Ibrah Muharram: Hijrah Menuju Syari’at Islam Kaffah
Oleh Tgk. Mukhlisuddin, SHI, MA
“Barangsiapa
berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat
hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. (QS. An-Nisa ' : 100)
Muharram
merupakan bulan yang begitu Istimewa dalam Islam yang merupakan awal sejarah
kalender Islam yang ditetapkan berdasarkan ijma sahabat di bawah kepemimpinan
khalifah Umar ibnul Khattab ra. Merujuk pada awal hijrah Rasulullah saw dari
Mekah ke Madinah.
Diantara keistimewaan Muharram adanya hari ‘Asyura (hari kesepuluh) pada bulan Muharram. Karena pada hari ‘Asyura’ itulah (seperti dalam I’anatut
Thalibin) Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, akhir kehidupan dunia. Dalam konteks ke-Acehan, Muharram diperingati dengan tradisi “Bubõr
‘asyura”. Yaitu bubur yang dibikin
untuk menghormati hari ‘asyura’. Bubõr ‘asyura merupakan cerminan rasa syukur manusia atas karunia diberikan oleh Allah swt.
Keistimewaan ‘Asyura dan Muharram tentunya karena sejarah mencatat berbagai
kejadian luarbiasa terjadi pada bulan tersebut, Dalam rangka menjaga ingatan
yang telah melewati bentangan waktu yang begitu panjang, manusia masa kini
harus mampu memaknai sejarah kembali untuk kontekstual masa kini. Begitu pentingnya memaknai
momentum hijrah Rasulullah saw yang dijadikan pedoman kehidupan masa kini dalam berbagai konteks kehidupan.
Ibrah Muharram
Diantara hal
yang dikenang sepanjang masa, Muharram adalah bulan hijrah. Secara historis, hijrah diartikan sebagai kepindahan Nabi saw beserta
para sahabatnya dari Mekah ke Madinah. Hijrah Nabi saw diawali dari kondisi penindasan yang dialami oleh Rasul dan sahabatnya di kota Mekah.
Upaya menghindarkan diri itu diwujudkan dengan berhijrah hingga ke negeri Habasyah dan Madinah.
Hingga pada tahun ke XIII kenabian, saat kaum musyrik Mekah bersepakat untuk membunuh Nabi saw
sebagai puncak permusuhan mereka, maka Allah swt perintahkan kepada NabiNya
untuk berhijrah pula ke kota Madinah.
Hijrah Nabi
merupakan titik tolak perubahan dari masa kejahiliyyahan ke masa pencerahan,
dari masa yang penindasan ke masa pembebasan, dari masa keterceraiberaian ke
masa persatuan dan persaudaraan, dari masa keburukan ke masa kebaikan. Pada
dasarnya, setiap Muslim harus segera merubah keadaan ke arah yang lebih baik
dengan konsep hijrah. Adakalanya ketika ia akan berubah, ia menghadapi
tantangan, dan mungkin saja ia tidak mendapatkan jalan untuk memperbaiki kedaan
itu kecuali dengan meninggalkan lingkungan yang menghalanginya untuk berubah
lebih baik, maka ketika itu ia diperintahkan untuk berhijrah.
Transformasi nilai hijrah Rasulullah saw dapat dimaknai dalam 3 konsep. Pertama, Hijrah Insaniyyah. Hijrah sebagai transformasi nilai
kemanusiaan. Perubahan paradigma masyarakat Arab setelah kedatangan Islam dan pola
pikir mereka menunjukkan betapa sisi-sisi kemanusiaan dijadikan materi utama
dakwah Rasulullah saw. bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama, hanya
Allahlah satu-satunya Zat yang memiliki perbedaan dengan manusia.
Kedua, Hijrah Tsaqafiyyah, hijrah sebagai transformasi nilai
kebudayaan. Hijrah dari kebudayaan jahiliyyah menuju kebudayaan madaniyah.
Kebudayaan yang sarat dengan makna dan kemuliaan sebagaimana diperlihatkan oleh
Rasulullah dalam tata krama keseharian. Sejatinya, fondasi kebudayaan dalam
kacamata Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan diantaranya nilai
kebersamaan, gotong royong dan kesetia kawanan. Inilah nilai-nilai yang kini mulai lenyap dari
kehidupan kita digantikan dengan individualism dan kapitalime.
Ketiga, Hijrah Islamiyyah, hijrah sebagai transformasi nilai kepasrahan kepada Allah secara total. Momentum
hijrah ini harus kita maknai sebagai upaya peralihan diri menuju kepasrahan
total kepada sang pencipta. Artinya setelah modernism menggiring kita kepada rasionalisme dengan mengandalkan struktur sebuah
sistem. Maka kini saatnya kita berbalik kepada Allah Yang Maha Pencipta.
