim dalam Kitâb al-Iman,
Bâb Adnâ Ahli al-Jannah Manzilatan, hadis nomer 193.
([16]) QS. An-Nisa’: 1, QS. Al-A’raf: 189 dan QS.
Az-Zumar: 6
([17]) HR. Bukhori, Kitâb Bad’i al-Wahyi, Bâb Wa
Idz Qâla Rabbuka, hadis nomer: 3084, Muslim, Kitâb Ar-Radha’, Bâb al-Washiyyah
bi an-Nisa`, hadis nomer: 1468, At-Tirmidzi, Kitâb Ath-Thalâq, Bâb Mâ
Jâ`a fi Mudârah an-Nisa`, hadis nomer: 1188, hadis ini juga diriwayatkan
oleh al-Hakim, Imam Ahmad dan ad-Darimy.
([18]) Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan
yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, dalam Sulistyowayi Irianto, Perempuan
dan Hukum, Yayasan Obor, Jakarta, Cet II, 2008, hlm. 158
([19]) HR. Muslim, Kitâb Az-Zakâh, Bâb Bayân
Ismi as-Sadaqah, hadis nomer: 1006, hadis ini diriwayatkan dari sahabat Abu
Dzar al-Ghifary ra.
([20]) Al-Hakim dalam al-Mustadrak dan mengatakan
bahwa sanadnya shahih (2/208), juga Imam Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, hadis
nomer: 14553
([21]) Ar-Raghib, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an,
Maktabah Nazar Musthafa, Riyadh, Cet.I, 1997, hlm. 493.
([22]) Dr. Nawal Sa’dawi, Qadhaya al Mar’ah wa
al-Fikr wa as-Siyasah, Maktabah Madbuli, Cairo, 2002, h. 218.
([23]) Dr. Aminah Wadud, Al-Qur’an wa Al-Mar’ah:
I’adah Qira’ah an-Nash al-Qur’any min Manzhur Nisa’iy, Maktabah Madbuli,
Cairo, Cet.I, 2006 hlm. 129-132.
([24]) Dr. Muhammad Syahrur: Al-Kitab wa al-Quran:
Qira’ah Mu’ashirah, Syarikah al-Mathbu’at li Tauzi wa an-Nasyr, Beirut,
Cet.I, 1992 M – 1412 H, hlm. 605-606.
([25]) Muhammad Said al-Asymawy, Ma’alim al-Islam,
Sina li an-Nasyr, Cairo, Cet.I, 1989, h. 124-125
([26]) Shalah Sultan, Mîrâts al-Mar’ah wa Qadhiyatu
al-Musâwâh, Nahdhah Misr, Cairo, Cet.I, 1999, hlm. 10-11
([27]) Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan,
Penerbit LkiS, Yogyakarta, Cet. II, 2007, h. 29-30
([28]) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 2 Tentang Partai Politik
([29]) Seperti yang beliau tulis dalam karyanya, Ath-Thuruq
al-Hukmiyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah, Tahqiq: Nayif Ahmad al-Hamd, Dar
Alam al-Fawa’id, Makkah, Cet.I, 1428 H.
([30]) Dr. Ahmad Idris Ath-Tha’an, Al-Qur’ân
al-Karîm wa at-Ta’wîliyah al-Almâniyyah, hlm. 2.
([31]) Dr. Nashr Hamib Abu Zaid, Isykaliyât
al-Qirâ’ah wa Âliyât at-Ta’wîl, Al-Markaz Ats-Tsaqafi al-Araby, Casablanca,
2005, hlm. 13
([32]) Manal Shalih al-Muhaimid, Tahawwulât an-Nash
Baina al-Binyawiyah wa at-Tafkîkiyah, hlm. 1.
([33]) lihat: Megan ar-Ruwaily, Dalil an-Naqid
al-Adaby, al-Markaz ats-Tsaqafy al-Araby, Casablanca-Maroko, Cet.III, 2002,
hlm. 108
([34]) Nihilisme (al-Adamiyah) sebuah paham dan
aliran yang didasarkan pada pengingkaran/penafiyan terhadap nilai-nilai atau
pemikiran sebagai sesuatu yang absolut, nilai atau norma tersebut sangat
relatif, maka tak perlu diatur oleh undang-undang atau negara karena menyangkut
kebebesan dan privat (Akademi Bahasa Arab Mesir, al-Mu’jam al-Falsafy,
Al-Mathabi’ al-Amiriyah, Cairo, 1983 M- 1403 H, hlm. 118)
([35]) Seperti yang ditulis oleh Dr. Shalah Fadhl, Manâhij
an-Naqd al-Mu’âshir wa Mushtalahâtihi, Merit, Cairo, Cet. I, 2002, hlm.
111-112.
([36]) Ibid, hlm. 121-122.
([37]) Nuruzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah
Muslim, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1983, hlm. 13.
([38]) Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an,
Elsaq Press, Yogyakarta, Cet.I, 2005, hlm. 100.
([39]) Lihat, misalnya: BAB I (Ketentuan Umum), Pasal
1, dan BAB III (Hak dan Kewajiban) pasal 14 dalam RUU KKG (Kesetaraan dan
Keadilan Gender)
([40]) Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the
Scared, Suhail Academy, Lahore, 1988, hlm. 66.
([41]) Madzhab yang memandang bahwa semua agama adalah
sama benar, terpengaruh dengan falsafah relativisme yang menafsirkan
eksistensi, perilaku dengan perspektif yang berbeda-beda (Al-Mu’jam
al-Falsafi, Ibid, hlm. 48).
([42]) Seperti termaktub dalam: BAB IX (Ketentuan
Pidana), Pasal 70-72 dalam RUU KKG .
([43]) lihat: International Islamic Commitee for Women
and Child (IICWC), Tatanan Keluarga dalam Islam, Lembaga Kajian Ketahanan
Keluarga Indonesia (LK3I), Jakarta, 2012, hlm. vii
Sumber:http://saifulelsaba.wordpress.com/2012/05/02/gender-vs-family-mainstreaming/