Peran Baitul Mal dalam Menangani Kemiskinan
Banda Aceh - Gagasan
awal pembentukan Baitul Mal di Aceh (2003) memang secara formal didasari pada
upaya mengisi keistimewaan Aceh di bidang syariat Islam. Namun jika kita lihat
fakta sosial ekonomi yang melatar-belakanginya, justru Baitul Mal dibentuk
untuk menjawab berbagai persoalan sosial, kemiskinan dan kondisi kaum dhuafa
yang tertindas. Kehadiran Baitul Mal diharapkan menjadi bagian dari solusi
penting terhadap ketidakadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat Aceh.
Baitul Mal Aceh mulai beroperasi 12 Januari 2004 dengan legalitas Surat Keputusan Gubernur Nomor 18 tahun 2003 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Baitul Mal. Dasar hukum yang digunakan ketika itu: UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Penyelengaraan Syariat Islam. Terakhir, Baitul Mal diperkuat dengan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal.
Baitul Mal Aceh mulai beroperasi 12 Januari 2004 dengan legalitas Surat Keputusan Gubernur Nomor 18 tahun 2003 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Baitul Mal. Dasar hukum yang digunakan ketika itu: UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Penyelengaraan Syariat Islam. Terakhir, Baitul Mal diperkuat dengan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal.
Langkah pertama
dilakukan Baitul Mal Aceh adalah memperkuat kelembagaan dan pembentukan Baitul
Mal Kabupaten/Kota, sehingga pada 2008 telah terbentuk 23 Baitul Mal
Kabupaten/kota di seluruh Aceh. Sayangnya, pada penghujung 2004 Baitul Mal
Aceh ikut mengalami musibah besar tsunami dan menghancurkan kantor.
Kepala periode pertama, Drs HM Yusuf Hasan SH, meninggal dan seluruh
dokumen hilang. Baitul Mal bangkit kembali seiring proses rehabilitassi dan
rekonstruksi Aceh dan Alhamdulilah tahun 2008 dapat dikatakan telah beroperasi
normal kembali.
Perkembangan pesat
Baitul Mal seluruh Aceh terjadi setelah badan resmi zakat, waqaf dan harta
agama ini ditingkatkan menjadi Lembaga Keistimewaan Aceh (2008). Dengan
Permendagri Nomor 18 tahun 2008 dan Permendagri 37 tahun 2009, pada Baitul Mal
Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota ditempatkan Sekretariat yang terdiri dari
pejabat pemerintah. Dengan pembentukan Sekretariat Baitul Mal menjadi
SKPA dan SKPK. Biaya operasional pun sepenuhnya menjadi tanggungjawab
Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kab/Kota seluruh Aceh.
Salah satu indikator menguatnya peran Baitul Mal dapat dilihat dari kemampuan menghimpun dana zakat dan infak. Dari data yang ada, Baitul Mal Aceh menghimpun zakat dan infak tahun 2011 Rp 26,60 miliar, tahun 2012 Rp 28,78 miliar dan tahun 2013 Rp 39,3 miliar. Sementara 23 Baitul Mal Kab/Kota menghimpun zakat dan infak tahun 2011 Rp 77,57 miliar, tahun 2012 Rp 98,19 miliar dan tahun 2013 Rp 101,68 miliar. Seluruh dana itu disalurkan 90% lebih untuk penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan kaum dhuafa.
Pendayagunaan zakat dan infak
Salah satu indikator menguatnya peran Baitul Mal dapat dilihat dari kemampuan menghimpun dana zakat dan infak. Dari data yang ada, Baitul Mal Aceh menghimpun zakat dan infak tahun 2011 Rp 26,60 miliar, tahun 2012 Rp 28,78 miliar dan tahun 2013 Rp 39,3 miliar. Sementara 23 Baitul Mal Kab/Kota menghimpun zakat dan infak tahun 2011 Rp 77,57 miliar, tahun 2012 Rp 98,19 miliar dan tahun 2013 Rp 101,68 miliar. Seluruh dana itu disalurkan 90% lebih untuk penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan kaum dhuafa.
Pendayagunaan zakat dan infak
Pendistribusian dan
pendayagunaan zakat dan infak pada Baitul Mal Aceh dilakukan dengan tetap
memperhatikan senif penyaluran zakat yaitu fakir, miskin, muallaf, amil,
gharimin, fiisabilillah dan ibnu sabil, kecuali riqab yang belum dapat
didefinisikan dalam konteks kekinian. Senif penyaluran ini, kemudian
dirinci dalam bentuk program dan kegiatan yang setiap tahunnya disahkan
oleh Dewan Pertimbangan Syariah atau Dewan Pengawas.
