Pilpres 2014 dalam Pandangan Fiqih Islam
Mukhlisuddin |
Oleh Tgk.
Mukhlisuddin, SHI, MA
Pemilihan
Presiden (Pilpres) pada 9 Juli 2014 mendatang merupakan hajatan besar bangsa
Indonesia sebagai momentum untuk memilih kader terbaik bangsa menjadi pemimpin bagi
bangsa dan sebagai ulil Amri yang berkewajiban menunaikan seluruh kemaslahatan
ummat dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.
Sebagai umat Islam, kita
melihat bahwa pemimpin yang akan dipilih nantinya tidak hanya sebagai pemimpin
Indonesia semata, tetapi pemimpin ummat Islam, karena 90 % penduduk Indonesia
adalah umat Islam dan pemilih paling dominan adalah umat Islam.
Memilih
Pemimpin Dalam Islam
Nashb
al-imâmâh
(penegakkan kepemimpinan) merupakan hal yang dimaklumi kepentingannya dalam
agama Islam dan bagi kaum muslimin secara dharuri. Itulah sebabnya
mengapa para shahabat berkumpul di Tsaqîfah Bani Sa’îdah selang beberapa saat
Rasulullah saw. wafat.
Dalam keadaan jenazah Rasulullah saw. masih terbaring,
mereka segera berkumpul dan bermusyawarah guna memilih dan mengangkat seorang
pengganti Rasulullah saw, sekalipun memakamkan jenazah Rasulullah saw adalah
juga pekerjaan yang wajib yang mesti dilakukan. Namun sesuai dengan tuntunan
syariat, mereka justru memprioritaskan mengangkat pengganti Rasulullah saw.
Mereka tidak ingin dan tidak bisa hidup barang satu haripun tanpa adanya
pemimpin.
Esensi
keberadaan seorang pemimpin juga dapat kita perhatikan dari ucapan Abubakar ra.
Ketika itu: “Sesungguhnya Muhamad telah pergi selama-lamanya, dan untuk
urusan Islam ini harus ada orang yang melaksanakannya, maka hendaklah kalian
memikirkannya dan kemukakanlah pendapat-pendapat kalian.”(As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah, h. 473), dengan demikian dapat dimaklumi bahwa kepemimpinan dalam ajaran Islam memiliki
kedudukan vital dan sentral untuk menegakkan mashlahat dharûriyyah dalam
lingkup Mashlahat 'âmmah. Untuk itu, Islam telah menetapkan empat kriteria
ideal kepemimpinan yang dapat menegakkan kemaslahatan itu: fathânah, amânah,
shiddîq, tablîgh.
Fathânah.
Artinya, mampu menghadapi seluruh lapisan manusia dengan bijak. Dengan
kekuatan hikmahnya, mampu memberikan kepuasan pikiran. Dengan nasihatnya, mampu
menentramkan hati, dan dengan argumennya mampu memberikan keteguhan ideologi. Amânah.
Artinya, sanggup menunaikan segala amanat, baik amanah dari Allah maupun amanah
masyarakat.
Sehingga semua lapisan masyarakat mendapatkan keadilan, terpenuhi
haknya masing-masing. Shiddîq. Artinya, bersikap jujur dalam segala
bentuknya. Jujur hati dan lidahnya, dan jujur pula perbuatannya. Kejujurannya
tidak semu, bukan kamuflase atau hiasan semata untuk memikat dan menarik
simpati orang lain agar bisa dimanfaatkan. Akan tetapi benar-benar merupakan
integrasi antara hati, lisan, dan perbuatan dan tablîgh. Artinya,
menyampaikan risalah ilahi kepada semua pihak. Dia menjadi muballigh
yang istiqamah, tidak bisa dimanfaatkan menjadi “corong” kelompok-kelompok
tertentu, meskipun dijanjikan harta dan tahta.
Pandangan
dasar tentang Maqâshid Syarîah dalam memilih pemimpin dengan kriteria
yang ideal secara syariat bukanlah tugas sesaat (tidak dibatasi periode
kepemimpinan tertentu), melainkan
menjadi tugas kaum muslimin sepajang hayat. Dan dalam prakteknya, hal itu juga bertumpu
kepada wasâ`il (alat untuk mencapai tujuan)-nya.
Fiqh
Pilpres 2014
Dalam
Konteks Pilpres 2014 ini, Dimana calon yang akan dipilih adalah Prabowo – Hatta
Radjasa dan Joko Widodo – Jusuf Kalla merupakan 2 pasangan Capres yang telah
ditetapkan KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai Capres sah yang akan dipilih
rakyat pada 9 Juli 2014 mendatang, tentunya umat Islam akan bertanya siapakan
Capres ideal yang harus dipilih?, dan Haruskan menentukan pilihan, jika memang
bukan capres ideal. Ideal dan tidaknya dua calon Presiden yang ditetap KPU bagi
Umat Islam tidak lepas dari effect Negative
dan Black Campaign yang dipublikasi berbagai media serta jejak
rekam riwayat kehidupan masing-masing Capres dan Cawapres tersebut, hingga
secara riil, masyarakat muslim bisa menilai bahwa dua pasangan yang ada
bukanlah pasangan ideal secara sempurna, tetapi setidaknya syarat umum sebagai
pemimpin keduanya memilikinya.
