Dapat Beasiswa dari Baitul Mal untuk Belajar di Dayah, Santri Muallaf Ini Kini Sudah Mampu Jadi Imam
Hamdan |
Hamdan (14),
bersama puluhan santri lainnya tengah konsentrasi mengikuti aba-aba sang
pelatih. Sekali-kali mereka menendang dan mengeluarkan pukulan kosong. Dengan
baju warna merah dilengkapi sabuk kuning, mereka terlihat gagah saat melatih
ilmu bela diri.
Begitulah
suasana yang tergambarkan di pesantren Baitul Arqam, Sibreh, Aceh Besar,
sekitar pukul 17.00 wib, Rabu (22/10). Di pesantren ini pula, sejumlah
anak-anak muallaf binaan Baitul Mal Aceh dititipkan. Salah satunya Hamdan dari Aceh
Kutacane.
Saat ini ia
telah duduk di bangku kelas II, tingkat Sekolah Menengah Pertama. Dari tidak
tahu apa-apa kini ia sudah berguna, terutama untuk dirinya, keluarganya, bahkan
untuk orang sekitarnya ketika kembali ke gampong asalnya.
Usianya memang
masih terlalu muda. Remaja kelahiran, 05 mei 2001 ini sudah mampu menjadi imam
bagi orang banyak. Di mushalla tempat ia tinggal, ia telah dipercaya menjadi
imam shalat berjamaah lima waktu.
“Waktu itu
saya pulang libur bulan puasa tahun kemarin, orang kampung meminta saya jadi
imam di mushalla dekat rumah. Ya sudah, saya pun tidak menolaknya,” ujar Hamdan
dengan nada lugu kepada media ini.
Ia mengakui,
selama di pesantren Baitul Arqam, banyak hal dapat ia pelajari. Dari sebelumnya
pengetahuan tentang islam masih sangat minim, kini Hamdan sudah mampu mengumandangkan
adzan dan membaca quran dengan fasih. Sehingga selama sebulan penuh ia
bertadarrus di mesjid.
“Malamnya kami
tadarrus, saya melakukannya dari malam pertama hingga malam terakhir, dan juga
tidak pernah absen shalat tarawih,”kata Hamdan mengakui.
Meskipun orang
tuanya hanya penjaga kebun orang, namun buah hati dari Muhammad Ramadhan dan Kamisah
ini tidak pernah mengeluh untuk terus belajar di pesantren yang berlokasi di Desa
Tampok Blang tersebut.
Ketika pertama
sekali ia pulang kampung, ibundanya Kamisah begitu terharu ketika mendengar Hamdan
sudah mampu membaca Quran. Mengapa tidak, ia saja yang sudah 14 tahun lebih
masuk Islam belum mampu membaca Quran seperti Hamdan.
“Mamak pernah minta
saya mengajarkannya baca Quran, tapi saya malu karena merasa mamak lebih tua,
saya minta diajari sama ayah, karena ayah sedikit-sedikit bisa,” ungkap santri
berkulit putih ini.
Di tempat Hamdan
tinggal, mayoritas masyarakat masih beragama Kristen. Pengajian-pengajian agama
Islam bagi ibu-ibu disana masih sangat minim. Sehingga kata Hamdan, muallaf
disana kurang mendapat pemahaman tentang Islam yang ideal.
Maka ia
bercita-cita menjadi seorang ustadz. Ia ingin mengajarkan ilmu yang pernah
didapatkan dipesantren untuk orang banyak. Apalagi katanya masih banyak
anak-anak muallaf disana yang tidak tersentuh pendidikan agama.
“Tujuan saya
menuntut ilmu bukan untuk diri saya dan keluarga saja, tapi saya harus mampu
membuat orang lain lebih dari saya dalam mendapatkan ilmu agama,” ungkapnya
panjang lebar.
Setelah dua
tahun ia menimba ilmu di pesantren Baitul Arqam, ia mendapat sambutan positif
dari warga di gampongnya. Bahkan ia dipuji karena telah berubah 180 derjat dari
sebelumnya hura-hura dan bandel, kini sudah menjadi anak yang shaleh.
“Meskipun
kawan-kawan saya disana masih banyak yang Kristen, namun saya tidak terpengaruh
lagi dengan ajakan mereka isap rokok dan minum tuwak,” imbuhnya.
Selain itu, Hamdan
juga sudah berani berdiri di hadapan orang banyak. Ia mampu berpidato beberapa
menit bakda shalat. Bahkan ia pernah memberi ceramah Ramadhan di mesjid
gampongnya.
“Malam pertama
saya tampil, agak sedikit takut, tapi malam selanjutnya sudah terbiasa, tidak
ada masalah lagi,” katanya.
Walau ia masih
sangat muda dari segi usia, ia memiliki tekat besar membuat adik-adiknya
sukses. Anak pertama dari lima bersaudara ini telah mampu membujuk orang tuanya
dan pihak Baitul Mal mengizinkan adiknya yang nomor 3 masuk pesantren Baitul
Arqam.
Di pesantren
ia belajar membaca dan menghafal Quran dengan tekun. Biasanya saat usai shalat Subuh
mereka menghafal ayat-ayat, sedangkan waktu Magrib mereka mengulang kembali
ayat-ayat yang telah dihafal.
“Kadang-kadang
Magrib ada muhadharah dan baca Quran. Alhamdulillah satu semester di Baitul
Arqam saya sudah bisa membaca Quran. Pertama merasa agak sulit karena saya tidak
kenal huruf hijaiyah sama sekali,” kisahnya.
Banyak hal
yang ia peroleh di pesantran, ia memahami satu bahwa dalam Islam ada kewajiban
membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Sehingga ia memiliki sebuah
motto “Pantang pulang jika belum berguna
bagi orang lain”.
Ia mengaku
bahagia sekali bisa masuk ke Baitul Arqam karena banyak teman-teman baru dari
berbagai daerah dapat ia kenal, sehingga suatu saat nanti mau pergi kemana-mana
sudah ada teman di daerah-daerah lain.
Tak lupa Hamdan
juga berterimakasih kepada Baitul Mal Aceh yang telah membiayainya hingga bisa
masuk pesantren. Seandainya ia tidak mendapatkan beasiswa dari Baitul Mal,
mungkin saja katanya ia menjadi pengangguran seperti teman-temannya yang lain
di gampong.
“Saya mendapat
jajan setiap bulan, dan juga ditanggung biaya lain mulai dari pakaian, alat
tulis, hingga makan semua ditanggung baitul mal,”kata Hamdan.
Hamdan
berterimakasih kepada muzakki (pembayar zakat) yang telah membayar zakat
ke Baitul Mal, ia berdoa agar mereka dimudahkan rezeki. Ia juga menginginkan
satu saat nanti menjadi pembayar zakat karena ia tahu dengan zakat dapat
membantu para fakir miskin.
“Masih banyak
kawan-kawan saya di gampong menjadi pencari barang-barang bekas, kadang mereka
hanya sekolah sampai tingkat sd saja,” tukas Hamdan.
Terakhirnya ia
menceritakan,meskipun ia tinggal di lingkungan pesantren, Hamdan sangat hobbi
bertani. Kebetulan pun pimpinan pesantren menyediakan lahan santri yang ingin
menanam tumbuh-tumbuhan.
“Meskipun
hasilnya tidak begitu banyak setidaknya sudah memenuhi untuk kebutuhan memasak
di pesantren,” tutupnya. Hayatullah Pasee