Kudeta Mesir: Siapa Diuntungkan?
Demonstran Anti Kudeta Diserbu Militer Pendukung Kudeta |
"Kita semua mendukung As-sisi, semua mendukung kudeta militer. Kita semua mendukung para jenderal yang cukur jenggot, yang pernah belajar di Amerika, dan kami mendukung penuh ulah mereka menggulingkan presiden terpilih yang berjenggot (maksudnya Dr. Muhammad Moursi, Pen)".
--- Arieh Shavit, Pemikir Israel---
Oleh Edi Saputra, MA | Mahasiswa asal
Aceh di Mesir
MELIHAT
kondisi perpolitikan Mesir sekarang, terbisik di hati kita sebuah pertanyaan: Siapa yang beruntung dari kudeta militer di
Mesir?
Ahli strategi dari
Turki, Dr. Yasin Aktay, dalam sebuah acara dialog televisi dengan topik "Bila Hudud" menyatakan, sebuah kudeta tidak akan bisa
dilakukan oleh militer terhadap pemerintah yang sah tanpa dukungan secara
serentak dari pihak dalam dan pihak luar.
Jika itu benar, berarti
kudeta yang terjadi baru-baru ini di Mesir tidak terlepas dari konspirasi pihak-pihak
tertentu. Dari dalam negeri, berupa musuh politik pemerintah yang sah, dalam
hal ini kelompok oposisi. Serta pihak
luar negeri, berupa musuh negara secara umum.
Demonstran Memegang Poster Dr Muhammad Mursi |
Secara ideologi, mayoritas penduduk Mesir menganut agama Islam. Pascarevolusi, Islam bangkit sebagai kekuatan baru yang diramal bakal berbahaya bagi keberadaan Israel,
dan mengancam kepentingan negara-negara yang menganut paham liberal,
kapitalis, dan sosialis.
Timbul
anggapan, jika kekuatan Islam ini tidak cepat diatasi, maka ini sangat berbahaya bagi kepentingan
dan keamanan negara-negara itu.
Apalagi Moursi, Presiden Mesir pertama yang terpilih
secara demokratis pernah mengatakan
dengan tegas, “Mesir berusaha memperoleh
kemapanan dari tiga unsur asasi; militer, pangan, dan kesehatan.” Pada Kamis (25/7/2013) lalu, Hisyam Qindil, mantan Perdana Menteri Presiden Moursi,
mengatakan bahwa, keinginan Moursi untuk memapankan ketiga unsur inilah yang
menyebabkan Moursi dikudeta.
Oleh karena itu,
keinginan negara-negara tersebut untuk menggulingkan pemerintahan DR. Moursi
yang berideologi Islam, sangat urgen
untuk dilaksanakan. Yaitu dengan cara memanfaatkan
konflik politik yang sedang berlangsung di negeri tersebut.
Ada beberapa data menarik
yang terjadi menjelang terjadinya kudeta: Di antaranya, tanggal 13 Juli 2013,
surat kabar The Wall Street Journal Amerika mengeluarkan sebuah berita
dengan judul "Rezim Lama telah Kembali Menguasai Mesir." Berita yang
dimuat oleh surat kabar ini menyebutkan, yang
berperan dalam kudeta terhadap Dr. Moursi adalah empat kelompok: (1) beberapa
tokoh oposisi terhadap pemerintah Moursi, (2) sebagian dari kalangan jenDral
militer, (3) perwakilan dari gerakan tamarrud, dan (4) unsur-unsur dari
partai rezim Mubarak; Hizbul Watani.
Dan di antara
informasi yang dimuat oleh surat kabar itu, bahwa pertemuan antara beberapa
jenderal dengan tokoh-tokoh oposisi, perwakilan gerakan Tamarrud, dan
perwakilan elemen Hizbul Watani, berlangsung secara teratur beberapa bulan yang lalu.
Disebutkan, pertemuan itu berlangsung di Officers Club Angkatan Laut di Kairo. Para Jenderal itu mengatakan bahwa, jika oposisi mampu mengumpulkan
massa dengan jumlah
yang cukup, maka militer akan melakukan intervensi untuk mengisolasi
presiden DR. Moursi secara paksa.
Dan dari informasi yang disebutkan oleh jurnal itu, pengacara Ahmed Ezz (Ketua Umum Partai Hizbul Watani) yang juga orang
terdekat Gamal
Mubarak (Sekjen Partai Hizbul
Watani dan putra Husni Mubarak) menghadiri beberapa pertemuan konspirasi rahasia itu.
