Fungsi Harta dalam Islam
inet |
Oleh Ustaz Zakiul Fuadi, Lc, MA
Merupakan suatu
fitrah bahwa manusia memerlukan harta demi memenuhi kebutuhan hidupnya terutama
yang bersifat basic need (kebutuhan akan sandang, papan, dan pangan).
Oleh karena itu, tidak heran jika manusia akan bekerja mati-matian untuk
mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya demi pemenuhan kebutuhan dasar ini dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Dalam hal
ini Islam memberikan penghargaan kepada seorang hamba yang bekerja demi
memenuhi kebutuhan keluarganya dengan pahala yang besar.
Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja.
Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya maka
sama dengan mujahid di jalan Allah (HR Ahmad).
Mencari rezki yang halal adalah wajib setelah
kewajiban yang lain (HR Thabrani).
Walaupun manusia
berusaha keras untuk mendapatkan harta, namun sebagai umat Islam kita harus
mengetahui tentang kedudukan dan fungsi harta dalam Islam. Hal ini sebagaimana
yang Allah jelaskan di dalam QS al Hadid ayat 7 yang artinya:
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikanmu sebagai penguasanya
(amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan
(hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar”.
Ayat di atas
menjelaskan dua perintah, yaitu perintah beriman (âminû) kepada Allah dan Rasulullah
SAW yang kemudian diiringi dengan perintah berinfak (anfiqû).
Dari sini bisa dikatakan bukti keimanan seseorang adalah salah satunya dengan
berinfak.
Maka menginfakkan hanya sebagian harta (bukan keseluruhan) merupakan
suatu kewajiban bagi setiap orang muslim. Kenapa? potongan ayat berikutnya
merupakan jawabannya. Lanjutan ayat mimmâ ja’alakum mustakhlafîna fîh
(dari
hartamu yang Allah telah menjadikanmu menguasainya).
Dalam tafsir Ibnu Katsir, kalimat
ini bisa bermakna dari harta Allah yang kalian pinjam. Hal ini dikarenakan
boleh jadi harta yang kamu miliki saat ini merupakan harta orang-orang
terdahulu yang berpindah tangan kepadamu. Dan boleh jadi harta yang ada di
tangan kamu saat ini kelak akan berpindah kepada ahli warismu.
Dari pemahaman
makna ini menunjukkan bahwa hakikat pemilik harta kita adalah Allah SWT,
walaupun kita merasa merasa yang memiliki harta karena sudah bertekus lumus dan
mati-matian untuk mendapatkannya, tetap itu semua hakikatnya adalah milik Allah
dan akan kembali kepada Allah.
Harta manusia yang sebenarnya adalah sebagaimana
riwayat Imam Ahmad dari Mutharrif Ibnu ‘Abdillah as-Syikhir yang menceritakan
dari ayahnya bahwa: “Aku pernah sampai kepada
Rasulullah SAW dan bersabda: ‘Bermegah-megahan telah menjadikan kalian lalai’.
Ibnu Adam berkata: hartaku, hartaku, padahal tidak ada yang menjadikan milikmu
melainkan makanan yang telah kamu makan kemudian habis, atau pakaian yang kamu
pakai lalu menjadi usang, atau harta yang kamu sedekahkan maka harta itu kekal
bersamamu”.
Sabda Rasulullah di atasmejelaskan kepada kita
bahwa harta kita yang sebenarnya adalah sebatas yang melekat di badan kita, sementara
harta yang kita simpan di peti emas, di deposito, dan di bank-bank belum tentu
itu milik kita nantinya walaupun kepemilikannya atas nama kita.
Bisa jadi harta
itu menjadi milik pencuri, milik api karena kebakaran dan sebagainya. Dan harta
kita yang abadi adalah harta yang kita infakkan dan harta itulah yang akan
menjadi kekayaan kita yang bisa menolong kita di akhirat kelak. Sementara harta-harta
kita yang di dunia, sepeserpun tidak bisa menyelamatkan kita, bahkan bisa
menjerumuskan kita kepada adzab yang pedih, na’udzubillah.
Potongan ayat
selanjutnya merupakan motivasi Allah bagi mereka yang mau berinfak, yaitu
mendapatkan pahala yang besar (Maka
orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan
Allah) memperoleh pahala yang besar). Itulah reward yang akan diberikan oleh Allah bagi orang muslim apabila ia
mau berinfak.
Mafhum mukhalafahnya, apabila orang muslim tidak melakukan hal
ini, maka konsekuensinya adalah siksaan dan ancaman yang pedih. Hal ini tercermin
dalam QS Ibrahim ayat 7 yang artinya “Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka pasti adzab-Ku sangat pedih’”.
Adapun pahala infak
itu sendiri sebagaimana Allah sampaikan dalam firmanNya QS Al-Baqarah ayat 261
yang artinya berbunyi:
“Perumpamaan orang menginfakkan harta di jalan Allah seperti sebutir
biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji.
Allah melipatgandakan bagi siapa saja yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Halus
Maha Kuasa”.
Ayat di atas
merupakan perumpamaan bagi orang muslim yang menginfakkan hartanya di jalan
Allah akan dibalas 700 kali lipat bahkan lebih, sesuai dengan kehendak Allah
dan tergantung pada keikhlasan pelakunya. Adapun maksud berinfak di jalan
Allah, menurut Sa’id ibnu Jubair adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah.
Sedangkan menurut Makhul, yang dimaksud dengan berinfak jalan Allah adalah
berinfak untuk mempersiapkan perlengkapan dan peralatan untuk keperluan jihad. Dan
menurut al-Baidhawi, fî sabîlil-Lâh
di sini adalah fîmâ yakûnu qurbah ilayhi (dalam perkara yang dapat
mendekatkan kepada-Nya). Maka, infak di sini meliputi semua
infak, baik yang bersifat wajib seperti zakat maupun yang disunahkan seperti
shadaqah, wakaf, dan sebagainya.
Mengingat pentingnya
berinfak, Allah menegaskan kembali perintahNya dalam ayat berikutnya, QS.
Al-Hadid ayat 10 yang artinya berbunyi: “Dan
mengapa kamu tidak menginfakkan hartamu di jalan Allah, padahal milik Allah
semua pusaka di langit dan bumi? Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya
di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka
lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan
berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka
(balasan) yang lebih baik. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan”.
Firman Allah yang
berbunyi Wa-mâ lakum
an-lâ tunfiqû fî sabîlil-Lâh (dan mengapa kamu tidak menginfakkan hartamu di jalan Allah) menurut
Imam al-Syaukani dalam tafsirnya Fathul Qadir, ayat di atas menggunakan kata istifhâm (pertanyaan), akan tetapi
bermakna li al-taqrî' wa al-tawbîh (teguran dan celaan) bagi orang yang
tidak mau berinfak.
Padahal, lanjutan ayat Walil-Lâh mîrâts al-samâwât wa
al-ardh (milik Allah semua pusaka di
langit dan bumi?). Jadi Allah yang akan mewarisi, menjadi ahli waris semua harta
manusia, tidak ada harta yang tersisa sedikitpun.
Sementara tafsir ibnu Katsir
menjelaskan potongan ayat ini janganlah takut untuk berinfak, janganlah takut
miskin atau melarat karena milik Allahlah semua yang ada di langit dan di bumi,
dan Allah pasti akan mengganti yang lebih baik harta yang sudah kita infakkan.
Jadi, apalagi??. Wallahu a’lam bish-shawab. [Majalah
Suara Darussalam]
-- Penulis adalah Alumnus Universitas Al-Azhar
Mesir. Dan Dosen STAIN Gajah Puteh Takengon