[Bedah Buku Dosen STAIN Malikussaleh] Aceh Akan Maju Jika Dayah Lebih Dulu Maju
BANDA
ACEH
– Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT) Aceh dan Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA) menyelenggarakan bedah buku “Dayah, Menapaki Jejak Pendidikan Endatu” karya Saifuddin Dhuhri, MA, karya
dosen STAIN Malikussaleh di Aula Kanwil Kemenag Aceh, Senin, 27/10.
Hadir sebagai
pembedah yaitu Drs. Sahlan M.Diah dari Badan Dayah Aceh, H. Abrar Zym,S.Ag
kepala Bidang Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Aceh, Tgk Mustafa Husen
sekretaris Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA) dan H. Umar Rafsanjanji, Lc, MA
alumnus Dayah Labuhanhaji Aceh Selatan. Para pembedah memberikan apresiasi,
masukan serta kritikan terhadap buku tersebut dari segi metodologi dan cover.
Ketua IKAT Aceh, Fadhil Rahmi, Lc dalam sambutannya mengapresiasi buku yang ditulis Saifuddin Dhuhri. Fadhil berharap, lahirnya buku ini akan menjadi awal baru bagi terbinanya hubungan yang mesra antara alumnus Timur Tengah dengan kalangan dayah di Aceh.
Sementara itu, penulis buku, Saifuddin Dhuhri, saat menanggapi sejumlah masukan dan krtikan dari pembedah mengatakan, peradaban Aceh yang gemilang itu lahir dari rahim dayah. Karena Dayah adalah sebuah lembaga pendidikan Aceh yang pertama, asli hasil produk intelektual Aceh. Pendidikan ini bersifat dinamis, berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, perkembangan situasi sosial dan respon terhadap penindasan seperti penjajahan yang merupakan phase awal dan keemasan Aceh.
Sementara itu, penulis buku, Saifuddin Dhuhri, saat menanggapi sejumlah masukan dan krtikan dari pembedah mengatakan, peradaban Aceh yang gemilang itu lahir dari rahim dayah. Karena Dayah adalah sebuah lembaga pendidikan Aceh yang pertama, asli hasil produk intelektual Aceh. Pendidikan ini bersifat dinamis, berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, perkembangan situasi sosial dan respon terhadap penindasan seperti penjajahan yang merupakan phase awal dan keemasan Aceh.
Menurut Saifuddin,
Belanda saat
itu menyadari hal
ini, maka mereka menyimpulkan bahwa jika dayah dapat dikuasai, maka Aceh akan
mampu dijajah. Untuk itu mereka mengeluarkan stattblad (semacam undang-undang) 550, guna untuk melakukan rekayasa sosial terhadap kurikulum
dayah, peran ulama dan
fungsi seni Aceh.
Sementara itu, kondisi dayah saat ini, menurut
Saifuddin Dhuhri, harus
dilihat dari perspektif sejarah, yaitu sebuah kondisi dari hasil negoisasi
ulama Aceh dengan penindasan Belanda dengan Stattblad 550, menghadapi tekanan pemerintah
pusat karena DI/TII, dan juga karena pertimbangan kelanjutan ulama dan
pendidikan agama Islam di Aceh.
Saifuddin menambahkan,
peradaban Aceh tidak akan
mungkin hadir kembali kecuali melalui pendidikan dayah, karena dayah adalah
satu-satu pendidikan asli Aceh yang kehadirannya adalah warisan kejayaan
peradaban dahulu dan wujudnya menjadi kesadaran kolektif masyarakat banyak saat
ini.
“Dengan kata lain, jika dayah maju dan gemilang maka
Aceh pun akan maju dan gemilang”,
ujar Saifuddin yang menamatkan gelar sarjana di Universitas Al-Azhar dan Master
di Maroko ini.
Sementara itu, Teuku Zulkhairi, ketua panitia bedah buku yang
juga pegawai di Kementerian Agama Provinsi Aceh mengatakan, pihaknya
menyelenggarakan acara bedah buku ini agar masukan-masukan dari buku ini
langsung didengar oleh stakeholder yang mengurus dayah seperti Badan Dayah dan
Bidang Pondok Pesantren Kementerian Agama Aceh.
“Jadi, kita
memfasilitasi kegiatan bedah buku ini dengan harapan agar terbangun sebuah
komunikasi dan relasi yang baik antara kaum intelektual dan pemikir dengan
instansi pemerintah sehingga mereka bisa merumuskan kebijakan pembangunan. Harus
kita akui, instansi- instansi pemerintah membutuhkan ide-ide dan masukan dari
kaum intelektual dan pemikir agar bisa menyusun program-program kegiatan
pembangunan agar sesuai dengan tuntutan zaman dan sesuai dengan kebutuhan
kekinian”, ujar Zulkhairi. [tz]