Dr Armiadi Musa MA: Solusi Polemik Regulasai Pengelolaan Zakat di Aceh
Dr Armiadi Musa, MA |
Banda Aceh - Provinsi Aceh sebagai daerah yang menerapkan pelaksanaan syari’at Islam sejatinya memiliki regulasi yang kuat dan komprehensif dalam mengatur pengelolaan zakat sebagai salah satu instrumen ekonomi Islam yang dapat diandalkan.
Sementara ketentuan
yang ada masih bersifat global dan umum, sehingga membutuhkan kepada
derivasi-derivasi aturan lain yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi
hari ini. Apalagi jika dikaitkan dengan beberapa kekhususan yang diberikan
untuk Aceh dalam menerapkan asas lex specialist dalam kebutuhan hukum masyarakat
dalam bingkai syariat Islam.
Paparan tersebut
dibahas Kepala Baitul Mal Aceh, Dr Armiadi Musa MA dalam makalahnya berjudul “Kontribusi
pemerintah dalam pengelolaan zakat di Aceh” dilihat dari sisi kontestasi
penerapan asas Lex Specialis dan Lex Generalis dalam Konferensi
Internasional Zakat di hotel Hermes Palace.
Katanya, ketentuan
zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan ketentuan zakat dapat mengurangi
pembayaran pajak penghasilan terhutang yang diatur dalam Undang-undang
No.11/2006 (UUPA) tentang Pemerintah Aceh dan Qanun Aceh No. 10/2007 tentang
Baitul Mal yang sampai saat ini masih menjadi polemik.
“Permasalahan
ini dipicu oleh persepsi dan pemahaman para pihak terkait apakah zakat diperlakukan
sebagai PAD murni yang dikelola menurut Undang-undang nomor 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 /2005, tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah ataukah dikelola sebagai PAD khusus,” jelasnya.
Demikian juga
apakah zakat yang dibayar muzakki di Aceh dapat megurangi pajak penghasilan
terhutang (tax-crediet) sesuai UUPA dan Qanun di atas, ataukah harus menurut UU
No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyebutkan zakat hanya dapat
mengurangi jumlah penghasilan kena pajak (tax-deductable)?
Menurut
Armiadi, dinamika regulasi ini harus segera diselesaikan yaitu dengan
mengawinkan aturan-aturan yang ada agar tidak saling kontroversial, sehingga
kontribusi Pemerintah Aceh terhadap pengelolaan zakat tidak tercederai.
Dinamika Penge
lolaan Zakat Di Aceh
Pada awalnya,
perkembangan pengelolaan zakat di Aceh sama halnya dengan pengelolaan zakat di
tanah air, yaitu dilakukan secara tradisional dikarenakan belum adanya lembaga
pengelolaan formal.
Kemudian, pada
tahun 1973 dibentuklah lembaga formal pengelolaan zakat di Aceh disebut dengan
Badan Penertiban Harta Agama (BPHA) melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Istimewa Aceh No.5/1973, tentang pembentukan BPHA.
Pada tahun
1976 Badan ini kemudian berubah menjadi Badan Harta Agama (BHA). Dengan keluarnya
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 1991, tentang
Pembentukan Badan Amil Zakat, infaq dan Sedekah (Bazis), BHA di Aceh berubah
menjadi Bazis pada tahun 1993. Bazis ini terdiri dari Bazis Provinsi, Kabupaten/Kota,
Kecamatan dan Bazis lurahan/Desa.
Selanjutnya, ketika
lahirnya Undang-undang No.38/1999 tentang pengelolaan zakat yang berlaku secara
nasional, pada tahun yang sama juga keluar Undang-undang No.44/1999 tentang
Keistimewaan Aceh. Turunan dari Undang-undang yang disebut terakhir adalah
keluarnya Peraturan Daerah (Perda) No. /2000 Tentang PelaksanaanSyari’at Islam.
Salah satu
dari isi Perda tersebut adalah membentuk Badan Baitul Mal. Badan ini baru
dibentuk pada tahun 2003 melalui Keputusan Gubernur No.18/2003, yang seharusnya
dibentuk dengan qanun/Perda. Namun baru mulai beroperasi pada tahun 2004.
Lalu, pada
2005, lahirlah kesepakatan damai atau MoU antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), maka lahirlah U.U No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam pasal
191 secara jelas disebutkan pembentukan Baitul Mal sebagai lembaga pengelola
zakat, harta wakaf dan harta agama akan dibentuk dengan Qanun Aceh.
“Di samping
itu ada dua pasal lagi menyangkut dengan perzakatan yang diatur dalam U.U No.
11/2006, yaitu Pasal 180 ayat (1) huruf d, zakat merupakan Penghasilan Asli
Aceh (PAA) dan Penghasilan Asli kabupaten/kota (PAK). Pasal 192 menetapkan
pembayaran zakat dapat mengurangi jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib
pajak,” jelasnya lagi.
Hal ini
berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam U.U. PPh sendiri (U.U. No. 17/2000)
yang menetapkan zakat hanya dapat mengurangi jumlah penghasilan kena pajak
(bukan mengurangi pajak penghasilan).
