Sudah Islamikah Kesenian Aceh?
Suaradarussalam.com sedang mewanwacara Dr Chalidun Yacop, MA di Aula Balai Wali Kota Banda Aceh |
Kesenian Aceh lahir dalam rahim peradaban sejarah. Semua itu tak terlepas dari peran penting para ulama pada masa awal masuk Islam ke Aceh. Merekalah yang membidani dan menyeleksi lahirnya sejumlah kesenian dan adat istiadat yang penuh dengan nuansa islami.
Berikut wawancara Suaradarussalam.com dengan salah seorang tokoh Aceh yang unik, Dr Chalidin Yacop, MA di Balai Wali Kota Banda Aceh disela-sela acara Duek Pakat Ulama Se-Banda Aceh baru-baru ini. Perbincangan kita kali ini sekitar Kesenian Aceh. Apakah Kesenian Aceh semacam Saman, Seudati, Ranup Lampuan dan lain-lain masih memiliki ruh Islam dan masih berada atas khittahnya sampai saat ini?
Berikut Profil singkat narasumber kita. Nama sapaan beliau Chalidin. Sekarang menjabat sebagai Direktur Ashabul Kahfi Center yang bermarkas di Sydney,Australia. Hebatnya beliau sekalipun sudah dua puluh tahun lebih tinggal di Negara sekuler namun beliau tidak terbawa arus latah berfikir dan bergaya hidup orang sekuler yang bebas nilai. Beliau ibarat ikan yang meskipun hidup dalam air asin tidak serta merta asin. Tidak sama pada umumnya, seperti mahasiswa atau orang hanya ikut studi banding beberapa bulan saja ke Australia berubah secara total sudah miring-miring ke Liberal. Seperti ikan mati baru sejenak mati dilaut sudah asin.Ih ih ih ih…rapuhnya.
Untuk mengetahui bagaimana Kesenian Aceh dalam perspektif tokoh Aceh sudah menjelajah beberapa benua tersebut simak hasil wawancara berikut;
Chalidin menjelaskan kepada suaradarussalam.com tentang kesenian Aceh dewasa ini menurut amatannya. Idealnya semua kesenian di Aceh mesti terintregrasi nilai-nilai Islam karena kita telah sepakat baik secara personal maupun Pemerintah Aceh untuk menerapkan syariat Islam secara totalitas (red. Kaffah). Jadi apapun bentuk kesenian di Aceh tidak boleh bertentangan dengan Al-qur’an, Sunnah, Ijmak, Qiyas dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang pelaksanaan syariat Islam secara kaffah.
Doktor Chalidin mengatakan banyak sekali kesenian kita hari ini sudah dimodifikasi sehingga sudah melenceng dari apa yang telah dicetuskan oleh endatu kita. Antara lain;
Pertama, masalah menutup aurat bagi pelaku seni yang saya perhatikan. Ketika ada acara pementasan atau perhelatan tidak menutup aurat dengan sempurna padahal mereka adalah perempuan dewasa. Untuk meminimalisir hal tersebut sebenarnya cukup membatasi umur bagi penari. Karena masalah aurat adalah hal yang tidak bisa ditolirir dalam Islam dan Pemerintah semesti mengintruksikan kepada Dewan Kesenian Aceh (DKA) untuk mensterilkan Kesenian Aceh dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Kedua, yang ditampilkan adalah perempuan dewasa. Padahal dalam Fikih masalah penampilan perempuan dewasa di depan publik diharamkan, hatta masalah suara perempuan pun dianggap aurat. Kendatipun itu masalah khilafiyah dan pendapat lemah tapi yang jelas ada ulama yang melarang. Namun realitanya hari ini perempuan Aceh banyak yang lenggak-lenggok bernyanyi di depan laki-laki dewasa tanpa merasa berdosa malah sebaliknya merasa bangga.
