“Banyak Jalan” Menuju Tuhan?
Foto: Syah Reza |
Oleh Syah Reza*
Judul tulisan ini sering dijadikan slogan oleh kalangan yang mendukung
pluralism agama yang meyakini semua agama menuju Tuhan yang sama. Kedengarannya
aneh memang dipendengaran kita, namun tak dapat dielak fenomena ini sudah
menjalar bukan hanya dalam pikiran kaum muslim tapi juga telah menyentuh ruang
praktis masyarakat.
Mungkin
di Aceh, pandangan “kesatuan semua agama” (trancendent unity of religion)
ini belum tampak dipermukaan, namun bukan hal yang mustahil jika kemudian
doktrin ini perlahan akan mempengaruhi pola pikir bahkan pengamalan masyarakat.
Persoalan Ini adalah salah satu masalah serius yang dihadapi umat Islam. Perlu
perhatian baik oleh semua pihak yang memiliki otoritas di bidangnya, terutama
instansi pendidikan dan pemerintah.
Membicarakan
masalah di atas tentu membutuhkan diskusi dan kajian yang mendalam. Karena itu
disini penulis tidak membicarakan tentang “ilusi” kaum transendentalis yang secara
‘esoterik’ menganggap setiap agama menuju pintu syurga masing-masing.
Tidak
juga menceritakan lelucon kaum pluralis yang atas nama toleransi dengan mudah
mengakui jalan kebenaran ada pada agama lain. Tetapi, disini hanya fokus
membahas orang-orang yang dijanjikan Allah akan mendapat balasan syurga-Nya.
Mereka memanfaatkan dunia tetapi tujuan mengharap kebahagiaan abadi di
akhirat. Inilah mereka para “pencari Tuhan” sejati. Pertanyaannya,
siapakah mereka?
Para “Pencari Tuhan”
Syekh
Muhammad Amin Al-Kurdi, dalam Tanwir al-Qulub menjelaskan ada enam
golongan para pencari Tuhan yang mengejar kebahagian di kehidupan akhirat.
Pertama, ‘abid yaitu orang yang senantiasa beribadah kepada Allah dan
tidak ada kesibukan selainnya.
Tidak
ada waktu yang luput baginya kecuali beribadah dan berzikir baik siang dan
malam. Rasulullah Saw. menyebutkan golongan ini dengan sebutan “taman syurga”,
sebagaimana dalam hadist, “apabila engkau melewati taman syurga maka
mengembalalah kamu”. Dikatakan, “Ya Rasulullah, apa taman syurga itu?” Jawab
beliau, “perkumpulan zikir.” (HR. Tirmidzi).
Seorang ‘abid
memiliki kedekatan khusus dengan Allah yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Golongan ini tidak terkenal dikalangan manusia bahwa ia seorang ahli ibadah.
Penampilannya sederhana, tidak sebaik orang kantoran maupun pejabat. Jika ia
mencari penghidupan maka itu hanya untuk kebutuhan ibadahnya.
Imam
Al-Ghazali dalam ihya ‘ulumuddin menyebutkan golongan ini sebagai khawashul
khawash, yaitu orang-orang yang berada pada tingkatan ihsan, yaitu
ia beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, apabila tidak melihatNya
maka ia yakin bahwa Allah melihat-Nya. Tidak ada orientasi lain dalam hidupnya
kecuali mencari ridha Allah.
Kedua, ‘alim
yaitu orang yang memberi ilmu bermanfaat kepada orang lain baik berbentuk
mengajar, berfatwa, menelaah, menulis, berdakwah maupun lain yang terkait
dengannya. Jika seluruh kesibukannya hanya untuk itu dengan tujuan mengajarkan
ilmu untuk mendapat pertolongan Allah di akhirat, maka hal itu lebih utama
baginya daripada yang lainnya. Cukup dengan shalat lima waktu dan sunnah
rawatib. Karena aktivitas mengajarkan ilmu juga merupakan ibadah
baginya.
Ilmu
yang diajarkan ialah ilmu yang bermanfaat yang dibutuhkan masyarakat untuk
kehidupan akhirat, mendorong mereka untuk dekat kepada Allah dan menolong
mereka untuk meniti jalan ke akhirat. Bukan ilmu yang menambah rasa senang
terhadap harta, popularitas, jabatan, dan pujian manusia.
Golongan
ketiga, muta’allim ialah orang yang menuntut ilmu yang mengharap
balasan pahala dari Allah di akhirat. Kesibukan belajar baginya lebih utama
daripada sibuk berzikir. Tidak perlu baginya untuk mengasingkan dirinya dengan
berzikir setiap hari. Sebab belajar itu akan menolong dirinya meniti jalan
menuju Allah, jika Allah menghendaki. Bahkan, jika ia adalah seorang
awam, maka hadir di majlis ilmu lebih utama baginya daripada sibuk wirid dan
dzikir.
