Pembentukan Akhlak Anak Melalui “Madrasah” Keluarga
Ilustrasi pendidikan keluarga. (foto: google) |
Anak
merupakan anugerah terbesar dari Allah swt yang tiada terhingga nilainya. Mempunyai
anak merupakan cita-cita semua keluarga.Anak
yang dititipkan oleh
Allah melalui orang tua,
wajib diberikan kasih
sayang, pendidikan, pemeliharaan
dan tanggung jawab orang
tua.
Tugas orang
tua terhadap anak tidak hanya dalam
hal memenuhi kebutuhan jasmani
saja, melainkan kebutuhan
rohani seperti pembentukan
akhlak yang mulia berdasarkan al-Qur’an
dan nilai-nilai agama,
sehingga akan menjadi
seorang anak yang
tidak menyimpang dari ajaran
agama.
Bila
anak manusia tidak
mempunyai akhlak yang mulia
maka rendah derajatnya
dihadapan Tuhan, dan
humanitasnya dipertanyakan. Namun
binatang yang tidak
mempunyai akal, derajatnya
sama dihadapan Tuhan,
dan animalitasnya tidak
perlu dipertanyakan. Inilah
yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya
dihadapan Tuhan. Hal
yang sangat urgen
harus dimiliki oleh
seorang anak agar
sifat humanitasnya terlihat
dan sifat animalitasnya
tertanam dalam-dalam.
Hal
ini yang
menyebabkan kenapa akhlak
mulia perlu dibentuk
dan menjadi kewajiban
orang tua terhadap
anaknya, agar anak
itu menjadi anak yang mengenal Tuhannya, mengenal
gurunya, mengenal saudara-saudaranya dan
mengenal orang-orang disekelilingnya. Maka
pembinaan rohani oleh
orang tua seperti
pembentukan akhlak mulia
menjadi sangat penting
ketimbang pembinaan fisik-jasmani.
Islam
sangat menganjurkan pembentukan
akhlak terhadap anak,
agar menjadi anak
yang beradab dan
disegani oleh sesamanya.
Membicarakan pembinaan akhlak
terhadap anak dalam islam
tentu tidak terlepas
dari al-Qur’an, sunnah Rasul
dan nilai-nilai keagamaan
yang dikembangkan oleh
para ulama. Karena
ketiga hal tersebut
merupakan pedoman utama
bagi kita umat Islam. Tanpa
berpedoman kepada tiga
sumber ini, sulit
untuk membentuk atau
membina akhlak yang
mulia terhadap anak.
Berbicara pendidikan
akhlak terhadap anak, tentu bisa
melalui pendidikan formal dan
non formal. Lembaga pendidikan
formal seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Bawah (SMP), sekolah
Menengah Atas (SMU/SMA) dan perguruan tinggi, semua pendidikan yang
setaraf dengannya.
Semua lembaga
pendidikan formal ini
menjadi wadah dalam
membentuk akhlak, dan menyalurkan berbagai
ilmu sesuai dengan
mata pelajaran dan
tingkatan umurnya. Orang
tua merasa tidak
menjadi masalah bagi
mereka ketika anaknya
telah bisa mengecap
pendidikan dilembaga pendidikan
tersebut, karena sudah
ada yang mengawasi,
menyalurkan ilmu, dan yang lebih
penting telah ada
yang membentuk akhlak anaknya. Jadi
tidak perlu pusing
kepala dalam memikirkan
nasib akhlak anaknya.
Padahal akhlak
anaknya bukanlah sepenuhnya
menjadi tugas guru-guru
di lembaga pendidikan formal itu.
Hal yang kurang
disadari oleh orang
tua, lembaga pendidikan
keluarga ini sebenarnya
“lembaga pendidikan” yang paling utama
dalam pembinaan akhlak
anaknya dan orang tua sebagai
gurunya. Namun sekarang pendidikan
yang diterima oleh anaknya
disekolah dianggap sudah
memadai oleh orang
tua, padahal tidak demikian.
Kalau dikalkulasikan dalam sehari
anak hanya menerima
5-6 jam transfer
ilmu di sekolah
formalnya, tentu ini terlalu
sedikit bila dibandingkan
apa yang harus
ia terima diluar
6 jam tersebut.
Dan mata pelajaran
ilmu agama Islam
hanya 20% saja dari
keseluruhan mata pelajaran
disekolahnya. Jadi, dari
jumlah yang sedikit
itu tentu tidak
memadai dalam pembentukan
pribadi yang baik
terhadap anak.
