Memulai Syari’at Islam dari Lembaga Pendidikan
Oleh Amiruddin
SELAMA ini penguatan
syari’at Islam di Aceh dilakukan melaului lini atas ke bawah. Pihak berwenang
yang memantau pergerakan Syari’at Islam (Satuan WH/DSI) sebagai kaki tangan
pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota menjajaki berbagai wilayah
hukumnya untuk memantau perkembangan pembumian hukum Allah tersebut di seantero
Aceh. Laporan adanya pelaku mesum hampir tiap hari menghiasa surat kabar lokal.
Pertumbuhan aliran sesat
pun kian menjamur di tanah rencong. Kerap pula Wilayatul Hisbah
menjaring berbagai tingkah masyarakat yang melanggar syari’at di jalan raya,
dengan sanksi hukum hanya sebatas bimbingan moral dan tanda tangan surat
pernyataan tidak akan mengulangi lagi perbuatan asusilanya.
Tentu model
penerapan Islam seperti itu tidak memberikan bakas bagi masyarakat, apalagi
ingin mengatakan cara ini sangat efektih digalakkan. Masih ingat pula denga
aliran sesat Millata Abraham tahun 2012 lalu. Sebagian mereka yang sukses di
pengaruhi adalah pelajar yang bergelut dan menimba ilmu di bangku sekolah
tingkat menengah (SMA/MA).
Mengapa hal-hal seperti di
atas semakin parah terjadi di negeri Syari’at?. Tentu banyak alasan dan jawaban
yang bisa diberikan. Tapi setidaknya, Pendidikan menjadi hal utama untuk
menegakkan syari’at Islam kaffah di Aceh. Hari ini, pelanggaran syari’at Islam
sudah menjalar ke berbagai lapisan masyarakat Aceh.
Terkait kasus khalwat bukan
hanya kalangan muda yang berambisi ingin naik ke bulan (buat mesum), tapi bapak
Ibu tua bangka sekalipun masih punya misi. Ditambah dengan isu Aceh menjadi
lambung narkoba.
Media Serambi Indonesia
telah meliput berbagai kalangan masyarakat Aceh, mulai dari pejabat,
bapak-bapak terhormat sampi pada tukang becak adalah konsumen setia narkoba.
Sadisnya, sekarang narkoba sudah masuk dalam ranah isntansi pendidikan, mulai
tingkat kampus sampai tingkat dasar (SD), itu pun tak pandang bulu, lembaga
pendidikan agama maupun umum. Bahkan jika mau menindak lanjuti, narkoba juga
beredar di dayah-dayah. Tentu ini semua menjadi catatan buram wajah Aceh yang
katanya menerapkan syari’at Islam secara kaffah.
Kita juga akui, kemanjuan
syari’at Islam di Aceh yang makin digalakkan patut di acung jempol. Namun
ingat, kegagalan tetap akan lebih menonjol dan menjadi cibiran semua pihak bila
Syari’at Islam tidak tegak secara benar. Sejatinya, mencanangkan syari’at Islam
harus di mulai dari akarnya dahulu. Tahun 2014 ini, Syari’at Islam di Aceh
sudah berlaku 13 tahun.
Jika memang pemerintah Aceh
merintis secara efektif, efisien dan fleksibel pemberlakuan syari’at Islam
sejak 2001, maka pastinya saat ini masyarakat Aceh sedang memetik indahnya dan
tentramnya berhukum dengan hukum Al-Qur’an dan Hadist. Tapi sayang, penegakkan
syari’at Islam di Aceh sudah kecolongan, mengapa tidak?, pemerintah yang punya
power kerap mengabaikan tuntutan masyarakat untuk Syari’at agung, pemerintah
terkesan lalai memperhatikan syari’at, bahkan jajaran pemerintah Aceh takut
membumikan hukum langit ini.
Ber-mula dari pendidikan
Padahal, usia syari’at
Islam di Aceh sudah hampir 14 tahun. Artinya, jika pendidikan syari’at Islam
efektif dilakukan sejak dari jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTsN, SMA/MA, tentu
generasi Aceh yang dicetak selama kurun waktu 2001-2014 dapat dikategorikan
sebagai “generasi Syari’at Islam”. Mereka itu adalah generasi penghafal Qur’an,
generasi faqih fiddin (paham tentang agama), generasi yang haus akan
hukum Allah dapat berlabuh kukuh di Aceh serambi mekah. Karenanya, disamping
langkah yang telah ditempuh selama ini, pendidikan agama seperti mendidik anak
seusia MI/SD untuk mampu membaca Qur’an secar fashih (baik dan benar).
Tak hanya itu, pada tingkat
SD pun anak-anak wajib hafal sifat wajib dan sifat mustahil ditambah sifat
harus bagi Allah, juga wajib menghafal sifat wajib plus sifat mustahil dan
sifat harus bagi Rasulullah, kesemua itu digolongkan sebagai “I’tikeud
Limoeng Ploeh” (i’tikad lima puluh). Mereka juga dituntut untuk mampu
menghafal Juz 30 (juz amma), disamping mempelajari fardhu ‘ain seperti tata
cara shalat dan yang berkaitan dengannya.
Kita diseputaran Banda Aceh
– Aceh Besar patut bersyukur kepada Pemerintah Kota Banda Aceh, khususnya
DISDIKPORA Kota Banda Aceh yang memiliki program Diniyah. Diniyah ini telah
diberlakukan di Banda Aceh sejak dua tahun lalu, dan hanya dikhususkan bagi
siswa yang menimba ilmu di jenjang pendidikan umum (SMA, SMP dan SD).