Surat kabar Shorouk
(16/7/2013) juga memuat tulisan Ahmed Mansur di rubrik opini yang
berjudul: Rahasia di Balik Baradei. Tulisan tersebut merupakan hasil
wawancaranya dengan Khairat Syatir, wakil Mursyid Jamaah Ikhwan Muslimin, salah
satu orang terdekat DR. Moursi.
Ahmed Mansur menulis, beberapa
minggu sebelum diisolasi Moursi dari jabatan sebagai Presiden oleh militer, delegasi
dari negara Eropa melobi dan mendesak Moursi untuk mengangkat Muhammad Baradei
sebagi perdana menteri. Mengingat konstitusi Mesir memberi peran yang lebih pada
Perdana Menteri. Desakan itu tentu saja untuk kepentingan Eropa, walaupun
beralasan untuk mengatasi konflik antara pemerintah dengan oposisi, karena
Baradei adalah salah satu tokoh penting di barisan oposisi.
Fahmi Huwaidy dalam
artikelnya di surat kabar Shorouk (16/7) mengatakan, ada informasi yang
ia ketahui, bahwa duta besar Amerika Anne Patterson juga membujuk Moursi untuk
memenuhi beberapa hal yang merupakan permintaan dari Washington.
Jika permintaan itu dipenuhi, maka Washington akan mengupayakan negara-negara
kaya Teluk untuk berinvestasi di Mesir untuk membantu mencegah krisis ekonomi
yang sudah berlangsung sejak sebelum Moursi berkuasa. Jika Moursi tidak
memenuhi tuntutan tersebut, sulit bagi negara-negara Teluk untuk menanam saham
di Mesir, karena kunci keuangan Teluk ada di genggaman Amerika Serikat.
Surat-surat kabar
Israel juga mempertegas adanya konspirasi tersebut dengan menurunkan berita,
bahwa tiga hari sebelum isolasi terhadap Moursi, tokoh oposisi Muhammad Baradei
dan beberapa pembesar militer Mesir berkunjung ke Israel dalam rangka melakukan
pertemuan dengan pemerintah Israel. Pertemuan tersebut berlangsung lima jam.
Dan hingga kini pertemuan tersebut tidak pernah dibantah oleh Baradei dan pihak
Militer.
Satu hari sebelum
terjadi isolasi terhadap Moursi, surat
kabar Shorouk memberitakan, panglima militer As-sisi melangsungkan pembicaraan
via telepon dengan menteri pertahanan Amerika Chuck Hagel. Hubungan tersebut terus berlangsung hinga setelah terjadi kudeta.
Beberapa media masa di Mesir juga menyebutkan, setelah
terjadinya
kudeta, As-sisi kerap melangsungkan
pertemuan mendadak dengan Duta Besar Amerika di Kairo.
Yang tak kalah menarik
untuk disimak adalah, respon Israel pascasuksesnya konspirasi yang mengahasilkan
kudeta terhadap Moursi. Saya mencoba memberikan data-data berikut:
Tanggal 6 Juli 2013, Radio Ibrani melaporkan, Perdana Menteri Israel Netanyahu menyarankan kepada
pemerintah
Amerika untuk mendukung suksesnya pemulihan
ekonomi
baru di Mesir, di bawah kekuasaan militer. Hal
itu bertujuan
mencegah kembalinya kekuatan Islamis untuk
memegang
kekuasaan di Mesir.
Tanggal 9 Juli 2013, surat kabar Haaretz melaporkan di situsnya, mengutip dari seorang pejabat senior di pemerintah AS, bahwa pemerintah Israel melalui sejumlah media massa menyeru pejabat senior yang
ada di Amerika Serikat untuk tidak membekukan bantuan Amerika untuk militer Mesir, yang mencapai USD 1.3 Miliar
pertahun, yang sudah berlangsung sejak tahun 1981, pasca penandatanganan perjanjian
Camp David. Mengingat undang-undang pemerintah AS tidak membolehkan memberi
bantuan terhadap pemerintah yang diperoleh secara kudeta.