Sementara Pasal
191 U.U No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh menetapkan secara jelas bahwa zakat,
harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal
Kabupaten/Kota.
“Makna
pengelolaan zakat dirumuskan secara jelas dalam pasal 1 angka 1 U.U No. 38/1999
tentang pengelolaan zakat yaitu kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta
pendayagunaan zakat,” katanya.
Kata Armiadi,
selama ini dalam pelaksanaaan pengelolaaan zakat yang dilakukan Baitul Mal
sudah sesuai dengan ketentuan tersebut, tetapi disalahkan oleh aparat keuangan PEMDA
dan BPK, karena yang lebih ditonjolkan adalah ketentuan pasal 180 ayat (1) huruf
d yang menetapkan zakat sebagai PAD murni, sehingga pengelolaan zakat dialihkan
dibawah DPKKA dengan segala atribut aturan pelaksanaannya.
Zakat Sebagai
PAD adalah Asas Lex Specialis
Ketentuan
zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diatur dalam pasal 180
Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) No. 11/2006 dan pasal 12-13 Qanun Aceh
No.10/2007 Tentang Baitul Mal adalah salah satu azas lex specialis yang diberikan
untuk Aceh dan tidak didapati di daerah lain di seluruh Indonesia.
Ketentuan ini
sempat menuai berbagai macam protes dari beberapa kalangan. Komplain tersebut
bukan tidak beralasan karena dinilai dapat mencendrai bahkan dapat bertentangan
dengan syariat zakat itu sendiri, jika tidak diatur dengan cara yang berbeda
dan khusus sehingga tidak bisa disamakan dengan PAD murni. Harta Zakat walaupun
dimasukkan sebagai salah satu jenis PAD Aceh dan PAD Kabupaten/Kota wajib
mengikuti ketentuan syariat.
Jika dilihat secara
normatif PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah berdasarkan peraturan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hasilnya dimanfaatkan untuk penyelenggaraan
tugas-tugas Pemerintah dan kegiatan pembangunan dalam rangka mengisi
kemandirian otonomi daerah.
Oleh karena
itu jika dikaitkan dengan keberadaan zakat berdasarkan ketentuan syariah, pengertian
PAD tersebut dapat berpotensi menimbulkan polemik dan konflik karena berbagai
persepsi dan varian pemahaman yang muncul seperti; pemungutan zakat bukan
berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Daerah (Qanun) tetapi berdasarkan
ketentuan syariah (Al-Qur’an dan Hadits), jika Zakat sebagai PAD murni maka dapat
dimanfaatkan untuk membiayai tugas-tugas Pemerintah dan Pembangunan, dan tidak
harus terikat dengan 8 asnaf mustahik zakat. Selengkapnya (baca: Beberapa Potensi
polemik).
Maka, semua
permasalahan tersebut dianggap wajar dikhawatirkan terjadi, karena keberadaan regulasi
tersebut masih diperlukan derivasi pengaturan yang lebih komprehensif.
“Kesalahan
bukan berpunca pada ketetapan zakat sebagai PAD, tetapi justeru pada persepsi
yang dibangun oleh para pihak yang berkompeten selama zakat belum diatur sebagai
PAD khusus,” imbuh Dosen Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry tersebut.
Maka, untuk
menjaga dan memelihara agar harta zakat yang telah dimasukkan ke dalam PAD
tetap berada dalam koridor syariat, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/
Kota telah memastikan bahwa pendistribusian seluruh harta zakat untuk para
asnaf sesuai ketentuan nash, membuat perencanaan penyaluran untuk satu tahun
dan langsung disalurkan sepanjang tahun setelah disahkan, jika penerimaan zakat
lebih kecil dari plafond, maka yang disalurkan oleh Baitul Mal adalah jumlah
riil dari zakat, jika penerimaan zakat lebih besar dari plafond, kelebihan yang
berupa zakat itu tetap akan menjadi penerimaan berikutnya sehingga zakat dapat disalurkan
seluruhnya.
Kemudian, juga
menghindari penyaluran zakat pada program-program pelelangan, tender dan penunjukan
langsung, sehingga tidak terjadi pembayaran kepada yang bukan mustahik, seperti
jasa konsultan perencana, konsultan pengawas, panitia tender, jasa teknis dan
sebagainya. Selanjutnya memastikan bahwa amillah (pengurus Baitul Mal) sebagai
pengelola zakat walaupun statusnya bukan dari Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dari persoalan
itu, solusi yang ditawarkan yaitu pemerintah harus mengawinkan beberapa
regulasi yang ada salah satunya menetapkan zakat sebagai PAD-SUS, zakat harus
disimpan dalam rekening khusus yang tidak boleh bercampur dengan PAD lain,
sebab dikhawatirkan dipergunakan untuk keperluan diluar zakat, dapat dicairkan
mendahului pengesahan APBD dalam jumlah yang sesuai dengan realisasi penerimaan
(bukan berdasarkan plafond), selengkapnya (baca Solusi yang pernah
ditawarkan). Dengan adanya solusi tersebut diharapkan dapat menghentikan
potensi konflik regulasi. [Hayatullah Pasee/Majalah Suara Darussalam]
---Bersambung---
---Bersambung---