Mengakhiri Dikotomi Antara Ilmu Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah
Oleh Tgk. Mahfudh Muhammad, MA - Dosen STAI AL-Aziziyah Samalanga dan Guru
Dayah Darul Falah Al-Aziziyah Ulee Gle Pidie Jaya
PERADABAN
manusia terbentuk di atas fondasi ilmu. Semakin tinggi ilmu suatu bangsa, maka
semakin majulah peradabannya. Era keemasan suatu peradaban, selalu dihiasi
dengan tumbuh suburnya dunia ilmu pengetahuan. Sejarah telah mencatat bahwa
lahirnya karya-karya monumental para ulama dan intelektual dalam berbagai
disiplin ilmu adalah pada zaman keemasan Islam di bawah kekuasaan dinasti Bani
Umayyah dan Bani Abbasyiah pada abad pertengahan.
Merujuk
kepada tokoh-tokoh intelektual muslim klasik yang lahir pada era keemasan, maka
kita dapat mengklasifikasikan bahwa disiplin ilmu yang mereka geluti terbagi
menjadi dua jenjang (hierarki), yakni fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Ilmu
fardhu ‘ain lebih utama dari pada ilmu fardhu kifayah, karena ilmu fardhu ‘ain
berkaitan dengan hal-hal prinsip dalam agama yang berupa akidah, ibadah dan
akhlak, sedangkan ilmu fardhu kifayah berkaitan dengan alat (wasail) untuk
merealisasikan ilmu fardhu ‘ain dan juga memperbaiki kemaslahatan hidup manusia,
seperti ilmu logika, tata bahasa, kedokteran, matematika, astronomi, geologi
dan sebagainya.
Oleh
karenanya ilmu fardhu ‘ain wajib dituntut oleh setiap muslim, baik laki-laki
maupun perempuan. Adapun fardhu kifayah, cukup di dalami oleh seorang atau
sekelompok orang saja dalam suatu wilayah, maka kaum muslimin lainnya akan
terlepas kewajibannya.
Ilmu fardhu ‘ain sering
disebut dengan ilmu agama dan ilmu fardhu kifayah disebut dengan ilmu umum. Konsep
hierarki ilmu ini telah dianut berabad-abad lamanya dalam dunia Islam. Al-Ghazali
dan al-Zarnuji adalah diantara para ulama yang mengalaborasi konsep ilmu fardhu
‘ain dan fardhu kifayah[1].
Namun, konsep hierarki ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah tersebut mulai
“digugat” oleh sebagian pakar pendidikan di zaman modern.
Menurut mereka,
Al-Zarnuji terkesan membatasi ilmu-ilmu yang berkembang dalam Islam untuk
dipelajari, ia mengutamakan ilmu Ushuluddin, khususnya ilmu tauhid, akhlak dan
fikih. Ia tidak menyebutkan keragaman ilmu yang sudah berkembang pesat pada
zamannya, kecuali ilmu kedokteran untuk kepentingan kesehatan dan ilmu nujum
untuk kepentingan penentuan arah kiblat dan waktu shalat.
Mungkin inilah dampak
dari dualisme ilmu pengetahuan atau mungkin salah pemahaman tentang konsep
pendidikan yang dikemukakan oleh imam Al-Ghazali yang berpendapat bahwa ilmu
itu terbagi dua, yaitu ilmu agama dan ilmu umum, yang dampak dari kesalahan
pemahaman itu kita umat Islam tertinggal dari bangsa Eropa yang mayoritas
beragama Kristen.[2]
Masalah
pengelompokan disiplin ilmu agama (al-ulum al-diniyyah atau religious
sciences) dengan ilmu-ilmu umum (general sciences), secara
implisit mengisyaratkan adanya dikotomi[3] ilmu
pengetahuan. Kondisi ini telah ada dan mapan sejak abad pertengahan sejarah
Islam hingga sekarang.
Untuk
tidak memperuncing dikotomisasi ilmu pengetahuan, dan akan lebih mengarah pada
integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, ilmu pengetahuan harus dipandang
setara kedudukannya, karena dalam Islam sendiripun tidak membedakan kedudukan
keduanya, keduanya wajib dipelajari dan islam tidak memandang ilmu-ilmu umum
lebih rendah secara hierarki dibanding ilmu agama.[4]
Dari
pemaparan di atas, terlihat bahwa ada suatu upaya dari sebagian pakar
pendidikan untuk mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum serta mencari dan
menguraikan penyebab munculnya dikotomi dalam kurikulum pendidikan Islam.
Hipotesis yang mereka ajukan mengarah kepada tataran epistimologis, yakni
klasifikasi dan hierarki ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah yang dilakukan
oleh ulama salaf, menjadi salah satu penyebab munculnya dikotomi ilmu dan
kemunduran umat Islam.
