“Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku”
“Bagimu
Agamamu, Bagiku Agamaku”
Oleh Teuku Zulkhairi
Setiap kali awal
tahun baru masehi, umat Islam selalu dihadapkan pada persoalan yang sangat
problematis. Satu sisi, mereka dihadapkan pada sebuah opini publik yang
tercipta bahwa umat Islam akan disebut tidak toleran jika mereka tidak
mengucapkan “selamat natal” kepada warga umat Kristiani.
Seolah, ucapan
“selamat natal” itu akan menjadi pertaruhan dan pembuktian toleran atau
tidaknya setiap muslim. Tidak terkecuali, umat Islam di Aceh yang terkenal sangat
toleran pun akan ikut-ikutan menerima tudingan intoleran.
Persoalan di sisi
lain, akidah Islam mengajarkan, bahwa perayaan Natal oleh umat Kristiani
merupakan rituan peribadatan mereka. Artinya, perayaan natal tersebut adalah
bagian fundamental dari agama dan akidah mereka.
Sementara bagi kita umat
Islam, kita diajarkan untuk tidak mencampur-adukkan akidah. Kita juga dilarang
untuk menutupi kebenaran dengan kebathilan sebagaimana ayat Allah Swt dalam
Alquran surat Al-Baqarah ayat 42 “Dan
janganlah kamu campuradukkan yang benar dengan yang batil dan kamu sembunyikan
kebenaran, padahal kamu mengetahui”.
Ilustrasi Kemajemukan Bangsa (sumber hmjip.undip.ac.id) |
Sebagian orang pasti
tahu bahwa ucapan “selamat natal” itu adalah bagian dari ibadah umat Kristiani
sehingga memberi resiko rusaknya akidah jika seorang Muslim mengucapkannya,
namun resiko ini ditutupi dengan logika bahwa ucapan tersebut adalah bagian
dari toleransi dalam beragama.
Dalam kondisi seperti
ini, sebagai seorang Muslim kita harus meyakinkan kepada dunia, bahwa tidak
mengucapkan ucapan tersebut tidaklah berarti kita tidak toleransi. Banyak jalan
untuk menjunjung sikap toleran. apalagi, sesungguhnya kita di Aceh telah sejak
lama membuktikan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang sangat menjunjung
tinggi toleransi.
Sementara itu,
perayaan tahun baru masehi juga demikian. Tahun baru umat sesungguhnya dihitung
berdasarkan anggapan atas tanggal wafatnya Yesus Kristus oleh umat Nasrani.
Sementara kita umat Islam, akidah Islam mengajarkan kita bahwa Yesus atau Nabi
Isa As belum wafat.
Semua mufassir sepakat bahwa Nabi Isa As tidak disalib
sehingga wafat, Nabi Isa As diangkat ke langit oleh Allah Swt dan akan kembali
ke dunia di akhir zaman untuk memperbaiki kembali tatanan dunia yang telah
rusak. Nabi Isa As akan menjadi salah satu pengikut Imam Mahdi, umat Nabi
Muhammad Saw.
Jadi, mengucapkan
“selamat natal” dan merayakan tahun baru adalah sesuatu yang tidak mendasar
dalam Islam, bahkan merupakan sesuatu yang justru berlawanan dengan akidah
Islam. Apalagi sampai merayakan tahun baru dengan pesta maksiat.
Terakhir, kita umat
Islam juga diajarkan untuk toleran dalam beragama, tapi toleransi itu memiliki
batas-batas dalam akidah. Maka kemudian, dalam kondisi seperti ini, mari kita
kembali mengingat sebuah ayat dalam Alquran ketika Allah mengajarkan Nabi
Muhammad Saw untuk teguh dalam Islam. Sebab (asbabun nuzul) ayat itu
diturunkan, karena kaum Kafir di Mekkah saat itu mengajak Nabi Muhammad Saw
untuk “toleran” dalam beragama dengan cara menggilirkan waktu dalam beribadah,
hari ini beribadah secara Islam dan besoknya beribadah dengan cara mereka kaum
kafir.
Sikap Nabi Muhammad
Saw saat itu adalah menolak ajakan tersebut. Penolakan ini setelah Nabi
Muhammad Saw menerima sebuah ayat yang diturunkan oleh Allah Swt melalui
Malaikat Jibril, “lakum dinukum waliyadiin”, bagimu agamamu dan bagiku
agamaku(Al-Kafiruun: 6).
Ayat ini secara tegas mengajarkan kepada kita untuk
loyal kepada Islam dan melepaskan diri (bara’) dari ajaran di luar
Islam(syirik). Tak perlu risau, banyak jalan bagi kita untuk membuktikan
sikap toleransi. Bersabar dan konsistenlah dalam beragama.