Edi Saputra, Penulis |
Surat kabar itu menambahkan bahwa, perundingan panjang
antara
Israel-Amerika membicarakan tentang kejadian
yang sedang berlangsung di Mesir. Dan itu juga objek pembicaraan sebelumnya antara Perdana Menteri
Benjamin Netanyahu dan Menteri Luar Negeri Amerika
John
Kerry. Juga antara Menteri Keamanan Israel Moshe Yaalon, dengan Menteri Pertahanan Amerika Chuck Hagel, dan juga percakapan antara Penasihat Keamanan
Nasional Israel Jacob AmiDror, dan mitranya dari AS Susan Rice.
Pada hari yang sama (9/7/2013) surat kabar Israel menerbitkan sebuah artikel, yang
ditulis oleh seorang pemikir ternama Boaz Basmot, di mana ia mengatakan, kudeta terhadap DR. Moursi
mensinyalir berakhirnya Arab
Spring. Itu merupakan pergeseran strategi baru, melebihi pentingnya kekalahan Mesir melawan Israel pada tahun 1967.
Pada tanggal 11 Juli 2013, surat kabar Haaretz memuat sebuah artikel yang
ditulis oleh pemikir
Israel Arieh Shavit. Ia mengatakan, yang
terjadi di Mesir merupakan kemenangan bagi Israel, "Kita semua mendukung As-sisi, semua mendukung kudeta militer. Kita semua mendukung para jenderal yang cukur jenggot, yang pernah belajar di Amerika, dan kami mendukung penuh ulah mereka menggulingkan presiden terpilih yang berjenggot (maksudnya DR. Moursi. Pen)".
Ternyata, Israel
menari-nari dengan keberhasilan konspirasi itu. Barak Obama Presiden Amerika
juga ikut tersenyum, dan mengumpamakan hari
isolasi terhadap Presiden Moursi seperti
hari jatuhnya Husni Mubarak.
Sekarang, mari kita
ulangi pertanyaan di judul tulisan ini: Siapa
yang beruntung dari kudeta terhadap Presiden
Mesir DR. Moursi?” Kalau sudah jelas jawabannya, mengapa masih ada yang belum terbangun
dari tidurnya! Mudah-mudahan, kaedah "akhaffudh dhararain"
(resiko yang paling ringan) yang pernah dipopulerkan oleh Syekh Azhar sebagai
dalih untuk meugudeta Presiden Moursi, bisa
kembali didengungkan untuk mengembalikan DR. Moursi sebagai Presiden
Mesir.
Mesir sekarang sedang dalam musibah, sebagaimana Aceh, pada tahun 2004 dulu, juga mengalami musibah. Akan tetapi, jenis musibahnya berbeda, apabila Aceh
kala itu diterjang Sunami, maka Mesir sekarang diterjang peluru JenDral Abdul
Fatah Es-Sisi. Lebih tepatnya, pembasmian massal terhadap
komunitas Ikhwan Muslimin
(IM), yang presiden DR. Moursi berasal dari
komunitas tersebut.
Pada saat Aceh
dihantam Sunami, peresiden DR. Moursi, yang
waktu itu anggota parlemen Mesir, berkunjung ke Aceh,
untuk membantu rakyat Aceh yang sedang dalam kesusahan dan
musibah besar. Dengan kunjugan itu, dapat kita katakan, bahwa satu-satunya presiden Mesir yang
bernah berkunjung ke Aceh
adalah DR. Moursi.
Uluran langkah beliau ke Aceh kala itu, meninggalkan bekas
kebanggaan di hati rakyat Aceh, dan sejarah Aceh akan mencatat itu dengan tinta
emas. Dan bagi mahasiswa Aceh yang sedang menuntut ilmu di Mesir, kunjungan itu
adalah kenangan yang selalu dijadikan kebanggaan, khususnya pada saat mereka
berinteraksi, dan berbagi pengalaman dengan teman-teman mereka di kampus
Al-Azhar-Mesir.
Sekarang, sosok kebanggaan itu sudah diisolasi dari
jabatannya sebagai Presiden oleh militer.
Dan para pendukung sang presiden sedang dalam penindasan, kecaman, pembakaran,
penembakan, pelecehan dan perusakan
citra dan nama baik. Kejadian itu menyisakan satu perasaan, bahwa "bukan
hanya mereka yang merasa musibah, tapi Aceh juga ikut musibah," sebab, sosok
yang selama ini menjadi idola, kini berada di penjara, dengan tuduhan yang
sangat konyol dan tidak masuk akal "membongkar rahasia negara kepada Hamas."