Dikotomi Ilmu dalam Perspektif Historis
Adalah fakta yang tak
terbantahkan, bahwa dikotomi dalam dunia pendidikan telah menimbulkan
kesenjangan antara ilmu agama dan ilmu umum. Banyak ahli agama yang tidak
memahami ilmu umum dan banyak ahli ilmu umum yang buta agama. Hal ini menimbulkan
kepincangan yang melemahkan kekuatan Islam. Umat Islam semakin terkotak-kotak
dalam komunitas yang sempit.
Untuk mencari penyebab
dikotomi tersebut, maka kita harus membuka kembali lembaran sejarah, bahwa
dunia muslim pernah dijajah oleh Barat selama berabad-abad lamanya. Barulah
pada pertengahan abad ke 20, dunia muslim sudah mulai keluar dari belenggu
penjajahan. Namun, kemerdekaan dunia muslim dari penjajahan Barat hanya
bersifat politis semata.
Sebab bidang-bidang
lain, seperti ekonomi, budaya, sosial, teknologi dan termasuk sistem
pendidikan, penjajahan masih tetap berlangsung dan dianut oleh bangsa muslim
kebanyakan. Sehingga ketergantungan di bidang pendidikan, yang disadari sebagai
faktor terpenting dalam membina umat, hampir tidak dapat dihindarkan dari
pengaruh Barat. Ujungnya, krisis identitas tidak dapat dihindarkan melanda umat
muslim
Zaki Badawi, yang
disitir Ziauddin Sardar, mengatakan bahwa salah satu penyebab dikotomi sistem
pendidikan Islam adalah diterimanya budaya Barat secara total bersama dengan
adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya. Sebab, mereka yang menganut pandangan
tersebut berkeyakinan, kemajuanlah yang penting, bukan agama. Oleh karenanya,
kajian agama dibatasi bidangnya.
Agama hanya
membicarakan hubungan individu dengan Tuhannya, lainnya bukan urusan agama.[5] Menurut
Dr. Mochtar Naim, dualisme maupun dikotomi dari sistem pendidikan kita, yaitu
pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama pada pihak yang lain adalah
warisan dari zaman kolonial Belanda karena anak-anak yang bisa masuk ke sekolah
Belanda sebelum kemerdekaan hanya 6 % dan terbatas pada anak-anak kaum
bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih madrasah atau pondok
pesantren dan surau yang memang sudah ada sebelum muncul sekolah-sekolah yang
didirikan kolonial Belanda.[6]
Umat Islam di masa lalu -yang notabenenya meyakini konsep
hierarki ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah- justru memiliki tradisi
penelitian yang kuat dan melahirkan berbagai macam ilmu agama dan ilmu
pengetahuan umum dengan berbagai cabangnya.
Tradisi penelitian tersebut antara lain penelitian al-bayani/al-ijtihadi
yang menghasilkan ilmu-ilmu agama, al-burhani yang menghasilkan ilmu
pengetahuan alam (sains), al-jadali yang menghasilkan filsafat dan
humaniora, al-istiqrai yang menghasilkan ilmu-ilmu social, dan al-irfani
yang menghasilkan ilmu tasawuf.[7]
Tradisi penelitian Islam yang demikian itulah yang telah
melahirkan sejumlah tokoh ulama yang bertaraf internasional, seperti
al-Ghazali, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Khaldun dan lain sebagainya.
Demikian halnya dengan ulama nusantara tempo doeloe juga memiliki peranan
intelektual yang mendunia, seperti syaikh Nawawi al-Banteni (pengarang kitab Muraqi
‘Ubudiyyah syarh Bidayah al-Hidayah dan pengajar di Masjidil Haram), syaikh
Ahmad Khathib al-Minangkabawi (pengarang kitab Nufahat syarh al- Waraqat dan
pengajar di Masjidil Haram) syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jempesi al-Kediri
(pengarang kitab Siraj al-Thalibin syarh Minhaj al-‘Abidin).
Semua kitab tersebut sampai sekarang masih popular dalam
dunia pesantren, bahkan kitab Siraj al-Thalibin termasuk kitab tasawuf terkenal
yang dipakai dalam kurikulum universitas al-Azhar Mesir.