Program diniyah untuk
memberikan pencerahan agama, baik fiqih, akhlat, hadist dan memberantas siswa
yang buta terhadap tulis baca Al-Qur’an. Bahkan untuk kembali melahirkan
generasi yang mampu baca tulis Arab Melayu (jawo) yang sekarang hampir punah di
telan masa. Program Diniyah pun kini telah dibakukan dalam Qanun Kota Banda
Aceh. Artinya, Pemko Banda Aceh menganggarkan sedikit alokasi dana untuk suksesnya
program Diniyah ini disetiap tahunnya.
Bagaimana dengan MI, MTsN
dan MA?
Lalu, bagaiamana dengan
anak-anak kita yang menuntut ilmu di jenjang pendidikan MA, MTsN dan MIN?
Apakah mereka bukan anak dari masyarakat Banda Aceh? Apa mereka bukan bibit-bibit
yang akan membangun Banda Aceh kelak?, apakah mereka tidak pantas mendapat
perhatian Pemko Banda Aceh layaknya program Diniyah di Didikspora?, apa tidak
ada secuil anggaran dari Pemko khususnya Kemenag Kota Banda Aceh untuk
pencerahan agama bagi anak didik MIN, MTsN dan MA, semisal program Diniyah
pula?, apakah mereka bukan penerus tegaknya Syari’at Islam di Banda Aceh?. Dan
masih banyak sejuta pertanyaan lainnya.
Syukur, kini beberapa
Madrasah Ibtidaiyah di Kota Banda Aceh sedang merintis TPQ Terpadu, itu pun
atas inisiatif pihak Madrasah yang menginginkan lulusan MIN tidak hanya
berkompeten di bidang sains umum, tapi juga mampu memahami dasar-dasar beragama
dan mahir membaca Qur’an, serta berakhlakul karimah. Program TPQ Terpadu bukan
diusul oleh pihak Kemenag Kota Banda Aceh, apalagi mengharapkan kucuran dana
setiap tahunnya. Tapi sumber dananya dispot dari swadaya Wali murid, hal ini
dilakukan karena para wali murid sangat antusias dengan program TPQ tersebut.
Namun sayang, ketika
perhelatan tahunan seperti Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI Aceh), TPQ
Terpadu kerap dipermasalahkan, bahkan jika mau jujur, pihak panitia FASI
keberatan atas partisipasi TPQ Terpadu yang didirikan di beberapa MIN di Kuta
Radja. Mereka akan melontarkan berbagai dalih.
Padalah, TPQ Terpadu juga
punya visi-misi mencetak generasi Banda Aceh yang shaleh shalehah. Kita masih
ingat “ HafizH Qur’an” yang di tayangkan Trans 7 bulan Ramadhan lalu. Amira Sausan Karima
(7) yang juga putra daerah Kota Banda Aceh meraih Juara
II. Si mungil hebat ini adalah siswa MIN Model Banda Aceh yang juga santri TPQ
Terpadu Ruhul Jadid Madarsah setempat.
Jadi, kenapa misi mulia
seperti ini yang digalakkan kepala Madrasah Ibtidaiyah kerap memunculkan kontra
dari pihak yang membawahinya, bahkan dicemoohkan ketika seorang Direktur TPQ
mengaku di Madrasahnya terdapat TPQ Terpadu.
Kini saatnya pemerintah
Aceh, pemerintah Kabupaten/kota se-Aceh untuk menciptakan generasi yang memang
sangat peduli dengan syari’at Islam. Tentunya dengan menyisipkan program-program
unggulan seperti Diniyah dan TPQ Terpadu di setiap jenjang pendidikan, baik
pendidikan bernuansa agama maupun umum. Pemerintah Aceh jangan cuma berstadment
akan menerapkan syari’at Islam kaffa di Aceh sementara program-program yang
menjurus terbentuknya syari’at Islam secara alami tidak pernah di realisasikan.
Jangan cuma meredam suara
rakyat Aceh dengan berkata akan meciptakan lapangan kerja baru, sehingga dapat
menampung banyak pengangguran. Kampus di Aceh setiap tahunnya melahirkan
puluhan ribu sarjana, sedangkan lapangan kerja yang tersedia semakin sempit.
Aceh punya banyak anggaran, jangan takut anggaran habis untuk kesejahteraan
masyarakat Aceh.
Setidaknya, pemerintah Aceh
melalui dinas Pendidikan Aceh dapat mengadopsi terobosan pemerintah Kota Banda
Aceh yang dimotori DIDIKSPORA Kodya. Selain dapat merekrut sarjana berkualitas
dibidang agama yang sekarang menanti di kursi pengangguran, juga sebagai
langkah membumikan Syari’at Islam bagi generasi Aceh serta antisipasi munculnya
aliran sesat baru yang kini di Aceh semakin tumbuh subur. Yaitu muda mudi Aceh
yang kehidupannya disibukkan dengan aktivitas beribdah pada Allah, takut
mendekati hal yang dilarang Allah dan hari-harinya tidak dilalui kecuali dengan
membaca Al-Qur’an. Semoga.
Amiruddin, S.HI adalah
Pengurus Dayah Darul ‘Ulum Abu Lueng Ie.