KHAZANAH MANUSKRIP WARISAN ULAMA ACEH
Oleh:
Hermansyah, MA.Hum
Filolog
Aceh dan Dosen Kajian Naskah pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry,
Banda Aceh
Naskah Kuno Karya Ulama Aceh koleksi Tarmizi A.Hamid (Foto Irfan M.Nur) |
PADA
dasarnya, warisan yang sangat berharga bagi lembaga pendidikan agama (dayah) di
Aceh adalah manuskrip (naskah klasik). Tulisan-tulisan tangan di kertas
karangan alim ulama dan cendekiawan Aceh dahulu tidak dapat dipisahkan dari
ranah dayah dan pesantren. Tradisi penulisan dan penyalinan merupakan aktifitas
utama bagi Teungku dan para santrinya.
Namun sayang, saban hari “kajian manuskrip” di dunia
pendidikan agama semakin jauh dari esensinya.
Padahal,
sejarah membuktikan bahwa ciri khas paling menonjol pada periode keemasan Aceh
adanya sikap saling rekonsiliasi dan pendekatan (rapproachement) antara
para ulama yang berorientasi pada syariat dan para sufi (tasawuf) yang lebih
mengutamakan ajaran esoteris. Semangat rekonsiliasi periode tersebut merupakan
perkembangan keagamaan baru yang sangat signifikan dalam perkembangan Islam di
Aceh. Semangat ini kemudian menemukan momentum puncaknya ketika para alim ulama
masuk ke dalam tarekat. Semangat dimulai dari dayah di Aceh dan tercermin dari
karya-karya tulis ulama yang ada periode keemasan Aceh dan setelahnya, yang
didukung penuh oleh kesultanan (pemerintah) Aceh.
Dua
klasifikasi manuskrip
Dalam
perkembangan pernaskahan di Aceh, manuskrip Aceh dapat diklasifikasi pada dua aspek;
Pertama manuskrip karya ulama Aceh, dan Kedua manuskrip yang
berbahasa Aceh. Tipologi pertama berada pada periode lebih awal abad ke-17 M,
bertahan hingga periode kolonial Belanda diakhir abad ke-19 M. Mayoritas
ulama-ulama Aceh merupakan tokoh penting di masyarakat dan bahkan sebagian
mereka adalah pemimpin dayah, aktif menulis karya-karya intelektual sebagai
pegangan hidup masyarakat saat itu. Korelasi antar ilmu dianggap satu bagian
utuh antara satu dengan lainnya, seperti; fiqh, tauhid, tasawuf, bahasa,
tatabahasa (nahwu-sharf), falak, astrologi, ilmu al-Qur’an, Hadist dan ulumul
Hadist, akhlak (adab), dan ilmu lainnya membidangi aspek sosial dan keagamaan.
Salah
satu ulama yang dikagumi di Nusantara dan pemimpin zawiyah Menara Kuala Aceh,
Syekh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri di periode Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam
(1641-1675 M) dan empat sultanah setelahnya, dapat dikatakan bahwa ia ulama
paling produktif menulis dalam berbagai perspektif ilmu. Di awal kehadirannya
di Aceh pasca kembali di Haramaian, ia dibekali dua asisten utama yang mahir
dalam penulisan bahasa Jawi, keduanya asisten tersebut adalah utusan Sultanah
Safiyatuddin dan tokoh penting di dalam keraton Istana Sultan, salah satunya,
Syekh Baba Daud ar-Rumi, ulama yang memiliki silsilah keturunan Kesultanan Rum,
Turki.
Karya
Hamzah Fansuri menjadi pondasi kuat dalam eksistensi keilmuan dan keagamaan di
Aceh, dari karya ulama dayah ini lahir kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid,
kitab tafsir pertama dan satu-satunya berbahasa Jawi di Nusantara. Bila
ditelaah dari sudut kepentingan tampaknya inisiatif penyusunan tafsir dari
Syekh Abdurrauf sendiri. Alasannya, beberapa kitab “pesanan” sultanah umumnya
bersifat “praktis”. Misalnya Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkamis
Syar’iyyah dan Kifayat al-Muhtadin,
yang dalam batas-batas tertentu, agaknya memang digunakan untuk merespon
kebutuhan-kebutuhan dan aktualitas yang sedang menggejala waktu itu.
