Wartawan yang Baik Harus Atheis?
DALAM perjalanan hidup saya menekuni dunia jurnalistik
sejak 1989, saya kerap menemukan rekan-rekan seprofesi yang melepaskan
‘atribut’ agamanya agar bisa menjadi wartawan yang baik. Bahkan ada yang
terang-terangan (sempat) mengaku dirinya Atheis, meski secara garis keturunan
dirinya adalah Muslim.
Di antara mereka, ada yang berpendapat bahwa untuk
melahirkan karya jurnalistik yang baik, wartawan memang dituntut menanggalkan
atribut agamanya. Bila perlu, dalam menggali dan menulis sebuah berita,
wartawan harus mengabaikan keimanannya, sehingga informasi yang disampaikan
benar-benar objektif dan fair. Lebih-lebih dalam membuat berita seputar
persoalan akidah—seperti tentang ajaran sesat dan misionaris.
Di lain waktu, saya juga sempat menemukan rekan wartawan
yang mengklaim dirinya beragama jurnalisme—walau mereka tahu secara harfiah
jurnalisme bukanlah sebuah agama. Alasannya, untuk menjadi wartawan yang baik
memang harus mengabdikan (menghambakan) diri sepenuhnya pada tugas-tugas
jurnalistik.
Mereka berpendapat, dengan menjadi wartawan yang baik
maka akan baik pula seluruh aspek individu wartawan tersebut. Intinya: bila
jurnalisme sudah membuat seseorang menjadi baik, untuk apa menganut agama
(lain) karena semua agama bertujuan mengantarkan seseorang—manusia—menjadi baik
atau pada kebaikan.
Benarkah kedua persepsi ini? Tentu bukan kapasitas saya
untuk menjawabnya. Namun, selaku pribadi Muslim, saya menganggap pemahaman mereka sebuah keteledoran dalam
memaknai hidup.
Untuk menjawab persepsi pertama, kita bisa mengutip
pemikiran Direktur Institut Jurnalistik Attaqwa Dr Adian Husaini. Menurut dia,
seseorang bisa menjadi Muslim sekaligus wartawan yang baik pada saat bersamaan.
“Artinya, untuk menjadi wartawan yang baik tidak perlu menjadi kafir atau
Atheis,” kata Adian.
Dikatakannya, orang yang melepas keimanannya itu jelas
dihukumi kafir, walau sesaat. “Cara pandang netral agama dalam memandang
berbagai masalah kehidupan adalah tradisi lokal Barat yang terbentuk akibat proses
sejarah yang traumatik terhadap agama (Kristen),” kata Adian seperti dilansir
hidayatullah.com.
Karena itu, wartawan yang Muslim tidak perlu terjebak
dalam pemahaman semacam itu. “Seorang tidak mungkin netral dalam arti
sebenarnya. Dia pasti berpihak. Misalnya wartawan dengan identitas Muslim pasti
tidak memihak koruptor, pembunuh, perampok, pezina, dan penganjur kemunafikan,”
sebut Adian.
Persepsi kedua tentu tak jauh beda dengan persepsi
pertama. Karena jurnalisme bukanlah sebuah agama, maka yang mengaku beragama
jurnalisme sama dengan Atheis. Intinya, persoalan beragama tidak sebatas
baik-buruk (sifat, watak, prilaku) seseorang sebagaimana pemahaman mereka.
Islam, misalnya. Agama yang saya anut ini mengatur segala
aspek kehidupan. Tidak saja sesama makhluk, tapi juga mengatur hubungan makhluk
dengan Tuhannya (Allah swt). Sehingga, dengan menganut Islam secara taat, maka
apapun aktivitas kita di muka bumi akan menjadi baik.
Dalam konteks kewartawanan, bila kita beriman dengan
sebenarnya kepada Allah dan menjalankan kode etik jurnalistik secara benar,
maka kita akan menjadi wartawan yang baik. Ini menurut saya, menurut Anda? (Ariadi B Jangka )
Sumber: http://ariadijangka.blogspot.com/2013/12/wartawan-yang-baik-harus-atheis.html#.UrOthSdeQxV