Umar bin
Khattab r.a pernah mengatakan, "sesungguhnya seorang laki-laki keluar dari
rumahnya, dia mempunyai dosa yang besar laksana gunung Tihamah. Apabila ia
mendengar penjelasan orang alim, lalu ia merasa takut dan meninggalkan
pekerjaan dosanya (bertaubat), kemudian ia berkumpul di majlis ulama, maka ia
pulang ke rumahnya dengan tanpa dosa sedikitpun. Karena itu janganlah kamu
memisahkan diri dari majlis ulama. Sebab Allah tidak menciptakan di atas bumi
ini tempat yang lebih mulia selain majlis ilmu.”
Keempat,
muhtarif yaitu orang yang bekerja untuk menafkahi keluarganya. Ia tidak
tidak menyia-nyiakan keluarganya dengan menghabiskan waktunya untuk beribadah.
Sebaliknya, wirid dan zikirnya adalah diwaktu ia bekerja. Dimanapun bekerja
(halal) baik pegawai di kantor, pedagang, petani, maupun nelayan, tidak membuat
hatinya luput dari mengingat Allah. Hatinya senatiasa bertasbih, berzikir dan
membaca al-Qur’an. Ketika selesai bekerja menghasilkan nafkah yang cukup maka
ia kembali beribadah.
Golongan
kelima, Waly yaitu pemimpin, seperti imam dan qadhi dan setiap orang
yang memperhatikan urusan kemaslahatan kaum muslimin, melayani kepentingan umum
sesuai dengan tuntutan syara’. Mereka menangani hal itu dengan ikhlas
dan adil. Tidak korupsi dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
agama.
Kewajibannya
ialah memenuhi hak-hak manusia pada waktu siang. Shalat lima waktu dan sunnah
rawatib cukup baginya. Sedang malamnya tetap beribadah kepada Allah. Sekalipun
kewajiban tersebut mudah dikerjakan, tapi mencari pemimpin muslim seperti ini,
sangat langka.
Keenam
yaitu orang-orang yang mendalam ketauhidannya(muwahhid), yakni orang yang
tenggelam dalam kesatuan dengan Allah. Kesatuan yang dimaksud disini buka
menyatu dengan Dzat Allah yang umumnya sering disalahpahami, tetapi hadirnya
hati bersama Allah dalam seluruh keadaan. Dirinya hanya cinta kepada Allah dan
tidak takut kepada selainNya, tidak berharap rezeki kepada selainNya.
Menurut
Syekh Amin Al-Kurdi, barangsiapa yang sudah mencapai tingkatan ini maka tidak
perlu baginya bermacam-macam wirid. Cukup dengan shalat lima waktu dan sunnah
rawatib, karena hatinya sudah menyatu dalam mengingat Allah. Tidak terbersit
susuatu apapun di dalam hatinya. Di telinganya tidak ada sesuatu yang
mengetuk.
Di
matanya tidak ada sesuatu yang tampak, kecuali apa yang dilihatnya itu hanya
mengambil pelajaran (‘ibrah) dan hikmah mengembalikan semua itu hanya
kepada Allah. Inilah puncak derajat orang-orang yang benar (ash-shiddiqin).
Untuk mencapai tingkatan ini harus melalui ibadah yang kuat, zikir yang
teratur, terus menerus dan berkesinambungan dengan arahan seorang mursyid
(guru dalam spiritual).
Hanya dengan Jalan Islam
Itulah golongan-golongan sejati yang
dikategorikan sebagai orang yang menempuh jalan menuju Allah. Perbedaan jalan
tersebut hanya dalam bentuk tariqah sedang pada prinsip tetap berpegang
pada aqidah yang benar sesuai dengan Islam dan yang diajarkan Rasulullah
Saw.
Tidak ada jalan lain menuju Allah kecuali jalan
Islam dengan mengamalkan syariat dan tidak menyeleweng dari perintah-Nya. Hal
ini sesuai dengan firman Allah, “Dan barang siapa yang mencari agama selain
Islam maka tidak akan pernah diterima darinya dan di akhirat nanti dia akan
termasuk orang-orang yang merugi.”(QS. Ali ‘Imran: 85).
Penulis adalah Peneliti di Lembaga Studi
Peradaban Islam (AFSIC). Mahasiswa Pascasarjana asal Aceh di Darussalam
University - Gontor Ponorogo. Email: reza.aceh@ymail.com. Hp. 085260933244