Belajar Dari Saidina Umar, Lakukan Blusukan Secara Benar
Ilustrasi Umar. Foto: Google.com |
Oleh Aril
Kahhari
KATA blusukan menjadi kata baru dalam kosa kata
bahasa Indonesia. Kata ini dikenal saat Jokowi memimpin DKI Jakarta. Sejak saat
itu pula kata blusukan semakin menasional. Blusukan sejatinya
adalah terjun ke tengah masyarakat. Melihat langsung realita yang ada. Menyikap
masalah dan segera menyelesaikannya.
Namun sayang meski dilandasi niat tulus tetapi di
negeri ini blusukan masih dianggap sebagai bagian dari pencitraan.
Sebagian pihak menilai blusukan hanyalah cara untuk menaikkan pamor.
Publik masih belum begitu yakin jika turun langsung ke masyarakat, melihat
kondisi pasar, berdialog dengan petani dan nelayan adalah cara ampuh untuk
menyelesaikan persoalan yang kian menggunung.
Bahkan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah pernah mengatakan jika blusukan dijadikan
sebagai cara untuk membaca kondisi lapangan, dirinya setuju. Namun menurutnya
persoalan tak hanya ada di lapangan, tetapi juga di tataran aturan
perundang-undangan.Sehingga menurutnya blusukan bukan satu-satunya
cara untuk memecahkan persoalan.
Jika menilik sejarah, sebenarnya blusukan
bukanlah barang baru. Dalam sejarah Islam blusukan sudah lama
dipraktekkan. Pola kerja seperti ini ternyata sudah dilakukan sejak 1400 tahun
yang lalu. Cerita yang paling mahsyur adalah blusukan yang dilakukan
oleh Khalifah Umar bin Khatab.
Suatu masa tanah Arab pernah mengalami paceklik yang
amat memprihatinkan. Hujan lama tak turun. Lahan menjadi tandus. Tanaman warga
tak bisa dipanen karena kering kerontang. Jumlah hewan ternak yang mati juga
sudah tak dapat dihitung. Keputusasaan mendera hampir di seluruh masyarakat.
Sebagai pemimpin, Umar pun mengeluarkan kebijakan agar setiap hari dilakukan
pemotongan unta agar dagingnya bisa dinikmati oleh warga. Sedangkan ia memilih
untuk berpuasa dari makanan enak.
Untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh
masyarakatnya, Umar pun tak segan masuk keluar kampung. Pada suatu malam Umar
yang ditemani Aslam mengunjungi sebuah perkampungan terpencil yang terletak di
tengah gurun sepi. Saat memasuki daerah tersebut mereka terkejut saat mendengar
isak tangis dari sebuah gubuk tua.
Mereka pun bergegas mendekati gubuk tersebut
untuk memastikan suara apakah itu. Setelah mendekat, Khalifah melihat seorang perempuan
tua sedang memasak. Asap mengepul dari panci yang ia aduk. Sementara di
sampingnya tampak seorang anak perempuan yang masih saja menangis. Karena
penasaran Umar pun meminta izin untuk masuk.
“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.
Mendengar salam tersebut, si Ibu hanya sekedar menoleh
dan kembali melanjutkan aktifitasnya.
“Siapa yang tengah menangis, apakah dia sakit?” tanya Umar.
“Siapa yang tengah menangis, apakah dia sakit?” tanya Umar.
“Anakku. Dia tidak sedang sakit. Ia hanya sedang
kelaparan” jawab perempuan tanpa menoleh ke arah Umar.
Khalifah Umar dan Aslam terperanjat. Mereka terdiam.
Hingga akhirnya keduanya memilih untuk tetap berada di rumah tersebut. Umar dan
Aslam duduk hingga satu jam lamanya. Sepanjang itu pula si perempuan tua masih
saja mengaduk panci dengan sendok panjangnya. Dan sepanjang itu pula si anak
perempuan terus menangis.
“Apa yang sedang engkau masak, wahai Ibu? Kenapa
masakanmu tidak kunjung matang?” tanya Khalifah Umar penasaran.