Maka sangat
pantas, mengapa madrasah
keluarga manjadi lebih
penting dalam pembentukan
akhlak anak. Transfer
ilmu dari orang
tua kepada anak
tentu lebih mudah
disebabkan faktor hereditas (keterunan),
orang tua lebih mudah memahami
keadaan si anak secara psikologis lalu
memberikan apa yang
menjadi kebutuhan anaknya
dalam membina akhlak
yang mulia.
Anak
dilahirkan dalam keadaan
suci, mereka mempunyai
potensi untuk berkembang, dan
perkembangan anak ini
perlu dibantu oleh
orang lain, tentu
yang sangat berpengaruh
dalam perkembangan anak
ini tergantung pendidikan
yang berikan oleh
orang tuanya.
Anak yang
lagi suci disuguhkan
pendidikan yang baik
pula, tentu ia
akan menjadi seorang
yang berakhlak mulia
dikemudian hari. Dalam
perkembangan kepribadian anak,
ada tiga aliran ilmu jiwa
anak yang perlu
diketahui oleh orang
tua si anak,
seperti yang dikutip
oleh Abdullah Likur
ketiga aliran tersebut adalah: a).Aliran Nativisme, aliran
ini dipelopori oleh
Arthur Scopen Hauer
(1788-1860) seorang filsuf
kejiwaan berkebangsaan Jerman, ia
berpendapat bahwa perkembangan
manusia berdasarkan apa
yang diperoleh sejak
ia dilahirkan.
Jadi menurut
pendapat ini faktor
hereditas adalah
faktor mutlak dalam
perkembangan pribadi seorang
anak, pendidikan yang
diberikan oleh orang
tuanya tidak akan
mempengaruhi pribadi seorang
anak. Rangsangan lingkungan
tidak akan mepengaruhi
tingkah laku seorang
anak berdasarkan keadaan
lingkungan tersebut.
Pendidikan baik yang diterima
oleh anak tidak
bisa merubahnya manjadi
orang baik, akan
tetapi ia akan
bertindak sesuai pembawaan
sejak lahir, begitu
juga sebaliknya. b). Aliran
Emperisme, aliran
ini dipelopori oleh
John Locke (1632-1704),
tokoh empiris pertama
yang mengatakan bahwa
perkembangan kepribadian seorang
anak tidak berdasarkan
faktor bawaan, melainkan
karena faktor lingkungan.
Jadi seorang
anak wataknya terbentuk sesuai dengan
keadaan tempat tinggalnya.
Menurut John, anak
lahir ke dunia dalam
keadaan suci bagaikan
tabularasa (arti harfiahnya:
papan lilin), seorang
anak lahir tidak
membawa apa-apa termasuk
sifat bawaannya. Jadi
menurut John anak
berubah secara berlahan-lahan sesuai
rangsangan yang diterima
dari lingkungan, apabila
pendidikannya baik maka
seorang anak akan
menjadi baik. Begitu
juga sebaliknya. c).
Aliran Konvergensi, aliran
ini memadukan aliran
Nativisme dengan
aliran Emperisme. Aliran ini
delopori oleh William
Lois Stern (1938). Menurut
aliran Konvergensi, harus ada
interaksi antara faktor bawaan
(hereditas) dengan
faktor lingkungan dalam
pembentukan kepribadian anak.
Menurut aliran ini
juga, tidak ada
perkembangan secara wajar
apabila tidak diberi
rangsangan faktor lingkungan,
begitu juga sebaliknya
seorang anak tidak bisa berkembang
secara maksimal apabila
diberi rangsangan lingkungan
saja tanpa faktor
bawaan (hereditas).
Terbukti kedua
faktor ini harus
bekerja secara integral, artinya
faktor internal (potensi
bawaan) anak harus
bekerja dengan faktor
eksternal (lingkungan pendidikan)
dalam pembinaan akhlak
anak.
Dari
ketiga aliran tersebut,
aliran konvergensi sepertinya selaras
dan sesuai dengan
ajaran Islam, hal
ini termaktub dalam
al-Qur’an : “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui
sesuatupun. Dan Dia
memberimu pendengaran, penglihatan
dan hati, agar
kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl
(16): 78). Dengan demikian faktor
pembentukan akhlak anak
ada dua, yaitu faktor hereditas (bawaan
sejak lahir), seperti
pembawaan jenis, pembawaan
ras, pembawaan jenis
kelamin, dan pembawaan
perseorangan. Dan faktor
lingkungan, seperti lingkungan
rumah, lingkungan sekolah,
dan lingkungan teman-teman
sebaya.
Bagi
orang tua sangat
pantas untuk menganut
aliran konvergensi dalam membentuk
akhlak anaknya, memadukan
antara faktor hereditas dan
lingkungan menjadikan pertumbuhan
anaknya menjadi seorang
anak yang berakhlak
mulia. Tentu bukan
dengan cara spontanitas
dan instan dalam
membentuk akhlak anak ini,
namun dibutuhkan usaha-usaha
dan pembinaan yang
baik dari orang
tua anak.
