Trik Erdogan Memperjuangkan Jilbab di Turki
Muslimah Turki (rol) |
Perdana
Menteri (PM) Turki Recep Tayyib Erdogan atau lebih tepatnya Partai Keadilan dan
Pembangunan (AKP) membutuhkan waktu hingga 10 tahun guna mengubah undang-undang
yang melarang jilbab masuk ke institusi negara.
Dalam
rentang 10 tahun itu istri sang PM dan sang presiden (Emine Erdogan dan
Hayrunnisa Gul) terpaksa tidak bisa mendampingi suami mereka di rumah dinas dan
istana negara. Karena alasan jilbab pula, PM Erdogan kemudian menyekolahkan kedua
anak perempuannya ke Amerika Serikat dan Bosnia.
Bulan
lalu, PM Erdogan mengumumkan paket reformasi yang telah disetujui parlemen.
Paket reformasi itu mencakup antara lain pencabutan undang-undang yang melarang
penggunaan jilbab di berbagai institusi pemerintah/negara.
Sebelumnya,
larangan berjilbab di kampus-kampus, termasuk di sekolah-sekolah dan perguruan
tinggi negeri, juga telah dicabut. Dengan begitu, para pegawai negeri perempuan
kini bebas mengenakan busana Muslimah dan laki-laki boleh memelihara jenggot.
Namun, larangan memakai jilbab dan berjenggot masih tetap berlaku untuk
tentara, polisi, hakim, dan jaksa.
Paket
reformasi yang mencabut undang-undang larangan berbusana Muslimah di institusi
pemerintah/negara ini merupakan lompatan besar dan merupakan beberhasilan
partai pemerintah, Partai AKP pimpinan Erdogan. Sepuluh tahun lalu, atau
tepatnya pada 2002, ketika AKP memenangkan pemilu dan mengantarkan Erdogan
menjadi PM Turki, partai berhaluan Islam ini berjanji akan mencabut larangan
mengenakan busana Muslimah ini di semua institusi pemerintah.
Namun,
untuk merealisasikan janji itu ternyata tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Di Turki, meskipun 98 persen penduduknya beragama Islam, masalah jilbab
atau hijab bukan hanya urusan beragama masing-masing individu. Jilbab sudah
menjadi simbol politik.
Simbol
bagi kalangan sekuler dan juga simbol bagi mereka yang peduli dengan agama
Islam. Bagi partai-partai sekuler, larangan berjilbab di institusi-institusi
pemerintah merupakan realisasi dan perwujudan dari Republik Turki modern yang
didirikan oleh Mustafa Kamal Ataturk sejak 90 tahun lalu.
Turki
modern yang dimaksud adalah dengan tetap menjaga dan memelihara kesekuleran
negara. Yaitu dengan menghilangkan atau melarang simbol-simbol agama masuk dalam
institusi-institusi pemerintah/negara. Termasuk larangan mengenakan atribut
agama, terutama jilbab, di institusi-institusi negara tadi. Dengan kata lain,
memperbolehkan atribut agama masuk di institusi pemerintah/negara berarti telah
menghilangkan ciri dan status dari sekularisme Republik Turki modern.
Di
lain pihak, kalangan Islam di Turki menyatakan bahwa sekuler yang benar justru
memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada setiap individu untuk
melaksanakan ajaran agamanya masing-masing, antara lain mengenakan busana
Muslim/Muslimah. Apalagi, umat Islam di Turki merupakan mayoritas. Karena
itulah, kalangan Islam, terutama partai politiknya, terus berusaha
memperjuangkan Islam, termasuk mengenakan atribut-atribut keagamaan.
Yang
pertama memperjuangkan jilbab adalah Najmuddin Erbakan ketika menjadi PM Turki
pada 1996. Namun, lantaran terlalu menonjolkan agenda Islam, ia akhirnya
dikudeta oleh militer (1997) yang saat itu mepakan benteng dan penjaga
sekularisme Turki. Bahkan, seorang anggota parlemen perempuan dari Partai Refah
(Partai Kesejahteraan) pimpinan Erbakan, Marwah Qawaqiji, yang berhasil
memasuki gedung parlemen dengan berjilbab, dipaksa keluar oleh para anggota
parlemen lainnya dari partai kiri sekuler.
Belajar
dari kasus Erbakan, Erdogan kemudian menggunakan trik lain ketika menjadi PM.
Pertama, ia tidak pernah menonjolkan simbol-simbol keagamaan dalam
memperjuangkan penerapan Islam, terutama yang menyangkut jilbab. Alasan yang ia
kemukakan adalah hak asasi manusia (HAM). Dengan mengangkat HAM, menjadi tidak
ada alasan bagi kalangan sekuler untuk menentangnya.
Apalagi,
ketika meluncurkan paket reformasi, terutama yang terkait dengan jilbab,
Erdogan menegaskan langkahnya itu sebagai bagian dari upaya memperkuat Turki
mengajukan diri sebagai anggota penuh Uni Eropa. Yang terakhir ini juga
merupakan keinginan kalangan sekuler selama bertahun-tahun namun terkendala
lantaran banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan sekuler
sebelumnya.
Kedua,
ia harus membuktikan bahwa partainya ketika berkuasa mampu menyejahterakan
rakyat dan meningkatkan ekonomi Turki. Hal inilah yang kemudian dibuktikan AKP
selama 10 tahun berkuasa. Sebagai misal, pendapatan per kapita yang 10 tahun
lalu hanya 3.000 dolar AS, kini–dalam masa 10 tahun pemerintahan Erdogan–sudah
mencapai 14 ribu dolar.
Pertumbuhan
ekonomi Turki rata-rata di atas enam persen/tahun. Bandingkan dengan
negara-negara Eropa yang kini ekonominya terpuruk. Bahkan, Turki yang sepuluh
tahun lalu dijuluki oleh Barat sebagai negara sakit, kini sudah menjadi
kekuatan ekonomi ketujuh di Eropa.
Angka
pengangguran juga sangat rendah. Begitu juga dengan korupsi. Selama menjadi PM,
Erdogan memang sangat keras terhadap tindak korupsi dan pencucian uang negara.
Apalagi, bila pelakunya adalah orang-orang dari partainya.
Dengan
tingkat ekonomi dan kesejahteraan yang membaik, hal itu tentu tidak hanya
dinikmati para pendukung AKP, tapi juga seluruh rakyat Turki, termasuk oleh
kalangan oposisi dari kelompok sekuler dan liberal. Tak mengherankan bila kemudian
Partai AKP dalam 10 tahun terakhir selalu menang dalam tiga kali pemilu.
Perolehan suaranya pun selalu meningkat dari pemilu ke pemilu berikutnya.
Dengan
kondisi demikian, Erdogan tidak terlalu sulit untuk meluncurkan berbagai paket
reformasi. Termasuk, pencabutan larangan penggunaan jilbab di
institusi-institusi negara. (Ikhwanul Kiram Mashuri/rol)