Selain
itu, dari tangan Syekh Baba Daud bin Ismail bin Agha ar-Rumi juga lahir sebuah karya
kitab dasar pembelajaran Islam yang simpel dan mudah, Masailal Muhtadi lil
Ikhwani Mubtadi, sehingga dapat dipelajari di seluruh lembaga pendidikan
agama di wilayah Melayu Nusantara, digunakan di seluruh wilayah Islam di Asia
Tenggara, seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Mindanao Filipina, Patani
Thailand Selatan, seluruhnya merujuk pada sistem pembelajaran di Aceh.
Periode
berikutnya dikenal “Kitab Lapan” merupakan salah satu bacaan wajib di jenjang
dayah salafiyah di Aceh. Kitab yang diberi nasa asli Jam’u Jawami’
al-Mushannafat disusun oleh Syekh Abdullah al-Asyi saat ia di Haramain dari
karya-karya delapan ulama Aceh sebelumnya, termasuk Muhammad Khatib Langgin.
Betapa agungnya delapan judul (tema) dalam kitab itu merupakan karangan
ulama-ulama Aceh yang sering dikaji dan dipelajari di Haramain, sehingga Syekh
Abdullah al-Asyi berinisiatif untuk menyusun dalam format baku, dicetak dengan aksara
teknologi mesin (komputer). Sayangnya hingga saat ini, penerbit kitab masyhur
tersebut tidak pernah lahir di Aceh, akan tetapi selain di Mesir, sebagai pusat
peradaban ilmu, juga dicetak di Semarang.
Kitab Bustanussalatin koleksi Tarmizi A.Hamid (Foto Irfan M.Nur) |
Aspek Kedua,
yaitu karya sastra berbahasa Aceh, meskipun telah muncul sejak abad ke-17 M,
namun perkembangannya baru menemukan momentumnya pada abad ke-18 M.
Perkembangan tersebut semakin pesat pada abad ke-19 M, seiring dengan semakin
surutnya peranan Aceh sebagai pusat kebudayaan Melayu. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya karya
sastra, umumnya berbentuk puisi dan ditulis dalam bahasa Aceh Jawoe (Aceh
bertulisan Arab), yang muncul dalam
periode ini, baik lisan maupun tulisan, catatan pentingnya pemeran utamanya
tetap ulama-ulama dayah. Sementara penulisan prosa dalam bahasa Aceh tidak
berkembang sebagaimana perkembangan bahasa Melayu, bahkan hingga sekarang.
Sangat sedikit karya prosa yang dapat ditemukan, di antaranya Sipheuet Dua
Ploh (Sifat Dua Puluh) dan Beukeumeunan (Kalau Demikian).
Dalam sastra Aceh berkembang tiga jenis puisi, yaitu
hikayat, nadham (nazam), dan pantun (panton). Pengertian
hikayat dalam sastra Aceh berbeda dengan hikayat dalam sastra Melayu. Dalam
sastra Melayu hikayat dimaknai sebagai prosa, sedangkan dalam sastra Aceh
hikayat selalu berbentuk puisi (prosa disebut haba). Hikayat, bagi orang
Aceh, tidak hanya berisi cerita fiksi (dongeng), legenda keagamaan belaka atau
suatu kejadian dalam sejarah, tetapi juga karya-karya bernilai pendidikan
moral, etika dan kitab-kitab pelajaran sederhana, asalkan ditulis dalam bentuk
syair (sanjak). Kisah yang berdiri sendiri atau berangkai dapat disebut
hikayat, sejauh dimungkinkan membawanya secara lisan di depan khalayak
penikmat.
Hermansyah |
Momen tersebut dimaksimalkan oleh para intelektual Aceh
untuk terus menyatukan ”wilayah Keacehan” yang tercabik oleh peperangan dengan
Belanda, dan munculkan ”sekterian” etnis dan geneologi yang membelah kesatuan
tersebut. Para alim ulama yang konsen di dayah atau lembaga pendidikan harus
menjadi komando di masyarakat. Peran mereka dalam merawat semangat hidup dan
patriotisme masyarakat berhasil dengan cara mengkonversi karya-karya sastra dan
keagamaan ke dalam bahasa Aceh, bahasa yang dianggap representatif untuk
menyatukan Aceh secara keseluruhan.