Melalui pendidikan
keluarga, orang tua
dapat melakukan langkah-langkah berikut
dalam membentuk akhlak
anak, anatara lain:
a). Menyediakan
Bacaan Islami
Melalui bacaan
anak dapat menegtahui berbagai
hal dan dapat bersikap sesuai bahan bacaannya. Jadi
sangat tepat apabila
orang tua menyuguhkan
bahan bacaan islami untuk
anak, agar seorang anak
tumbuh dan berkarakter sesuai
dengan apa yang
ia baca. Langkah
ini juga tidak
merepotkan orang tua,
teori mengenai akhlak
yang baik biasanya diberi
dengan pola nasehat,
namun sangat efektif diluar
pola nasehat juga
membentuk akhlak anak melalui bacaan,
agar anak tidak
larut dalam kejenuhan
dengan pola nasehat
itu. Namun yang
paling utama harus
dilakukan oleh orang
tua menumbuhkan semangat
baca anak, lalu
baru memberi bacaan–bacaan islam
terhadap anak, terutama yang menyangkut
iman, islam dan akhlak.
b). Mengawasi
Aktifitas Anak
Seorang anak
dapat bertingkah diluar kewajaran
karena keluarga dan
orang tua tidak
rajin mengawasi anaknya.
Seorang anak suka
dengan hal-hal yang melalaikan, jadi
kalau tidak dikawal dan
diperhatikan, maka ia akan
leluasa dalam kelalaian. Di era
gadget sekarang ini
anak dapat mengakses
segala sesuatu dengan
sangat mudah, dengan
handphone android dan
sejenisnya, seorang anak dapat
mengakses apa yang
ia mau. Apalagi
dalam perangkat ini
disediakan Wifi Hotspot,
dengan begitu bisa
mengakses internet secara ramai-ramai tanpa harus ke warnet. Disini
orang tua atau
keluarga harus mengawasi
dengan ketat agar
si anak tidak
mengakses hal-hal yang
tidak layak konsumsi. Kalau
seorang anak telah
mengkonsumsi hal yang
berbau pornografi, maka sikap dan akhlak
anak akan berubah
drastis. Karena pornografi
“racun akhlak” yang
mematikan bagi anak.
c). Memberi
Pendidikan Akhlak Secara
Langsung
Bagi
masyarakat modern dan
perkotaan, pendidikan akhlak
sering diabaikan oleh
orang tua. Sebagian
dari mereka mungkin
beralasan sibuk dengan
pekerjaan, perusahaan,
perkantoran, dan sebagainya.
Lalu sebagai alaternatif,
mereka menyewa guru private
untuk mendidik anaknya.
Padahal ini langkah
yang keliru diambil
oleh orang tua.
Coba bayangkan, sebagian
orang tua pendidikannya
hingga ke jenjang lebih
tinggi, tidak sedikit
diantara mereka bergelar doktor
dan profesor.
Lalu dengan
alasan sibuk pekerjaan, lalu menyewa
guru private yang
pendidikannya barangkali masih
semester satu, dua
atau tiga. Dengan
begitu anaknya dididik
oleh mereka yang
masih minim ilmu.
Orang tua seperti
ini banyak kita
jumpa diperkotaan, dengan
pendidikan tinggi rela
menggadaikan pendidikan anaknya
demi pekerjaan. Jadi,
jangan heran mengapa
di perkotaan anak-anak pejabat,
dan akademisi mengalami krisis
ilmu dan dekadensi
moral. Disebabkan transfer
ilmu secara lngsung
dari orang tua
kepada anaknya sangat
berkurang bahkan sama sekali tidak
ada.
Kita
menjadi tahu, betapa
pentingnya pendidikan keluarga
bagi anak, jangan
jadikan anak menjadi
“yatim” lebih dulu
oleh kesibukan-kesibukan dunia
pekerjaan dan kepentingan
lainnya. Tiada kepentingan
yang lebih utama
bagi orang tua selain kepentingan
mendidik akhlak anaknya.
Jadi, bagi orang
tua dan keluarga
mari menghidupkan kembali
“madrasah keluarga” yang
telah lama mati untuk
membina dan mendidik
akhlak anak. Karena
itu kewajiban paling
tinggi untuk mewujudkan
anak yang berakhlak
mulia, beriman dan bertaqwa.
Semoga tulisan ini
menjadi renungan bagi
kita semua.
*Penulis
adalah Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN
A-Raniry, Banda Aceh. Email: rahmatullah.y@gmail.com