Apabila kita ikuti perkembangan yang berlangsung di Mesir
selama 2 bulan ini, kita akan diperdengarkan dengan berita-berita seperti
kejadian tahun 90-an di Aceh dulu,
semasa DOM. Kematian di mana-mana,
penembakan, pelecehan, pengejaran, pembakaran, tuduhan terhadap orang yang
tidak bersalah, pembunuhan secara kejam, adalah kejadian yang sangat
menyedihkan dan menggigit hati.
Ya, memang menyedihkan! Lalu, apa yang semestinya kita
lakukan?
Sebagai rakyat yang pernah dikunjungi oleh Presiden
Muhammad Muorsi ke tempatnya, dan selaku rakyat yang pernah mendapat bantuan
dari beliau, kita harus berdoa, supaya musibah yang sedang menimpa mereka segera
berakhir. Dan kebebasan dan kemerdekaan yang
sudah dirampas dari mereka, segera dikembalikan. Sebagai rakyat biasa, itu adalah hal yang paling mungkin kita lakukan. Dan Ormas-Ormas Islam di Aceh –alhamdulillah-
telah bertindak melebihi dari sekedar berdoa,
yaitu "Orasi
bersama", kemarin
(21/08) di mesjid Mesjid Raya Biturrahman. Dan mereka juga telah menyurati Presiden SBY terkait kejadian yang
menimpa saudara kita di Mesir sekarang.
Untuk sekala pemerintahan, sepatutnya, pemerintah Aceh, di
bawah kendali bapak Gubernur Dr. Zaini Abdullah, mengambil satu tindakan resmi
yang lebih khusus dan terfokus, terkait musibah yang menimpa saudara kita di Mesir.
Bila Aceh, beberapa bulan yang lalu
pernah memberi bantuan sosial ke Gaza,
melalui negara Mesir, atas izin dari Presiden Mesir DR. Moursi, yang berkuasa kala itu, maka sekarang sepatutnya pemerintah
Aceh memberi dukungan politik kepada peresiden Muorsi itu. Dukungan yang kita lakukan bukan tanpa dasar dan pijakan. Sebab, Presiden Moursi memenangi
pemilu, dengan perolehan suara lebih
dari 52 persen. Kemudian, Pasca kudeta, survei menunjukan bahwa, pendukung Muorsi bertambah hingga lebih 60 persen, dan pasca
penembakan massal kemarin,
dipastikan pendukung Moursi semakin
bertambah, dan dunia seluruhnya mengecam tindakan membabi
buta JenDral Es-Sisi, yang membunuh -dalam tempo tidak lebih satu hari- lebih
dari tiga ribu orang, dan mencederai lebih dari lima ribu orang.
Dan untuk warga Aceh di Mesir, kita berharap pemerintah Aceh mendesak pemerintah
pusat agar memberi perlindungan kepada
mahasiswa Aceh di sana, dan mahasiswa Indonesia
secara umum. Dan cara yang paling bijak untuk keamaan mereka, dalam situasi
yang tidak menentu seperti sekarang ini, adalah "Evakuasi." Mengapa
harus evakuasi?
Ada tiga alasan mengapa warga Aceh harus dievakuasi: Pertama:
pasca pembunuhan massal, pada hari rabu (14/08) yang lalu, dua warga Filipina
dibunuh oleh orang tak dikenal, kejadian ini tidak menutup kemungkinan terulang
kembali pada warga Aceh. Kedua:
pemerintah Thailand telah memulangkan
warganya dari Mesir, sejak hari minggu
kemarin. Dan
pemerintah Malaysia sedang dalam proses untuk melakukan pemulangan
warganya. Ketiga: evakuasi, selain berfungsi untuk keamanan warga negara Indonesia, juga ia
sebagai tekanan terhadap jenDral Es-Sisi, yang telah merebut kekuasaan dari presiden yang sah,
dan menghisap darah lebih
dari 3 ribu orang yang berunjuk rasa
secara damai.
Saya yakin, kalau Presiden Obama mengalami kondisi yang sama seperti yang
dialami Presiden Moursi, pasti Indonesia akan menangis dan bersedih, mengenang sang Presiden yang pernah menetap di
Indonesia ini, dizalimi oleh militernya. Bukankah terhadap sosok Presiden
Moursi, yang pernah memberi bantuan kepada rakyat Aceh semasa musibah sunami
itu, juga layak untuk kita tangisi, bahkan lebih!
(***)