Karya sastra ulama Aceh
Dari tangan-tangan ulama dayah Aceh lahir beberapa karya
sastra berbahasa Aceh, dan dapat disebut murni karya mereka. Dalam bidang epos
perang, misalnya lahir naskah Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil) karya
Tgk Chik Muhammad Pante Kulu, menjadi sumber rasa solidaritas dan identitas
personal sebagai masyarakat Islam Aceh melawan musuh yang digolongkan sebagai
orang kafir.
Naskah lainnya dengan terma yang sama adalah Nasihat
Ureueng Muprang (Nasehat Pejuang Perang), karya Tgk Uri ibn Mahmud ibn
Jalaluddin ibn Abdussalam dikenal Nya’ Ahmad, berasal dari Cot Paleue, Pidie.
Ia mengarang risalah naskah itu sekitar bulan August 1894 M (Muharram 1312 AH)
yang terinspirasi dari naskah risalah Nasihat al-Muslimin (Nasehat bagi
Kaum Muslimin) karangan Abdussamad al-Palimbani (1116-1203 H/1704-1789 M) di
Mekkah.
Diperiode yang sama juga diperoleh karya Nazam Prang
Sabi, karangan Teungku Abdul Wahab ibn Muhammad Saleh (Teungku Chik Tanoh
Abee)(w. 1314 H/1896 M), yang mengisahkan tentang perang Badar, kepahlawanan,
dan penuntun doa berperang bagi panglima. Selain di Aceh Besar, Kitab Tadzkirat
al-Rakidin karya Syeikh Abbas ibn Muhammad yang masyhur dengan Tgk Chik
Kuta Karang (1307 H/1889 M) juga menjadi inspirator rakyat Aceh melawan Belanda
dan penindasan.
Transliterasi
Selain kitab sastra perang, ulama-ulama dayah berperan
dalam proses transliterasi bahasa Arab ke bahasa Aceh berbagai bidang, kitab Tanbihoy
Rapilin (Tanbih al-Ghafilin: Peringatan bagi Orang Lalai), karangan
Faqih Jalaluddin (Teungku di Lam Gut) merupakan terjemahan dari bahasa Arab
karya Abu al-Laits al-Samarqandi (w. 387 H). Demikian juga Menhajoy Abidin merupakan
terjemahan versi bahasa Aceh dari kitab Minhaj al-’Abidin karya Imam
al-Ghazali (w. 504 H/1111 M), yang diterjemahkan oleh Syeh Marhaban. Karyanya
juga Nazam Jawoe dan Hikayat Meunajat.
Sedangkan Hikayat Pocut Muhammad, karya Teungku
Lam Rukam, Hikayat Maleem Dagang, karangan Ismail ibn Ya’kub (terkenal
Teungku Chik Pantee Geulima). Hikayat Akeubaro Karim dan Aqidat al-Jawahir al-Mubarakah merupakan karangan
Teungku Chik Seumatang, Tanbeh Tujoh Blah karya Teungku Muda Teureubue, naskah Abda’u atau
dikenal juga Nazam Syeh Marduki, karya tersebut merupakan versi bahasa
Aceh dalam bentuk syair dari ’Aqidah al-‘Awwam (Akidah untuk Orang
Awam), karangan Abu al-Fauz al-Marzuqi.
Sumbangsih ulama dayah sangat jelas dalam pembentukan
karakter bangsa, selain mengajar dengan lisan di lembaga pendidikan dan
masyarakat, peran mereka dalam melahirkan (menulis) karya lebih penting dan
utama untuk pedoman dan kemaslahatan ummat sepanjang abad. Naskah-naskah karya mereka
sebagai obor yang kini jadi penerang setelah mereka tiada, dan secara tidak
langsung dayah merupakan sebagai pewaris khazanah utama dalam dunia pernaskahan (manuskrip), intelektual dan keagamaan.