Dari pengalaman
selama ini, Baitul Mal Aceh mendistribusikan dan mendayagunakan zakat dan infak
untuk lima program unggulan: Program ZIS Produktif; Program Fakir Uzur dan Tuna
Netra; Program Beasiswa; Program Rumah Fakir Miskin dan Program Pembinaan
Daerah Rawan Aqidah. Selain itu juga dilakukan penyaluran zakat dan infak untuk
kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya penyelesaian masalah sosial, dakwah dan
keislaman lainnya.
Program ZIS Produktif
disalurkan dalam bentuk pinjaman modal usaha tanpa bunga (qardhul hasan) bagi
usaha mikro sebesar Rp 1 juta hingga Rp 10 juta, yang harus dikembalikan dalam
waktu satu tahun. Selanjutnya diberikan pinjaman lagi hingga pengusaha mikro
tersebut dapat berdaya dengan kriteria telah mencapai penghasilan sebatas
nishab zakat (penghasilan setahun senilai 94 gram emas). Sejak tahun 2006
hingga Juni 2014, Baitul Mal Aceh telah menyalurkan dan menggulirkan zakat dan
infak produktif Rp 8,6 miliar.
Sementara program
fakir uzur, Baitul Mal Aceh telah menyalurkan secara berkelanjutan zakat untuk
kaum fakir (sangat-sangat miskin) dan uzur (tak bisa mencari nafkah dan menjadi
keluarga miskin) dan tuna netra sejumlah 1.067 orang. Kepada mereka diberikan
bantuan tunai Rp 200 ribu setiap bulan secara berkelanjutan seumur hidup.
Jumlah mustahik ini dapat terus bertambah seiring meningkatnya kemampuan
finansial Baitul Mal Aceh, sebab fakta di lapangan masih banyak fakir uzur yang
harus disantuni.
Baitul Mal Aceh juga
menyalurkan beasiswa dari tingkat dasar hingga mahasiswa. Beberapa bentuk
beasiswa diberikan misalnya: Beasiswa Diploma III Wirausaha, Pesantren
Wirausaha, Pesantren Tahfidzul Quran 1000 santri, dan Pesantren Anak Muallaf.
Selain itu, diberikan beasiswa dalam bentuk bantuan pendidikan kepada anak miskin,
anak muallaf dan 1000 santri miskin. Sejak tahun 2009 hingga tahun 2014, total
beasiswa dan bantuan pendidikan yang disalurkan Baitul Mal Aceh mencapai
Rp 11,72 miliar.
Program Rumah Fakir
Miskin dilakukan dalam bentuk membangun rumah layak huni bagi fakir dan miskin
di seluruh Aceh. Sejak 2012 telah dibangun 1.454 unit rumah dan menurut rencana
akan dilanjutan pada tahun tahun-tahun berikutnya. Sementara program pembinaan
daerah rawan aqidah dilaksanakan di daerah perbatasan dengan Sumatera Utara yaitu
di Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Subulusalam. Di empat daerah
ini Baitul Mal Aceh melakukan pembinaan dan pemberian santunan kepada muallaf,
juga membangun dan merehab masjid/mushalla.
Dari seluruh program
dan kegiatan Baitul Mal, tetap berorientasi pada pengentasan kemiskinan dan
pemberdayaan kaum dhuafa. Hal ini dilakukan karena jumlah dana yang
disalurkan dan didayagunakan Baitul Mal belum cukup besar, dibandingkan potensi
zakat Aceh yang mencapai Rp 1,9 triliun. Karena itu pula, Baitul Mal
mengutamakan sinergitas dengan instansi lain yang fungsinya hampir sama,
menjemput data serta merancang program dan kegiatan yang belum digarap
instansi lainnya.
Demikian juga program
dan kegiatan Baitul Mal Kab/Kota di seluruh Aceh. Hampir seluruhnya
dimanfaatkan untuk kepentingan fakir miskin dan kaum dhuafa. Dana yang
disalurkan dominan masih dalam bentuk bantuan konsumtif bagi
fakir-miskin. Sedikit sekali yang digunakan untuk kegiatan fisabilllah
(kegiatan-kegiatan keislaman) dan investasi. Kita berharap, seiring
meningkatnya jumlah koleksi zakat dan infak, akan meningkat pula jumlah dana
yang dapat diproduktifkan dan diinvestasikan dalam berbagai bentuk program demi
kemaslahatan umat. Dan ketika itulah manfaat zakat dan infak akan dapat
dirasakan mafaatnya dalam jangka panjang.
Sumber: http://baitulmal.acehprov.go.id