Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ustaz Mutiara Fahmi: Dikotomi Politik dan Agama Lahir karena Dikotomi Pendidikan


Ust Mutiara Fahmi, Lc, MA

BANDA ACEH - Selama ini seringkali kita mendengar  statemen yang keliru dalam masyarakat “ Jangan bawa-bawa agama dalam politik, kalau berpolitik sah-sah saja namun jangan campur adukkan dengan agama”.  Dari statemen di atas seolah-olah agama tidak punya andil sedikitpun dalam dunia politik sehingga acapkali terdengar pula “jangan bicara politik di majlis-majlis agama karena agama tidak ada hubungan dengan politik.

Hal itu diungkapkan oleh Ustadz H Mutiara Fahmi, Lc, MA dari Dayah Darul Ihsan Tgk.H.Hasan Kruengkalee Aceh Besar saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh, Kuphi Luwak, Jeulingkee, Banda Aceh. Rabu, 26/32014).

Menurut Mutiara Fahmi, ternyata dikotomi antara politik dan agama sangat kentara dalam masyarakat Aceh atau  Indonesia umumnya. Semua ini pada dasarnya disebabkan oleh dikotomi pendidikan, yaitu dengan adanya pemisahan  pendidikan umum dan pendidikan agama.

“Imbas dari dikotomi tersebut telah berhasil mengakar dalam generasi Islam hari ini, antara Islam dan politik tidak ada kaitannya”, ujar Dewan Musytasar Yayasan Tgk Hasan Krueng Kalee dan dosen Politik Islam di UIN- Ar-Raniry ini.

Mutiara Fahmi menegaskan, sebenarnya jika kita kaji dengan mendalam, baik secara normatif maupun historis ternyata banyak sekali dalil yang bersumber dari ayat dan hadist yang membicarakan masalah politik, begitu juga secara historis  juga banyak sekali menceritakan tentang keurgensian politik dalam Islam.

Dalam kitab Al-Ahkam as-Sultaniyyah karya Al-Mawaridi  menjelaskan, fungsi khalifah penganti nabi bukan melanjutkan kenabian tapi mempertahankan eksitensi Islam dan mengatur pemerintahan untuk mensejahterkan rakyat.

Para ulama hanya terbagi dua golongan dalam menyikapi pentingnya Fikih Siyasah atau politik Islam dalam bernegara. Pendapat pertama adalah mubah, namun kemubahan disini para ulama menganalogikan tingkat kemubahan sama halnya dengan makan, artinya kemubahannya tidak mutlak tapi terkait selama tidak menimbulkan kemudharatan, jika sudah menimbulkan kemudharatan akan berubah kepada wajib.

Pendapat kedua adalah wajib. Para ulama yang berpendapat wajib berhujjah bahwa tidak mungkin menerapkan hukum Islam seperti, hudud dan sejumlah hukum jinayat lainya tidak mungkin ditegakkan oleh individu melainkan oleh pemerintah yang sah.

Oleh karena demikian, menurut Mutiara Fahmi, agama Islam melarang bagi korban pencurian memotong tangan pencuri, keluarga korban pembunuhan dilarang mengambil qishas sendiri dan merajam orang yang sudah terbukti berzina oleh siapa saja yang melihat perzinahan. Semua itu wewenang Pemerintah Islam bukan kewenangan individu. Esensinya, antara politik dengan Islam ibarat dua sisi mata uang yang bisa dipisahkan.

Suasana pengajian KWPSI yang diisi oleh Ustaz Mutiara Fahmi
Perspektif jabatan politik dalam Islam
Menruut Mutiara Fahmi, sejatinya tujuan meraih jabatan politik dalam Islam adalah merealisasikan penghambaan kita kepada sang khaliq atau dengan kata lain meraih jabatan politik adalah bagian dari beribadah kepada Allah.

Tentunya, jika dipahami dengan baik, bahwa jabatan politik adalah sebagai media untuk mencapai keridhaan Allah. Maka kita tidak akan janji-janji palsu, sikat-sikut, saling menumpahkan darah, memutuskan silaturahmi serta menghalalkan segala cara dalam meraih jabatan yang pada hakikatnya adalah amanah. Sungguh ironis meraih amanah yang mulai jalan yang kotor, jelas Mutiara Fahmi.

Pemilu Dalam Sejarah Islam
Dalam pengajian yang dihadiri para wartawan dan aktivis ini, Ustaz Mutiara Fahmi juga menerangkan, Dalam sejarah Islam ketika wafatnya nabi Muhammad SAW para sahabat terpilah-pilah dalam berbagai kelompok untuk mendukung khalifah dari sukunya masing-masing. Kaum Anshar mengkampayekan ketokohan  sahabat-sahabat yang layak menurut meraka, begitu juga kaum Muhajirin, Bani Sa’adah dan suku-suku lain. Ini adalah bentuk kampanye yang kita kenal dalam sistem pemilu yang modern sekalipun tehnis dan media yang digunakan seadanya.

Begitu juga pemungutan suara di Tempat Pemilihan Suara (TPS).

“itu sama halnya pembaiatan yang dilakukan secara perorang dan berkelompok datang membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pertama”, ujarnya.

Coblos di zaman sekarang bisa dianalogikan dengan baiat zaman dahulu. Karena tidak memungkin untuk kita  datang ke Jakarta untuk berjabat tangan dengan Presiden pilihan kita. Yang terpenting disini adalah subtansinya ada.

Soal mekanisme itu disesuaikan menurut zaman. Papar candidat Doktor, Cairo University (Universitas sekalas Universitas Indonesia (UI) di Indonesia).

Perlu juga diingat, kata Ust Mutiara Fahmi,  para khalifah dulu tidak mengemis jabatan. Tapi mereka diberikan jabatan. Lalu timbul pertayaan, apakah mendaftarkan diri jadi caleg lalu mengajak orang untuk memilihnya sebagai wakil/pemimpin itu termasuk meminta jabatan? Itu jelas tidak. Karena sistem negara modern melalui KPU/KIP sudah membuka peluang kepada warga negara yang terbaik untuk menjadi pemimpin. Jadi sudah jelas bukan mengemis kecuali ketika masa Pemilu sudah berakhir kita datang ke KPU untuk meminta jadi wakil rakyat/pemimpin itu baru nama mengemis.

Hukum Berjanji Dan Menagih Dalam Kampanye
Dalam Islam Al-wakdu dain (janji adalah utang) tentu utang wajib dibayar dan mengingkari janji adalah dosa besar. Baik janji yang tertulis maupun janji yang tidak tertulis. Apalagi janji kampanye bukan menyangkut hajat satu orang namun janji kepada publik tentunya lebih wajib ditunaikan. 

Lalu apakah janji dalam Kampanye boleh ditagih, tentunya jika janji itu tidak melanggar dengan perintah Allah boleh ditagih, sama halnya dengan utang. Kendati demikian harus melihat kondisi orang ditagih apakah sudah mampu memenuhi janji atau belum? Sebagaimana  firman Allah dalam surah Al-baqarah ayat 280:
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

Namun sebaliknya, kata Mutiara Fahmi, sudah sanggup melunasi hutang atau memenuhi janji tidak ditunaikan maka bentuk penganiayaan. Sebagaimana sabda rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim:  “Penangguhan pembayaran utang oleh yang mampu adalah penganiayaan”. (Mustafa/tz)