“Ayo kemari, coba engkau lihat sendiri” Kata perempuan
tua tersebut sambil menoleh ke arah Umar dan Aslam.
Umar dan Aslam segera mendekat ke arah panci dan
melihat ke dalamnya. Namun alangkah terkejutnya Umar saat melihat isi panci
tersebut.
“Engkau merebus batu?” tanya Umar tidak percaya.
Perempuan itu hanya menganggukkan kepala.
“Aku melakukan ini agar anak-anakku terhibur. Agar
mereka mengira aku sedang memasak. Sebagai seorang janda miskin apa yang bisa
aku lakukan. Meminta anak-anakku berpuasa dan berharap seseorang mengantarkan
makanan untuk berbuka. Tapi hingga magrib tiba tak seorang pun yang datang.
Anakku tertidur karena mereka kelelahan setelah seharian menangis”.
Umar tertegun. Tak ada kalimat yang bisa diucapkan.
Umar merasa bersalah karena masih ada rakyatnya yang menangis karena kelaparan.
“Seperti inilah yang telah dilakukan Khalifah Umar kepadaku.
Dia membiarkan kami kelaparan. Ia tidak mau melihat ke bawah, memastikan
kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum”.
Ibu itu diam sejenak. “Umar bin Khattab bukanlah
pemimpin yang baik. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar penuturan si Ibu, Aslam ingin menegur namun
dihalangi oleh Umar. Khalifah segera bangkit dan meminta izin kepada si
Ibu. Dengan air mata berlinang ia mengajak Aslam untuk segera kembali ke
Madinah. Tanpa beristirahat, Umar segera mengambil gandum lalu memilkulnya
sendiri.
“Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang memikul
karung tersebut” pinta Aslam yang tak tega melihat Amirul Mukminin yang tampak
kelelahan.
Mendengar permintaan tersebut Umar bukannya senang
melainkan marah. Mukanya merah padam. Umar menjawab, “Wahai Aslam, apakah
engkau mau menjerumuskan aku ke dalam api neraka. Apakah engkau kira setelah
menggantikan aku memikul karung ini maka engkau akan memikul beban ku nanti di
akhirat kelak? “
Aslam tertunduk. Ia hanya bisa berdiri mematung ketika
melihat Khalifah Umar bin Khattab berjuang keras memikul karung gandum tersebut
untuk diserahkan langsung kepada perempuan itu.
Itulah salah satu kisah masyur yang memperlihatkan
bagaimana Umar begitu bertanggung jawab menjadi seorang pemimpin. Ia bahkan
menangis ketika melihat rakyatnya kelaparan. Apa yang dilakukan Umar sepatutnya
menjadi teladan bagi siapa saja yang diamanahi tampuk kepemimpinan. Lewat kisah
di atas Umar juga secara tak langsung juga mengajarkan bagaimana cara melakukan
blusukan yang benar.
-Blusukan itu sunyi senyap
Jika merujuk dari cerita di atas maka jelaslah jika
Khalifah Umar memilih malam hari sebagai waktu untuk blusukan. Bukan
pada siang hari saat mentari terang menderang. Bahkan sejarah juga mencatat
jika Khalifah Umar hampir setiap malam melakukan blusukan. Kenapa pola
seperti ini yang dilakukan oleh Umar?
Alasannya sederhana saja. Khalifah Umar
tau jika blusukan itu memiliki misi mulia. Sehingga untuk melakukannya
harus dikerjakan secara sembunyi sembunyi. Khalifah Umar menerobos gelapnya
malam untuk menyibak fakta yang mungkin masih tersembunyi. Memastikan apakah
pejabat di dalam pemerintahannya sudah bekerja dengan baik. Beliau ingin blusukan
dilakukan tanpa rekayasa.
Blusukan yang dilakukan Khalifah Umar jelas bukan untuk
mendapatkan lambaian tangan rakyat, ataupun pelukan dan hura-hura. Sebab yang
dibutuhkan Khalifah Umar hanyalah informasi tentang masalah yang masih belum
dapat diselesaikan selama kepemimpinannya. Sebab ia tau, amanah ini akan
dipertanggungjawabkan di depan Mahkamah Tuhan.