Untuk
menjawab problematika di atas, konsep dasar yang dijadikan pijakan dalam Fiqh
adalah nilai Maqasid al-Syar’iyyah yang merujuk pada kemestian selalu jalb
al-mashaalih (mewujudkan mashlahat) dan dar` al-mafasid atau daf’
ad-Dharar (mencegah hal-hal yang merusak).
Sehubungan
dengan itu, ketika dalam kehidupan kaum muslimin tidak ditemukan figur
yang memenuhi kriteria ideal secara syariat dan tentu saja kaum muslimin akan
dihadapkan pada dua pilihan, Pertama, memilih pemimpin yang tidak
sepenuhnya ideal. Hal ini akan menimbulkan mudharat ketika
kepemimpinannya tidak sesuai dengan syar’i. Dan kedua, Tidak memilih
pemimpin (golput) karena tidak ada yang ideal. Hal ini akan menimbulkan mudharat
yang lebih besar, yakni dengan tidak adanya kepemimpinan dapat mengancam
maslahat atau kepentingan publik yang berhubungan dengan pemeliharan mashlahat
dharûriyyah.
Berdasarkan
pandangan dasar tentang Maqâshid Syarîah, umat Islam diwajibkan untuk mengambil yang paling
ringan madharat-nya. Sikap ini sejalan dengan dua alasan, yaitu nilai
dasar siyâsah syar’iyyah dan kaidah-kaidah umum dalam fiqh.
Alasan
pertama, Nilai dasar siyâsah syar’iyyah terlihat dari keberadaan rukhshah,
yaitu pekecualian dari hukum asal dalam Alquran. Aturan tersebut berlaku karena
adanya situasi dan kondisi tertentu yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan
hukum asal. semisal kondisi darurat dalam memakan daging babi. Dalam aturan rukhsah
tersirat semangat mengenai keharusan untuk senantiasa memperhatikan dan
memperhitungkan situasi dan kondisi yang dihadapi dalam menerapkan hukum, termasuk
nashb al-imâmâh (penegakkan kepemimpinan).
Alasan
kedua, kaidah-kaidah umum dalam Fiqh (Qawaid al-fiqhiyyah), dalam hal
ini terungkap dalam kaidah الضَّرُوْرَاتُ
تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ “Keadaan darurat membawa pada
kebolehan yang dilarang” dan kaidah إِذَا
تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ
أَخَفِّهِمَا “Apabila terjadi kontradiksi dua kemafsadatan, maka
yang dipertimbangkan adalah yang paling besar madaratnya dengan
melakukan/mengambil yang lebih ringan madaratnya.” Dalam redaksi lain إِذَا
اجْتَمَعَ الضَّرَرَانِ فَعَلَيْكُمْ بِأَخَفِّهِمَا “Apabila berkumpul dua madharat,
maka ambilah yang lebih ringan”. Dua kaidah dasar di atas terangkum
maknanya dalam kaidah دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ “Menolak berbagai kerusakan itu
didahulukan daripada mengambil berbagai kemaslahatan”.
Kaidah-kaidah
di atas “lahir” dari beberapa pentunjuk Al-Quran dalam Q.s. Al-Baqarah, 173, Q.s al-Baqarah:178, Q.s,
al-An’am:145 dan Q.s an-Nahl:115 yang menajdi dasar kebolehan rukhsah
sebagaimana dipahami dalam terjemahan “Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya”( Q.s. Al-Baqarah, 173).
Begitu
juga dalam menelisik kriteria pasangan capres Prabowo-Hatta dan Joko Widodo –
Jusuf Kalla, kita juga diharapkan cerdas dalam memilih dan melihat sifat dan
karakter capres dalam konteks ke-Islaman. Posisi capres yang kuat dan tegas akan membuat negeri semakin kuat meskipun
adanya sifat negatif lain dari sosok capres tersebut, Apalagi di saat dua
pasangan sama-sama memiliki sifat “kemudharatan” yang meruntuhkan sifat ideal
maka pilihan akhir dan harus memilih adalah yang paling ringan kemudharatannya,
maka tentunya dalam hal ini Ummat Islam akan lebih cerdas dalam melihat dan
menilai siapakah diantara dua pasangan Capres yang memiliki “akhaffu
Dhararain” tersebut.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pandangan dasar tentang Maqâshid Syarîah,
Islam melarang memilih pemimpin yang “jelek”, tidak ideal. Namun bila tidak
didapat yang “baik”, yang ideal, pilihlah yang paling sedikit “jeleknya,” atau irtikâb
akhaff ad-dararain (mengambil yang paling ringan madharatnya). Di samping
itu, perlu diketahui pula bahwa “baik” dan “jelek” berdasarkan pandangan dasar
tentang Maqâshid Syarîah ini bukan semata-mata membandingkan antar
figure calon pemimpin, namun dibandingkan pula dengan variabel-variabel yang
sesuai dengan situasi dan kondisi kemaslahatan yang harus diwujudkan di wilayah
kepemimpinannya, sehingga “yang jelek” dapat dikatakan “lebih baik” ketika ia
dipandang mampu mewujudkan kemaslahatan umum yang layak diprioritaskan.
Penulis adalah Dosen di STAI Al-Aziziyah dan Penyuluh
Agama Islam Fungsional di Kemenag Kab. Pidie Jaya