Caleg Bersyari’at untuk Aceh yang Bermartabat
Oleh Teuku Zulkhairi
Wakil Sekjend RTA dan anggota Tim peneliti pada Litbang HUDA
Liputan ekslusif berjudul “syari’at
Islam setengah hati” yang diturunkan Harian Serambi Indonesia Kamis lalu (3/4)
menarik didiskusikan lebih lanjut, khususnya jika kemudian kita kaitkan dengan
kiprah wakil rakyat Aceh di lembaga legislatif Aceh tingkat kabupaten/kota dan
juga propinsi selama lima tahun terakhir. Bahwa saat wakil rakyat Aceh tidak
memiliki tingkat kepedulian yang pada regulasi-regulasi syari’at, maka penerapan
syari’at Islam dipastikan akan mengalami stagnan, vakum dan atau hanya setengah
hati, persis seperti judul liputan harian Serambi Indonesia di atas.
Oleh sebab itu, mari kita coba berfikir sebaliknya, bahwa apabila
wakil rakyat adalah mereka yang pro pada syari’at Islam, maka mereka pasti akan
memanfaatkan jabatannya sebagai wakil rakyat untuk mewujudkan Aceh yang
bersyari’at dalam semua tatanan kehidupan, khususnya dimulai dari yang
berkaitan dengan tugas dan fungsi mereka di lembaga legislatif, yaitu dalam hal
budgeting(penganggaran), controlling (pengontrol) dan fungsi
pengawasan.
Harus
diakui, bahwa meskipun kesukseskan syari’at Islam secara kultural
ditentukan sepenuhnya oleh masyarakat dengan segenap elemen sipilnya,
namun
penerapan syari’at Islam secara politik sangat dipengaruhi oleh
usaha-usaha dan
narasi kehidupan bersyari’at oleh para wakil rakyat. Jadi, apabila
seorang legislator bersyari’at maka ia akan memanfaatkan ketiga fungsi
lembaga tersebut untuk
membantu suksesnya penerapan syari’at Islam dalam setiap dimensi
kehidupan. Mereka
akan mendukung penganggaran yang maksimal untuk penerapan syari’at Islam
di
segala bidang kehidupan.
Mereka akan akan menjalankan melahirkan
regulasi-regulasi untuk mewujdkan kehidupan yang bersyari’at. Dan mereka
juga
akan melakukan pengawasan yang secara ekstra dan kritis terhadap
pemerintahan
agar menjalankan undang-undang atau qanun-qanun yang telah dilahirkan.
Mereka tidak
akan tinggal diam apabila pemerintaha (eksekutif) “bermain-main” atau
setengah
hati dalam penerapan syari’at Islam, karena mereka tahu bahwa mereka
adalah
wakil rakyat, bukan wakil eksekutif.
Caleg
bersyari’at
Secara garis besar, ada dua
indikator untuk mengukur bersyari’at atau tidaknya seorang calon anggota legislatif
(Caleg). Pertama, caleg bersyari’at itu dapat diukur dengan intensitas
hubungannya dengan Allah Swt dan masyarakat (hablumminallah dan hablumminannas).
Mereka shalih secara pribadi maupun secara sosial.
Secara pribadii mereka dekat
dengan Allah, beriman dan bertaqwa. Secara sosial, mereka adalah orang yang
merakyat. Kedua, caleg bersyari’at itu berintegritas, yaitu sesuai
antara perkataan dan perbuatannya, serta memiliki narasi tentang kepemimpinan
dan tentang visi membangun peradaban. Mereka menguasai persoalan-persoalan
bangsa yang menuntut perannya untuk menyelesaikannya.
Secara runut, Caleg bersyari’at itu dapat diukur dengan indikator
sifat-sifat yang wajib pada Rasul, karena sifat yang wajib pada Rasul ini
adalah perkara yang diharuskan untuk diikuti oleh umat Islam. Pertama, siddiq
atau benar. Caleh bersyari’at itu adalah mereka yang benar dalam perbuatan
dan perkataannya. Mereka tidak berbohong atau berdusta secara fatal.
Kedua amanah, mereka terpecaya apabila ia diberikan, tidak
mengkhianati jabatannya atau kepercayaan. Ketiga tabligh, atau
menyampaikan. Mereka adalah orang-orang yang aspiratif, alias mau mendengar
aspirasi dari masyarakat sekaligus memperjuangkannya di lembaga lesgislatif. Mereka
lebih banyak mendengar suara masyarakat saat mereka jumpa dengan rakyat, bukan
lebih banyak berbicara.
Bagi caleg yang sedang menjabat sebagai anggota legislatif, kita
bisa mengenal sifat ini ada pada mereka apabila saat di lembaga legislatif mereka
mau berbicara memperjuangkan nasib masyarakat seluruhnya dari kelompok manapun,
mereka tidak tidur atau absen saat rapat membahas nasib masyarakat. Sifat ini
bisa kita kenal dari berita di media massa atau dengan mengingat kembali cerita
tentang kinerja parlemen kita dari berbagai sumber yang terpercaya.
Sifat yang keempat adalah fatanah atau cerdas. Caleg bersyari’at
itu bukan orang bodoh, mereka paham persoalan-persoalan kebangsaan yang mendera
bangsa kita saat ini, mereka setidaknya paham hal-hal mendasar dari
problematika pendidikan kita yang realitasnya belum mampu mewujudkan kebangkitan
Indonesia dan Aceh khususnya.
Mereka juga paham persoalan-persoalan mendasar
bidang ekonomi, politik, sosial budaya, pasar, pertanian, lingkungan hidup dan
sebagainya. Dan yang lebih penting adalah, mereka mememiliki narasi sebagai
wakil rakyat, tahu apa yang seharusnya mereka lakukan untuk menghadirkan
perubahan bagi masyarakat.
Dan yang menjadi kekuatan dari munculnya sifat-sifat itu adalah
apabila mereka yang rajin beribadah, rajin shalat berjama’ah di mesjid, selalu
membaca Alquran dan mentadabburi maknanya sehingga selalu mendapat petunjuk dalam
menjalankan fungsinya sebagai anggota legislatif, mau mendengar ulama, tidak
mengancam masyarakat untuk memilih dirinya karena dalam Islam kita tidak
diperbolehkan untuk menuntut jabatan.
Oleh
sebab itu, apabila kita ingin mewujudkan Aceh yang bermartabat,
maka mau tidak mau kita harus mendukung Caleg yang bersyari’at di
lembaga legislatif
kita, agar Aceh bersyari’at, bermartabat dan berdaulat. Suara kita akan
menentukan
wajah parlemen kita dan nasib kita lima tahun mendatang. Terakhir,
meminjam
nasehat ulama yang saya kagumi, Tgk.H.Muhammad Yusuf A.Wahab saat
diskusi dengan kami beberapa waktu lalu, “Meski demokrasi itu adalah
cara iblis melegalkan kebatilan, tapi manfaatkanlah demokrasi(pemilu)
untuk
mewujudkan kejayaan Islam”. Wallahu A’lam Bishshawab.