Fakta-fakta historis di atas menunjukkan bahwa hierarki ilmu
fardhu ‘ain dan fardhu kifayah bukanlah penyebab dikotomi ilmu dan kemunduran
Islam. Tetapi penjajahan yang melanda dunia Islamlah yang menjadi faktor utama
kemunculan dikotomi ilmu. Hak-hak umat muslim untuk mengembangkan Sumber Daya
Manusia (SDM)nya semakin dipersempit. Sumber Daya Alam (SDA) negara-negara
Islam semakin digerus secara paksa oleh penjajah. Umat muslim secara terpaksa
hanya berkecimpung dalam ilmu-ilmu agama. Akibatnya, ilmu-ilmu umum, seperti
kedokteran, teknologi dan sebagainya semakin jauh dari nilai-nilai agama.
Dikotomi
Ilmu dalam Perspektif Maqashid al-Syari’ah
Dikotomi ilmu fardhu
‘ain dan fardhu kifayah, sangat bertentangan dengan semangat maqashid
al-syari’ah yang menjunjung tinggi konsep integratif antara mashlahah
dunyawiyyah (kebahagiaan dunia) dan mashlahah ukhrawiyyah (kebahagiaan
akhirat).[8] Tujuan
utama dari ilmu fardhu ‘ain adalah untuk meraih kebahagiaan akhirat, sedangkan
ilmu fardhu kifayah adalah untuk meraih kebahagiaan dunia sekaligus sebagai wasail
bagi kebahagiaan akhirat. Oleh karenanya umat muslim harus menuntut kedua
ilmu tersebut sesuai dengan hierarki yang proporsional.
Hierarki ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah adalah suatu
keniscayaan yang sesuai dengan konsep maqashid al-syari’ah yang
mengedepankan skala prioritas antara mashlahah dharuriyyah (kebutuhan
primer), mashlahah hajiyyah (kebutuhan sekunder) dan mashlahah
tahsiniyyah (kebutuhan tersier).[9]. Ilmu fardhu ‘ain tergolong ke dalam mashlahah
dharuriyyah (kebutuhan primer) dan ilmu fardhu kifayah tergolong ke dalam mashlahah
hajiyyah (kebutuhan sekunder).
Hal ini sesuai dengan pendapat
al-Zarnuji yang mengatakan bahwa ilmu
fardhu ‘ain adalah seperti makanan dan ilmu fardhu kifayah adalah seperti obat.[10] Orang
yang hanya makan semata, namun tidak minum obat ketika sakit adalah tidak
rasional. Orang yang hanya minum obat saja tanpa makan sedikitpun adalah lebih
tidak rasional lagi.
Dayah
dan Kuliah; antara Dikotomi dan Integrasi Ilmu
Realitas dewasa ini memperlihatkan bahwa mayoritas umat
Islam lebih mengutamakan fardhu kifayah dari pada fardhu ‘ain. Para pelajar
berbondong-bondong memilih kuliah di fakultas kedokteran, ekonomi, teknik dan
sebagainya dengan harapan suatu saat kelak akan mudah mendapatkan lapangan
kerja yang mapan dan “basah”.
Keprihatinan kita semakin “menggunung”, ketika mengetahui
bahwa mereka tidak memilki ilmu fardhu ‘ain yang memadai, bahkan ada yang belum
bisa baca Al-Qur’an. Di sisi lain, para pelajar yang menuntut ilmu fardhu ‘ain
di lembaga pendidikan dayah di anggap semakin ketinggalan zaman oleh banyak
pihak, karena tidak menguasai ilmu fardhu kifayah yang terus berkembang.
Bahkan, sebagian akademisi secara ekstrem menggugat dan
mengkritisi eksistensi dayah tradisional -yang menurut mereka- tidak mampu
merespon perkembangan zaman, sehingga harus diubah statusnya dari tradisional
menjadi terpadu dengan memasukkan kurikulum umum ke dalamnya. Pada titik ini, terjadilah
pro dan kontra yang memunculkan psy war (perang urat saraf) yang kadang-kadang
dapat memperkeruh ukhuwah Islamiyah.
Oleh karena itu, sebagian pakar pendidikan menawarkan konsep
integrasi ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah
untuk meminimalisir terjadinya dikotomi ilmu. Dalam beberapa dekade terakhir, konsep
integrasi ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah
tersebut telah diterapkan dalam beberapa lembaga pendidikan. Munculnya
pesantren terpadu dengan system boarding school merupakan salah satu usaha menuju ke
arah integrasi ilmu.. Namun, implementasinya belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan.
Banyak pesantren terpadu yang
mengajarkan ilmu agama dari kitab kuning hanya 30 % saja, selebihnya adalah
ilmu umum dan penguatan muhadatsah dalam bahasa arab dan bahasa inggris,
sehingga ulama-ulama yang berbasis kitab kuning jarang muncul dari pesantren
terpadu.