Cara blusukan dalam sunyi senyap sebenarnya
juga bisa dilakukan oleh siapapun di level apapun. Tidak harus Presiden,
Menteri, Gubernur atau Bupati Walikota. Camat dan Lurah/ Keuchikpun sebenarnya
bisa meniru pola seperti ini. Menemukan masalah dan segera menyelesaikannya. Blusukan
pada malam hari yang dilakukan Umar bin Khatab mengisyaratkan jika blusukan
tidak selamanya membutuhkan sorotan kamera apalagi set lighting yang
menyilaukan mata.
- Langsung Kerja Tak Perlu Banyak Gaya
Saat menemukan fakta yang mengejutkan Umar segera
kembali ke Madinah. Ini adalah bukti jika Umar tak banyak gaya dan rethorika.
Yang dilakukan Umar adalah kerja, kerja, kerja. Memanggul gandum adalah bentuk
dari rasa tanggung jawab.
Sebagai pemimpin tak perlu sungkan untuk melakukan
suatu kebaikan dengan tangannya sendiri. Tak perlu ajudan, tak perlu pengawal
kalau hanya sekedar ingin melakukan kebaikan. Lakukan sebuah pekerjaan dengan
tangan sendiri. Mungkin itu pula yang ingin Umar bin Khatab sampaikan kepada
pemimpin setelahnya.
Lalu jika ada menteri yang harus panjat pagar saat blusukan
apakah itu salah? Tentu saja tidak. Akan menjadi salah jika semua hanya sebatas
gaya. Tetapi jika setelah investigasi tersebut lalu pak menteri mengeluarkan
kebijakan yang berkualitas, panjat pagar tersebut bukanlah bagian dari
pencitraan. Tetapi sebaliknya jika usai investigasi lalu tidak ada yang berubah
maka pak menteri hanya sedang bersandiwara.
- Kehidupan Pemimpin Harus Lebih “Susah” Dari Rakyatnya
Dalam sejarah, Umar bin Khatab adalah pemimpin yang
hidupnya sederhana. Amat sederhana malah untuk seorang Khalifah. Saat tanah
Arab menghadapi masa paceklik, Umar pernah memantangkan dirinya untuk makan
daging, minyak samin, dan susu. Sebab ia khawatir jika makanan yang ia makan
hanya akan mengurangi jatah makanan rakyatnya.
Solusinya ia hanya menyantap
roti dengan celupan minyak zaitun hingga membuat perutnya panas. Makanan yang
ia makan bukannya membuat perut Khalifah menjadi kenyang melainkan sebaliknya.
“Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap
menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.” Ungkap
Umar saat perutnya kosong.
Blusukan sejatinya harus diiringi dengan kesederhanaan
pemimpinnya. Jika pemimpin masih bisa merasakan kenikmatan di tengah sulitnya
kehidupan masyarakat maka blusukan menjadi tidak bermakna. Seorang pemimpin
yang baik pasti tau jika rakyatnya sedang senang atau melarat. Demikian cara
Umar dalam mendidik para pemimpin setelahnya. Hidup sederhana dan peduli dengan
rakyat yang dipimpinnya.
Blusukan sebenarnya cara baik jika dilakukan dari niat yang
baik. Lantas bagaimana cara membedakan antara blusukan dengan
pencitraan. Ya sederhananya dapat ditemukan dari cara yang dilakukan. Jika
hanya melulu berorientasi pada “drama” lalu tak jelas hasil dari blusukan
tersebut maka dipastikan itu semua hanya sebuah pencitraan. Tetapi jika
blusukan dibarengi dengan solusi kongkrit maka itu adalah sebuah kerja. Supaya
tak salah langkah mari belajar dari Umar cara blusukan yang benar.
Penulis adalah Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Gajah Mada Jogjakarta dan Presenter TVRI Aceh.
Sumber: arielogis.com