Sejarah Kebangsawanan Teungku Chik dan Raja di Aceh
Kompleks Makam Teungku Jakfar Raja Trumon Pertama di Keudee Trumon, Trumon Timur, Aceh Selatan |
Oleh Thayeb Loh Angen
Akhirnya penasaran
saya terhadap persaudaraan Teungku Chik Di Paloh terungkap perlahan-lahan.
Bagaimana dulu kafilah dari pantai utara dan timur Aceh, kalau ingin melintasi
Gunong Geureudong menuju pantai Barat Selatan harus menaiki kuda atau jalan
kaki.
Di sini kita tidak
membahas tentang pendapat bahwa ada ulama terdahulu yang sangat keramat
sampai-sampai kalau mahu ke Mesjid Haram Mekkah, hanya dengan niat sekali kedip
mata sampai di sana. Menurut sejarah, Nabi SAW harus naik kuda atau unta bila
ke tempat jauh. Ini menjelaskan bahwa kalau ulama terdahulu ingin berhaji,
mereka harus naik kapal laut.
Kompleks Makam Teungku Jakfar Raja Trumon Pertama di Keudee Trumon, Trumon Timur, Aceh Selatan 2 |
Pada acara
Seumuleueng Raja Poteumeureuhom Daya, Lamno, Aceh Jaya, Oktober 2013 lalu, saya
berjumpa dengan anak Raja Trumon, Teuku Raja Aceh, dan Teuku Raja Nasruddin,SE yang
merupakan keturunan utusan Sultan Samudera Pasai di masa akhir kekuasaan
kerajaan tua tersebut. Mereka mengajak saya melihat-lihat peninggalan sejarah
di bekas kerajaan di tanah Hamzah Fansuri tersebut.
Teungku Syekh Pinto Rimba dan Pendiri Kerajaan
Trumon
Imam besar
mesjid di Pinto Rimba, Trumon Timur, Aceh Selatan adalah Teungku Zainun bin
Salam bin Saman bin Ibrahim bin Teungku Cut bin Teungku Di Pase bin Teungku
Ibrahim Tapa.
Teungku Di Pase inilah yang menemukan pinto rimba (pintu masuk hutan belantara). Ketika itu ia
mencari-cari ayahnya Teungku Ibrahim Tapa yang menghilang bersama rumah dan
kebunnya sehingga bekas tempat yang terangkat itu disebut Paya Teureubang oleh
penduduk. Paya Teureubang kini menjadi sebuah nama tempat di bagian tengah Aceh
Utara.
Saat itu sebagian
besar wilayah Trumon dan sekitarnya merupakan hutan belantara yang tidak dapat
dilalui manusia sampai Teungku Di Pase menemukan pohon karet kembar yang
menjadi celah memasuki belantara raya tersebut. Ia disebut Teungku Di Pase
sekaligus Teungku Chik Pinto Rimba.
Makam ulama di dekat mesjid Pusaka, Susoh, Aceh Barat Daya |
Saya teringat
kembali riwayat dari almarhum Teuku Nurdin, cucu Teungku Chik di Paloh, yang
mengatakan bahwa saudara pemimpin bagian wilayah meukutop di pantai Utara
tersebut adalah Teungku Chik Pinto Rimba.
Kini jelaslah
bahwa yang dimaksud oleh Teuku Nurdin adalah saudara ipar bukan saudara kandung
karena isteri Teungku Chik di Paloh adalah anak perempuan dari Teungku Ibrahim
Tapa (yang bertapa di Gunong Geureudong). Teungku Zainun mengaku bahwa
kerabat-kerabatnya masih seperti indatu dahulu, mereka masih menjadi pemuka
agama di wilayah tersebut.
Kami menjumpai Teuku
Nasruddin,SE di Blang Pidie. Setelah melihat-lihat situs sejarah di sana, kami
menuju Susoh, tempat Teungku Jakfar menetap dan mengembangkan Islam beberapa
waktu, sebelum ia ke Singkil, lalu ke Trumon mendirikan kerajaan.
Ada sebuah mesjid
zaman di sana. Masyarakat menyebutnya mesjid pusaka yang dibangun oleh Teungku Di
Susoh atau Teungku Jakfar atau Tengku Singkel yang kemudian menjadi Raja Trumon
pertama. Setelah mencari-cari beberapa makam, data yang ada mengarah pada
kesimpulan bahwa Toh Susoh yang merupakan anggota persaudaraan Teungku Chik Di
Paloh adalah Teungku Jakfar sendiri. Kalau bukan Teungku Jakfar, maka Toh Susoh
adalah gurunya. Sementara Teungku Chik Pinto Rimba boleh jadi sahabat sekaligus
gurunya.
Mitos Teuku Malem Diwa, Sungai Pinang, dan Putroe
Aloh
Kami juga
mengunjungi tempat pemandian Putroe Aloh, yang disebut dalam legenda atau Teuku
Malem Diwa. Kami hanya sampai di pemandian Sungai Pinang, yang menurut legenda
tadi, sungai itu tercipta ketika batang pinang milik Putroe Aloh rebah saat
dipanjati oleh Teuku Malem untuk memetik buahnya yang terbuat dari emas sebagai
mahar menikahi Putroe Aloh agar diberikan burak supaya ia bisa terbang kembali
ke Negeri Antara menemui Putroe Bunsu. Itu legenda, Teuku Malem Diwa dari Samudera
Pasai, dan bukti tempat legenda itu ada di sini.
Benar tidaknya
legenda Teuku Malem Diwa, di sana kami menemukan makam Teungku Pase, utusan
Sultan Samudera Pasai di masa akhir kekuasaan kerajaan tua tersebut. Ini
mengingatkan saya pada kata-kata Abu Taqiyuddin peneliti warisan kerajaan
Samudera Pasai di CISAH (Central Information for Samudera Pasai Heritage).
Ketika itu saya
menemani Dr Mehmet Ozay peneliti dari Turki, dan Nia Deliana peneliti sejarah untuk
mengunjungi Abu Taqiyuddin di kantor CISAH pada lebaran lalu. Abu Taqiyuddin yakin
bahwa hikayat Teuku Malem Diwa dikarang-karang oleh Rafles dari Inggris dan
Raja Ali Haji dari Riau untuk memasukkan pola hayalan Hindu dalam cerita Pasai
tanpa ciri Islam di dalamnya.
Thayeb Loh Angen, aktivis Kebudayaan di
Pusat Kebudayaan Aceh-Turki (PuKAT)