Tgk Muntasir Abdul Kadir: Perguruan Tinggi di Dayah Adalah Sebuah Kebutuhan
Kehadiran Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAI) Al-Aziziyah yang didirikan oleh Abu Hasanoel Basry pada tahun 2004 di
Dayah Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya (Mesra) Samalanga,
telah melahirkan pro dan kontra beberapa komponen komunitas dayah. Selain
mereka yang setuju atas kehadiran tersebut, ada juga sebagian lain yang yang
kontra.
Mereka yang kontra
berpandangan Sekolah Tinggi di dayah akan menggangu rutinitas dan tradisi yang
berlaku di dayah selama ini. Selain juga, dikhawatirkan jika para santri akan
terkena virus orientalisme.
Untuk menjawab kekhawatiran tersebut,
pada Rabu, 20 November 2013 yang lalu Tim Redaksi berkesempatan mewawancarai
Tgk.Muntasir Abdul Kadir, S.Ag, MA, ketua STAI Al-Aziziyah Samalanga di salah
satu tempat di Banda Aceh. Berikut
petikan wawancaranya:
Tgk Muntasir Abdul Kadir |
Apa
semangat yang melatarbelakangi Pendirian STAI Al-Aziziyah ?
Dengan mengutip pandangan yang disampaikan oleh Abu
Mudi dalam berbagai kesempatan, boleh saya sampaikan, bahwa kebutuhan dunia
dakwah di era globalisasi yang semakin komplek. Kebutuhan ini mengharuskan agar
alumni-alumni dayah terjun dalam berbagai dimensi kehidupan. Oleh sebab itu,
alumni dayah perlu dibekali dengan berbagai disiplin ilmu, khususnya yang
berhubungan ilmu komunikasi dan sosial. Jadi, pendidikan Perguruan Tinggi (PT)
adalah salah satu alternatif untuk memperkuat pemahaman para santri terhadap
beberapa disiplin ilmu tersebut yang tidak diajarkan dalam kurikulum dayah secara
khusus.
Di samping itu, untuk memasuki dunia dakwah yang
bersifat legal formal, seperti di lembaga pemerintah, maka diperlukan ijazah
formal yang itu hanya boleh dikeluarkan oleh lembaga Perguruan Tinggi resmi.
Dan ini juga penting karena mengingat banyak kebijakan penting yang boleh
diaplikasi secara langsung oleh mereka yang memiliki jabatan dalam struktur
birokrasi pemerintah. Realitas ini mengharuskan agar kader-kader dari ulama
untuk masuk dalam sistem birokrasi tersebut.
Menurut
Tgk, seberapa penting Sekolah Tinggi lahir di dayah?
Dalam ajaran Islam, ada hukum Fardhu
‘Ain dan juga Fardhu Kifayah. Dakwah melalui saluran resmi birokrasi
pemerintah akan memudahkan penyebaran ideologi Ahlusunnah Wal Jama’ah
yang itu merupakan agenda yang menjadi tujuan ulama dayah. Kalaupun itu bukan Fardhu
‘Ain, maka ia tidak akan lari dari konteks Fardhu Kifayah.
Bagaimana
Kiprah STAI Al-Aziziyah Selama Ini?
Saat ini di STAI Al-Aziziyah kami
membina sebanyak 3000 orang mahasiswa dan mahasiswi aktif. Mereka berasal dari
berbagai daerah. Dari tahun ke tahun, jumlah mahasiswa yang mendaftar kuliah di
STAI Al-Aziziyah selalu meningkat. Sementara itu, pasca berdirinya dari tahun
2004, STAI Al-Aziziyah sudah melahirkan lebih kurang 600 orang alumni yang
tersebar di seluruh Aceh. Sebagian di antara mereka ada yang menjadi da’i-da’i
di Kabupaten/Kota, termasuk da’i-da’i di perbatasan. Sementara sebagiannya lagi
sudah masuk dalam instansi dan birokrasi pemerintah. Selain itu, ada juga yang
sedang melanjutkan studi S2 dan S3. Kehadiran mereka tersebut diyakini pada
suatu saat nanti akan membawa warna Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah di
tempat mereka mengabdi.