Ketiga, Laki-laki yang berasal Samalanga dan pernah mengeyam pendidikan dayah tersebut juga menyinggung masalah anggaran. Terkadang anggaran untuk acara-acara kesenian sudah banyak dari anggaran penyuluhan agama yang sifatnya sangat krusial. Jelasnya dengan nada miris.
Keempat, Saya sangat menyesalkan kontes Agam-Inong Aceh. Menurutnya, itu dapat menurutkan martabart dan ghizzah orang Aceh. Pertama mereka tidak punya ikatan yang sah sudah disandingkan dan dibawa sampai ke Jakarta dan yang kedua masak dengan pakaian raja dan ratu Aceh kita malah menjadi pelayan melayani para turis asing yang “meu ik dan ek hana gleeh dirah”. Tegasnya dengan nada geram.
Kelima, Saya sangat setuju dengan Seudati itu dilakoni oleh laki-laki. Disamping itu juga ada pesan keislaman. Sebenarnya para ulama pembawa Islam dulu menjadikan Kesenian sebagai media mendakwahkan Islam. Coba perhatikan asal-usul kata Seudati dari Syahadatain (dua kalimah tauhid), Saman asal katanya Tsaman (delapan) dulu anggota Saman itu biasa beranggotakan depalan orang. Syech (ketua) semua berunsur dari bahasa Arab.
Sekarang adakah esensi dasar itu dalam kesenian Aceh hari ini? hal ini perlu dipertanyakan, dulu Kesenian merupakan media dakwah untuk menstransfer ajaran Islam bukan hanya hiburan belaka. Nah, apakah hal itu masih terawat sampai sekarang? Jawabnya tidak. Lihat saja tentang konten/bait syair yang dilantunkan “ alahuet seuneut apet ee kataheee, hai syam, lom ka dicong bak iboih, anuek puyeh ngon cicem subang. Pu tra yang dikhuen nyan? Itulah contoh kasus yang menjadi pekerjaan rumah Dewan Kesenian Aceh (DKA) yang harus segera dibenahi.
Keenam, Hendak Pemerintah Aceh membuat Rakor (Rapat Koordinasi) antar Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) yang membahas renstra (rencana strategis) yang tertuang dalam roadmap penerapan syariat Islam. Hal ini penting. Karena selama ini seolah-olah yang bertanggung jawab terhadap syariat Islam hanya dinas Syariat Islam saja. Padahal kan tidak demikian. Oleh karena itu, panggil dinas Kebudayaan dan Parawisata, bahas dengan meraka bagaimana konsep wisata yang Islami, Begitu juga masalah perhotelan, perbankan dan lain-lain. Jika sudah ada kesamaan persepsi akan lebih mudah menjalankan syariat Islam karena semua lini bergerak menuju Islam yang kaffah. Jika tidak demikian jangan harap akan berhasil ditegakkan.
Kemudian ketujuh, yang terakhir. Kita wajib menjaga warisan endatu berupa sejumlah kesenian Aceh yang sudah dipatenkan di United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan juga yang belum terdaftar. Artinya bukan kita berlepas tangan mengawal Tari Saman setelah berhasil dipatenkan di UNESCO). Bahkan sudah itu malah lebih besar lagi bentuk pengawasan kita karena Tari Saman sekarang sudah bisa dimainkan oleh semua masyarakat Internasional.
Sebagai pengalaman pribadi. Di Sydney, Australia saya pernah protes ke Konsulat karena Tari Saman dimainkan secara bercampur antara laki-laki dan perempuan dan itu bentuk pecelehan terhadap nilai-nilai budaya Aceh yang terkenal Islami. Akhirnya konsulat menegur dan mereka mengubahnya. Itu di Australia yang muslimnya hanya 2 persen lhoh. Maka alangkah naifnya bagi kita di Aceh muslim mayoritas tidak bisa berbuat apa dalam rangka melestarikan serta menjaga kesenian sesuai dengan yang telah dicetuskan oleh endatu moyang kita.
Reporter: Mustafa Woyla
Editor: Muhammad Chaldun