Reaktualisasi
Hijrah dalam Konteks Ke-Acehan
Pelaksanaan syari’at Islam kaffah di Aceh mulai
13 tahun lalu, implementasinya masih jauh dari harapan. Asumsi ini diperkuat oleh kenyataan implementasi syari’at Islam di Aceh sekarang belum begitu menyentuh masalah yang subtansial, namun lebih banyak berada pada
tataran regulasi kosong dan simbolik. Di samping
itu, beberapa Qanun yang sudah diimplemantasikan juga belum menyentuh semua
elemen masyarakat Aceh secara kaffah.
Diantara problematika global yang sangat diperlukan
perubahan adalah belum kaffahnya pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, hal ini
dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman masyarakat Aceh tentang esensial syariat
Islam. Hal ini melahirkan berbagai persepsi yang kurang baik terhadap syari’at
Islam. sisi lain, ketergantungan pada kebiasaan buruk akibat arus global,
pergaulan bebas, korupsi dan perilaku yang dicontohkan oleh para pemimpin juga
kian membuat hambatan menjadi semakin akumulatif. Selain itu, tidak terwujudnya
kerja sama antar intansi pemerintahan sesuai fungsinya juga telah menjadikan
hambatan semakin berakar, yang akhirnya melahirkan stigma bahwa
implementasi syari’at Islam kaffah bukanlah tugas bersama, melainkan tugas Dinas
Syari’at Islam, sehingga instansi yang lain seolah-olah merasa tidak punya
andil sama sekali dengan pelaksanaan syari’at Islam.
Solusi
cerdas, menurut penulis “konsep hijrah” (dari kegagalan menuju
kesuksesan penerapan syariat Islam) sudah sangat mendesak untuk
diimplementasikan yaitu melakukan berbagai perubahan nyata diantaranya Islamisasi pengetahuan dan
lembaga pendidikan secara makro yang bertujuan untuk mengkonsep
kembali ilmu melalui upaya islamisasi sebagai penguatan pada keyakinan
Islam sebagai ajaran hidup yang rahmatan lil ’alamin, serta menolak
struktur keilmuan barat modern yang sekarang menjadi paradigma keilmuan dunia. Diyakini, dengan islamisasi pendidikan akan membawa perubahan yang
signifikan dalam penerapan syari’at Islam kaffah karena
pendidikan yang islami merupakan langkah yang paling mendasar untuk tujuan
tersebut. Sedangkan integrasi kebijakan dan pelaksanaan sangat diperlukan
sebagai realisasi terhadap islamisasi pendidikan khususnya, dan implementasi
syari’at Islam kaffah yang lebih berwibawa dan berjalan sesuai dengan apa yang
diharapkan.
Dalam konteks Ke-Acehan, konsep hijrah juga dapat dilakukan melalui pendidikan dengan muatan lokal sesuai syariat Islam yang diberlakukan secara kaffah
dalam segala sisi kehidupan. Semua itu harus dimulai dari sekarang sebagai menciptakan negerasi muda
Islami yang mampu melakukan perubahan dalam kehidupan.
Untuk Pemimpin Aceh, Salah satu konsep perubahan yang perlu dijalankan
adalah reformasi birokrasi dimana reformasi birokrasi merupakan tonggak berubah
Aceh ke arah lebih baik, dimulai dari provinsi sampai ke kabupaten/kota
sehingga masyarakat bisa hidup aman, adil dan sejahtera, bahkan Gubernur Aceh
dalam Pencanangan dan Peluncuran Road Map Birokrasi Pemerintah Aceh Tahun
2013-2017 yang berlangsung di Gedung Serbaguna Gubernur pada Selasa 2/7-2013
menegaskan bahwa ada empat sasaran tercapai reformasi birokrasi yaitu
terciptanya pemerintahan dengan tata kelola yang baik, bersih serta bebas dari
penyelewangan, adanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan yang
dilaksanakan pemerintah, adanya peningkatan kualitas para pengambil kebijakan
dan adanya peningkatan kualitas di sektor pelayanan publik. Program “hijrah”
birokrasi ini jika bisa dijalankan dengan sempurna maka Aceh yang lebih baik
dan maju akan berhasil.
Oleh karenanya, marilah di
awal tahun baru ini kita memulai hidup baru dengan paradigma yang baru sesuai
dengan makna hijrah tersebut.
Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Fungsional di Kemenag Kab. Pidie Jaya. Staf
Pengajar di Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan STAI Al-Aziziyah