Pengalaman
di Dayah MUDI Mesra Samalanga, apakah kehadiran STAI Al-Aziziyah bisa
mengganggu rutinitas kegiatan pendidikan dayah?
Dayah
MUDI Mesra Samalanga dikenal sebagai dayah yang sangat ketat mengatur jadwal
pendidikan bagi para santrinya. Ada sebanyak tiga waktu utama yang digunakan
sebagai jadawal belajar para santri, yaitu setelah Shalat Maghrib sampai pukul
23.30 WIB, kemudian pada pukul 08.00 pagi sampai pukul 11.30, seterusnya pada
pukul 14.00 sampai menjelang Ashar. Bagi santri yang mengambil jadwal kuliah
hanya menggunakan waktu dari pukul 14.00 sampai menjelang Maghrib.
Ini artinya,
bagi santri yang kuliah, mereka hanya mengorbankan jadwal belajar Kitab Kuning
yang dari pukul 14.00 sampai menjelang Ashar. Selebihnya, mereka tetap ikut
pengajian kitab kuning seperti santri-santri lainnya.
Kalau
seperti itu keadaannya, apakah itu bisa memaksimalkan pemahaman mereka terhadap
ilmu-ilmu di perkuliahan, kan waktu kuliah mereka sangat sedikit?
Justru inilah keunggulannya.
Maksud
Tgk?
Begini
ya, para santri di Dayah MUDI Mesra hidup dalam lingkungan dimana dari pagi
sampai malam berhadapan dengan tradisi belajar. Pendidikan kitab kuning yang
diajarkan pada waktu malam dan pagi hari tentunya sangat membantu memperkuat
pola pikir dan pemahaman mereka terhadap berbagai disiplin ilmu agama. Dan ini
sangat membantu proses peningkatan kapasitas mereka sebagai mahasiswa di Sekolah
Tinggi Ilmu Agama.
Apa
Tgk tidak takut mahasiswa di STAI Al-Aziziyah akan dipengaruhi pemikiran
orientalis, bukankah selama ini banyak mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam lain
yang teracuni oleh pemikiran orientalis yang ingin menghancurkan Islam dan ummatnya?
Abu Mudi (Tgk.H.Hasanul Basry, HG, red), selaku
pendiri dan muassis STAI Al-Aziziyah, dalam berbagai kesempatan diskusi
dan ceramah yang disampaikan oleh beliau selalu saja menegaskan bahwa
pengelolaan STAI Al-Azizyah tidak boleh lari dari prinsip Ahlusunnah wal
Jama’ah. Saya selaku ketua STAI Al-Aziziyah selalu menyiasati penegasan Abu
Mudi ini dengan menyeleksi dosen-dosen tenaga pengajar yang memiliki basis
akidah Ahlusunnah wal Jama’ah yang kuat. Alhamdulillah dari sekitar 97
orang dosen yang ada di STAI Al-Azizyah sekarang, 80 persennya adalah alumnus
dari dayah sehingga menjamin sterilitas kampus dari pemikiran di luar mainstream
Ahlusunnah wal Jama’ah. Jadi, justru kehadiran STAI Al-Aziziyah menjadi
alternatif bagi wali calon mahasiswa khususnya dan masyarakat Aceh umumnya yang
ingin anaknya selamat dari virus-virus paham orientalisme tersebut.
Apa harapan
Tgk terhadap dayah-dayah yang lain?
Satu
STAI Al-Aziziyah dengan pola pendidikan seperti yang saya jelaskan di atas
tidaklah cukup untuk menjawab kebutuhan masyarakat Aceh. Diperlukan beberapa
dayah lain yang memiliki potensi untuk membuka Perguruan Tinggi seperti ini.
Namun, perlu juga ada beberapa dayah yang tetap mempertahankan tradisi dayah
dengan pembelajaran totalitas terhadap kitab kuning. Kita berharap, dengan adanya
dayah yang berjalan atas dua pola tradisi tadi yang keduanya saling menghormati
dan mendukung eksistensi masing-masing, maka akan melahirkan kader-kader ulama
dayah masa depan yang dari satu sisi sangat kuat pemahaman kitab kuningnya, dan
di sisi yang lain juga memiliki kapasitas dan legalitas untuk terjun berdakwah
dalam ranah birokrasi yang legal dan formal. (teuku zulkhairi)