[Cerpen] Mbak Binar dan Skizrofenia
Oleh Nurhasanah
Suara
Bibi semakin lama semakin pelan saja. Nyaris tak terdengar. Kata-katanya
tersekat ditenggorokan. Seperti ada sesak yang mengganjal rongga dadanya. Bulir-bulir
bening terlihat kembali berjatuhan. Mengalir deras, bak arus sungai yang tak
terbendung. Kerudung Bibi yang bermotifkan mawar-mawar merah itupun mulai basah
kuyup.
Tidak ada hal lain yang dapat aku lakukan selain tetap setia untuk
menemani Bibi. Mendengar rintihan hatinya yang semakin mendera, mendengar isak
tangisnya yang semakin larut dalam duka.
“Terang
saja Bibi menangis darah seperti ini. Mbak Binar, anak gadis semata wayang
Bibi, telah berubah menjadi gadis yang sungguh menyedihkan. Mbak Binar tidak
mengenal siapa dirinya, terlebih lagi orang-orang yang berada disekitarnya
selama ini. Kelakuan Mbak Binar yang acap kali berteriak-teriak histeris itupun
sungguh membuat hatiku teriris-iris. Sangat memilukan,” aku membatin.
Mbak
Binar sudah kuanggap seperti saudara kandungku sendiri. Bagaimana tidak, sejak
aku ditinggal Ayah dan Ibu yang tewas akibat kecelakaan maut, Bibi dan Mbak
Binarlah yang dengan ikhlas merawat dan membesarkan aku, hingga akupun mampu
tumbuh seperti ini, menjadi pribadi yang lebih mandiri. Jasa-jasa mereka tidak
akan pernah aku lupakan seumur hidup. Sungguh.
“Bibi,
ada baiknya jika Bibi beristirahat saja sekarang. Besok sore akan kita temui
lagi Dokter Mira untuk menanyakan perkembangan Mbak Binar,” ajakku lembut.
“Iya, Ima,” jawab Bibi masih terisak-isak.
Keesokan
harinya, Bibi dan aku bergegas menjumpai Dokter Mira. Dengan derap langkah yang
cukup cepat, kami melewati satu persatu lorong yang ada, di rumah sakit
dimana Mbak Binar berada. Ada-ada saja tingkah laku yang diperlihatkan oleh
para pasien di sini. Bibi dan aku terkaget-kaget setiap kali melihatnya.
Sepuluh
menit berlalu, Bibi dan akupun tiba di depan ruangan Dokter Mira. Aku melihat
Dokter Mira baru saja selesai berdiskusi dengan dua dokter lainnya. Melihat
kedatangan Bibi dan aku, Dokter Mirapun mempersilahkan kami untuk masuk dan
duduk dihadapannya. “Bagaimana kabarnya hari ini?” Dokter Mira membuka
pembicaraan sembari memberikan sebuah amplop kepada Bibi. “Baik. Terima kasih,
Dok,” jawab Bibi pelan. “Silahkan Ibu buka amplop tersebut. Hasil pemeriksaan
terhadap Binar tertera di sana,” kata Dokter Mira serius.
“Skizofrenia,
dok?” tanya Bibi cemas setelah membaca surat keterangan itu. “Iya, Buk.
Penyakit ini merujuk pada suatu kondisi gangguan kejiwaan. Skizofrenia
mencerminkan suatu kondisi dimana seseorang telah kembali ke bentuk komunikasi
pada awal masa anak-anak.
Ego yang lemah pada para penderita skizofrenia yang
tidak mampu mengatasi stress ekstrem dalam berbagai tantangan interpersonal,
perlahan akan mengalami regresi,” Dokter Mira memulai penjelasannya. Mendengar
penjelasan singkat awal Dokter Mira, Bibi dan aku saling berpandangan. Kami
semakin takut akan kenyataan tentang Mbak Binar.
“Penderita
Skizofrenia kerap mengalami gangguan pada neurotransmitter, penyampaian
pesan secara kimiawi, dimana terjadi ketidakseimbangan produksi neurotransmitter
dopamine. Bila kadar dopamine berlebihan atau kurang, penderita
dapat mengalami gejala positif atau gejala negatif. Itulah sebab mengapa Binar
dapat terlihat tenang atau bahkan terlihat sangat histeris sewaktu-waktu.”
Dokter Mira kembali menjelaskan.
Sudah
hampir dua puluh menit, Bibi dan aku berada di dalam ruangan Dokter Mira.
Setelah mendengarkan penjelasannya yang sangat serius tadi, Bibi dan akupun
pamit dan beranjak keluar untuk melihat keadaan Mbak Binar yang sekarang. Tanpa
membuang waktu, Bibi dan aku segera mengayunkan langkah menuju ruangan Mbak
Binar.
Sesaat
sebelum tiba di ruang rawat Mbak Binar, Bibi dan aku mendengar beberapa suara
teriakan. Suara teriakan kali ini berbeda dari sebelumnya. Kami tidak mendengar
suara teriakan Mbak Binar yang biasanya terdengar dari lorong ini. Bibi dan aku
semakin cemas ketika gelombang suara itu terdengar semakin tajam. Bibi dan aku
saling berpandangan. Kamipun berlari menuju sumber teriakan.
Bibi
dan aku terlonjak kaget ketika mengetahui bahwa sumber teriakan itu berasal
dari kamar Mbak Binar. Secepat kilat kami menerobos orang-orang yang terlihat
baru tiba di depan pintu. Suara teriakan tadi ternyata berasal dari dua orang
perawat yang terduduk lemas di lantai.
Mereka
histeris melihat sesosok wanita yang mengalirkan darah deras dari pergelangan
tangannya. “Tidak! Tidak mungkin………!,” Bibipun turut berteriak histeris
seketika. Tidak sampai lima detik, Bibi pingsan dipundakku. Aku lemas dan
bungkam. Tak ada satu hurufpun yang sanggup aku keluarkan lagi dari ujung
tonggorokan. Aku masih tidak percaya. Kini, mbak Binar sudah pergi untuk
selamanya.
Penulis adalah Mahasiswi FKIP B.Inggris Unsyiah dan Pegiat FLP Banda Aceh
Penulis adalah Mahasiswi FKIP B.Inggris Unsyiah dan Pegiat FLP Banda Aceh