Menurut penulis, keberadaan pesantren tradisional perlu
dilestarikan dan dipertahankan sebagai sebuah lembaga yang takhashshush
(spesialis) mengkaji ilmu agama dari kitab kuning. Bukankah dalam ilmu umumpun
terdapat jenjang spesialisasi ilmu, seperti doctor teknik mesin, doctor bahasa
inggris, dokter spesialis jantung dan sebagainya.
Lalu, mengapa spesialis kitab kuning yang tidak bisa
berbicara bahasa inggris semakin “dimarginalkan”? Mengapa spesialis bahasa
inggris yang kadang-kadang tidak tahu cara bersuci itu semakin “ditokohkan”?.
Di sinilah letak ketimpangan peran pemerintah selama ini. Pemerintah lebih
banyak berusaha agar santri dayah bisa menguasai ilmu umum dengan memasukkan
pelajaran Bahasa Inggris, Matematika dan sebagainya ke dalam lingkungan dayah.
Mengapa pemerintah tidak berusaha memasukkan kurikulum dayah dalam fakultas
kedokteran misalnya, agar lahir para dokter yang memahami syari’at Islam?.
Pelestarian pesantren tradisional tidak bermakna bahwa dunia
pesantren menutup mata sama sekali terhadap perkembangan ilmu dan teknologi
modern. Adopsi ilmu dan teknologi dalam system pembelajaran pesantren
tradisional justru akan memperkuat kualitas dan kapasitas keilmuan seorang
santri, seperti penggunaan al-Maktabah al-Syamilah yang semakin popular dalam
beberapa tahun terakhir.
Tampaknya, system terpadu yang dianut oleh dayah MUDI MESRA
dengan STAI AL-Aziziyah Samalanga adalah konsep yang perlu ditelaah dan
dikembangkan lebih lanjut. Ilmu kitab kuning tetap diajarkan secara full 100 %
bagi santri yang mondok, sedang kuliah hanya sebagai media untuk merespon
perkembangan zaman.
Di sisi lain, pemerintah mesti mewajibkan para pelajar agar
mendalami ilmu fardhu ‘ain yang bersumber dari kitab kuning selama minimal 6
tahun (SLTP/MTs 3 tahun dan SMU/MA 3
tahun) dengan mengasramakan mereka pada dayah tertentu. Selama 6 tahun,
diharapkan mereka dapat menamatkan kitab I’anah al-Thalibin beserta ilmu-ilmu
alat yang sederajat. Selanjutnya, mereka bisa memutuskan sendiri untuk tetap
tinggal di dayah atau melanjutkan ke perguruan tinggi.
Bila mereka memilih menetap di dayah, maka ini suatu hal
yang positif, karena akan mempermudah jalan menjadi seorang ulama dayah tulen,
penerus abu-abu di masa yang akan datang. Namun bila mereka memutuskan ke
perguruan tinggi, ini juga hal positif karena akan membuka peluang untuk
menjadi ahli ilmu fardhu kifayah yang berbasis fardhu ‘ain yang bersumber dari
kitab kuning. Suatu saat kelak, akan berjumpalah ulama dan umara yang keduanya
sama-sama alumni dayah.
Mereka akan sama-sama berkolaborasi membangun bangsa dan umat
yang akhlaknya semakin terdegradasi. Apabila konsep ini dapat direalisasikan,
insya Allah peradaban umat Islam yang berbasiskan syari’at Islam kaffah akan
semakin “membumi”, tidak “melangit” atau tekatung-katung antara “langit dan
bumi”. Wallahu a’alam bishshawab
[1] Lihat Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din,
juz 1, (Indonesia: al-Haramain, t.t), h. 14-17, Al-Zarnuji, Ta’lim
al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum, (Indonesia: al-Haramain, t.t) h. 4-8
[2] Saifullah, Nalar Pendidikan Islam, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 192-193.
[3] Dikotomi adalah pembagian antara dua kelompok yang saling
bertentangan. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), h. 328.
[4] Abudin Nata, dkk, Integrasi Ilmu
Agama dan umum, (Jakarta: Raja Grofindo Persada, 2005), h. 114-116.
[5] Ikhrom, Dikotomi Sistem Pendidikan
Islam, dalam Abdurrachman Mas’ud, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), h. 79.
[6] Marwan Saridjo, Bunga Rampai
Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Amissco, 1996), h. 22
[7] Mulyadhi Kartanegara , Reaktualisasi
Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), cet 1, h. 54-70,
dalam Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran (Jakarta:
Prenada Media Group, 2009), h. 19.
[8] ‘Izz al-Dīn Ibn ‘Abd al-Salām, Qawāid
al-Ahkām fi Mashālih al-Anām, juz 1, (Beirut: Dār al-Ma’ārif,
t.t), h. 308.
[10] Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim…h.
8.