Mengekspos Capaian Syari’at Islam di Aceh
Teuku Zulkhairi |
TIDAK
dapat dipungkiri bahwa implementasi syariat Islam di Aceh dewasa ini membawa
banyak perubahan dalam kehidupan bangsa Aceh. Tugas-tugas dakwah dan perlawanan
terhadap kemaksiatan dan seruan untuk hidup dalam naungan Islam telah banyak
yang menjadi agenda pemerintah Aceh. Pada saat yang bersamaan, perilaku dan
pola berfikir yang bertentangan dengan hukum Allah kian menjadi sorotan
sehingga “teriakan” dan tuntutan untuk kembali ke jalan Islam kian bergema.
Garis
demarkasi yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan semakin nampak, dan
kebatilan pun semakin terlihat sebagai kebatilan. Sebagai contoh, meskipun saat
ini pekerjaan maksiat masih merajalela di Aceh, namun sebuah pekerjaan maksiat
telah dipandang oleh segenap masyarakat Aceh sebagai sesuatu yang tercela,
melanggar aturan agama, adat dan etika sosial kemasyarakatan. Mereka yang
mendukung kemaksiatan akan semakin tersisih. Inilah sebenarnya keberhasilan
terbesar dari syariat Islam di Aceh.
Berbicara
tentang syariat Islam sesungguhnya bukanlah tentang hasilnya saja, tapi juga
bagaimana ia berproses. Terus bergerak atau berhenti. Bergerak berarti
berhasil, berhenti berarti gagal. Adanya penolakan-penolakan terhadap syariat
Islam dengan berbagai alasannya merupakan sebuah ketentuan sunnatullah, bahwa
“pertempuran” antara yang haq dan yang bathil akan terus berlangsung hingga
hari kiamat.
Demikian
pula dengan syariat Islam di Aceh. Upaya pembusukan terus berlangsung. Mulai
dari logika-logika Islam liberal yang terus menghadang proses implementasinya.
Pembentukan opini bahwa syariat Islam seolah diskriminatif, menindas dan
melanggar hak asasi manusia (HAM). Tekanan dari dunia internasional atas nama
HAM sampai penolakan Qanun-qanun syariat. Di lain sisi, kita juga menjumpai
realitas minimnya pemahaman dan praktik kehidupan yang Islami dalam diri masyarakat
dan pemerintah kita.
Dari
sejumlah tantangan tersebut, yang paling berbahaya mungkin terletak pada adanya
proses pembusukan terhadap syariat yang datang dari luar Aceh maupun dari dalam.
Pada saat yang bersamaan, keberhasilan penerapan syari’at Islam juga kurang
mendapat publikasi yang cukup. Padahal, sejarah membuktikan bahwa yang
menguasai opini publik, dialah yang akan jadi pemenang. Maka, proses
implementasi syariat Islam di Aceh seharusnya harus terbentuk secara positif
dalam dinamika opini publik di berbagai ruangnya.
Meskipun
upaya-upaya pelemahan syariat Islam jelas tidak bisa dihindari, namun
seharusnya upaya untuk melindungi syariat Islam dari pembusukan dan pelemahan
harus lebih massif lagi. Majalah Suara Darussalam, bertekad
menjadi bagian dari upaya membangun optimisme dan image positif dalam
penerapan syari’at Islam di Aceh.
Edisi
perdana majalah ini, kami angkat bahasan tentang keberhasilan penerapan
syari’at Islam di Aceh menurut Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA, guru besar
IAIN Ar-Raniry. Begitu juga, kami angkat pula pengakuan Pembimas Kristen di
Kanwil Kemenag Aceh tentang tolerannya masyarakat Aceh terhadap agama yang
berbeda, sehingga menurutnya, ia menjadi lebih Katolik saat ia kini bertugas di
Aceh.
Tak lupa pula, kami angkat analisa dari hasil wawancara kami dengan
Kepala Dinas Syari’at Islam Prov. Aceh, Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA tentang
problema dan apa yang menjadi persoalan dalam penerapan syari’at Islam di Aceh
selama ini yang harus kita benahi bersama. Jadi, saat kami mengangkat bahasan
tentang keberhasilan penerapan syari’at Islam di Aceh, bukan berarti kami lupa
melihat proses penerapan syari’at Islam secara kritis dan problem-problem yang
harus dibenah (teuku zulkhairi)