Agar Anak Hanya Mengadu Kepada Allah
Ilustrasi Ibu dan Anak (inet) |
Rasulullah
Saw secara nyata mendidik putra-putri kaum muslimin untuk selalu mengadu hanya
kepada Allah Swt dan selalu mengingat-Nya baik ketika sedang dalam keadaan
senang maupun susah.
Ibnu Abbas ra, meriwayatkan pernah suatu hari ia naik di belakang Rasulullah
Saw. Lalu beliau berkata kepadanya :
“Anakku,
aku ingin mengajarimu beberapa kalimat. Jagalah Allah, maka Dia akan menjagamu.
Dan jagalah Allah, maka kamu akan mendapatkan-Nya berada di depanmu. Jika kamu
meminta, maka mintalah kepada Allah. Jika kamu meminta pertolongan, maka
mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa jika seandainya umat
bersepakat untuk memberi manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan mampu
memberikan manfaat kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah Swt untukmu. Dan
jika seandainya mereka bersepakat untuk mencelakakan kamu, maka mereka tidak
akan mampu mencelakakan kamu kecuali jika hal itu memang telah ditetapkan
oleh-Nya. Pena telah diangkat (ungkapan yang berarti bahwa semua ketentuan
telah dituliskan sebelum penciptaan) dan lembaran buku telah kering (ungkapan
yang berarti bahwa penulisan takdir telah usai)”
Para Salafush Shalih mengajarkan
hal ini kepada anak-anak perempuan mereka. Dalam kitab Shifatush shafwah, Ibnu
Jauzi meriwayatkan dari Abdullah bin Muhammad bin Wahb, ia berkata, “Yahya bin
Mu’adz memiliki anak perempuan yang masih kecil, lalu suatu ketika anak
perempuannya tersebut meminta sesuatu kepadanya, lalu Yahya bin Mu’adz berkata
kepadanya, “Putriku, mintalah permintaanmu itu kepada Allah Swt.”
Lalu si anak
berkata, “Ayah, apakah aku tidak malu datang kepada Allah Swt hanya untuk
meminta sesuatu yang dimakan?”
Bentuk pendidikan yang diberikan oleh as-Salafush shaalih kepada anak-anak
perempuan seperti inilah yang mampu menghasilkan anak-anak perempuan yang
memiliki keimanan sangat kuat. Mereka tidak akan rela jika ada sesuatu yang
menjadi sekutu bagi Allah ketika mereka memohon kepada-Nya. Bahkan, jika ada
seseorang yang datang kepada mereka untuk memberikan pertolongan tanpa mereka
minta, maka mereka menganggap bahwa hal itu berarti pengusiran terhadap mereka
dari pintu Allah.
Dalam kitab Shifatush shafwah Ibnu Jauzi meriwayatkan dari ‘Affan bin Muslim,
ia berkata bahwa Hammad bin Salamah bercerita kepadaku, “Pada suatu waktu,
hujan yang begitu deras terus-menerus turun, dan hal itu berlangsung selama
satu tahun. Aku memiliki tetangga seorang perempuan ahli ibadah, ia memiliki
empat anak perempuan yang telah yatim ditinggal mati oleh bapaknya, dan
rumahnya berada dekat samping rumahku.
Akibat hujan yang terus-menerus turun,
atap rumahnya runtuh dan menimpa mereka semua. Ketika itu aku mendengar ia
berkata, “Sahabat, kasihanilah kami,”
maka seketika itu hujan berhenti. Lalu
aku mengambil kantong yang di dalamnya berisi beberapa dinar, lalu aku datang
dan mengetuk pintu rumahnya. Ia berkata, “Ya Allah, semoga yang datang adalah
Hammad bin Salamah,”
Lalu aku berkata, “Ini aku, Hammad bin Salamah,” lalu aku
mngeluarkan kantong yang berisi uang tersebut seraya berkata, “Manfaatkanlah
uang ini, “Ketika itu, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang mengenakan baju
yang sudah compang-camping mendekatiku dan berkata, “Apakah tidak lebih baik
anda diam, wahai Hammad? Apakah kamu ingin menghalang-halangi jarak antara kami
dan Tuhan kami?”
Kemudian ia berkata kepada ibunya, “Ibu, bukankah kita telah
tahu bahwa jika kita mengadu kepada Tuhan agar mengirim kepada kita dunia, maka
Dia akan mengusir kita dari pintu-Nya?” Kemudian anak perempuan tersebut
menempelkan pipinya ke tanah sambil berkata,
“Adapun aku, demi kuasa-Mu ya
Allah, hamba tidak akan meninggalkan pintu-Mu walaupun Engkau mengusirku.”
Kemudian sang ibu berkata, “Wahai Hammad, kembalikan dinarmu itu ke tempat di
mana sebelumnya berada, karena kami hanya akan mengadukan segala kebutuhan kami
kepada Zat yang menerima titipan dan Zat yang tidak akan membuat rugi
orang-orang yang beramal.”
Para perempuan salehah terdahulu melihat bahwa pandangan (pertolongan) Allah
kepada mereka jauh lebih mencukupi daripada pandangan manusia.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Telah sampai kepada kami bahwa penguasa daerah
tempat Hatim al-Asham tinggal, suatu ketika melewati pintu rumah Hatim. Lalu
sang penguasa tersebut meminta air minum, setelah selesai minum,sang penguasa
tersebut melempar sejumlah uang kepada Hatim, lalu para sahabat Hatim
menyetujui untuk menerima uang tersebut. Seluruh isi rumah pun bergembira atas
uang yang mereka terima tersebut, kecuali seorang bocah perempuan, justru ia
malah menangis.
Lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuat kamu menangis anak
kecil?”ia menjawab, “Seorang makhluk memandang (memberi bantuan) kepada kita,
dan dengan bantuan tersebut kita pun menjadi orang yang berkecukupan, lalu
bagaimana jika seandainya yang memandang kepada kita adalah Sang Pencipta,
Allah ta’ala?”
SubhanAllah….
Sumber
: Buku Mendidik Anak Perempuan, Abdul Mun’im Ibrahim, GIP/al-mustaqbal