Mengintip Perjalanan "Suluk" Di Dayah Darussalam
Pelaksanaan Suluk (foto: google) |
Belasan laki-laki dengan sorban yang tidak hanya menutupi kepalanya, tapi
juga membalut wajah-wajah mereka, duduk bersila di atas bangunan tinggi terbuat
dari kayu berukuran sekitar 4X10 meter.
Meski cuaca cukup panas pada siang itu, namun tidak mengusik belasan pria
yang sedang mengikuti "Suluk" beranjak dari duduknya di atas mushalla
Dayah (pondok pesantren) Seramoe Darussalam Gampong (desa) Beuradeun, Kecamatan
Peukan Bada, Aceh Besar.
Suluk adalah berdzikir terus-menerus mengingat Allah SWT, meninggalkan
pikiran dan perbuatan duniawi hanya untuk mendekatkan diri dan memperoleh
keridahaan Allah SWT.
Tidak bisa terlihat jelas wajah mereka karena tertutup kain sorban, yang
merupakan salah satu syarat bagi peserta suluk yang diselenggarakan rutin pada
setiap bulan suci Ramadhan di dayah
tersebut.
Para peserta Suluk di Dayah Seramoe Darussalam itu umumnya laki-laki
dewasa, bahkan juga terlihat beberapa orang tua. Aktivitas mereka, siang hingga
malam hari hanya beribadah untuk mendekatkan diri kepala Allah SWT.
Dayah merupakan sebutan akrab untuk pondok pesantren tradisional (salafi)
di Provinsi Aceh. Aktivitas Suluk atau
dzikir ini merupakan pengajian ilmu dari Tarekat Naqsyabandiyah yang diajarkan
di dayah di kaki bukit Gampong Beuradeun tersebut.
Di dalam kompleks Dayah Seramoe Darussalam di atas bukit itu tidak ada
bangunan permanen, kecuali bangunan bermaterial kayu dan atap daun rumbia
dengan ukuruan sekitar 2x3 meter yang
ditempati para santri.
"Para peserta Suluk bukan dari kalangan santri, tapi masyarakat umum
terutama mereka yang berdomisili dekat dengan dayah. Suluk ini kami
selenggarakan selama 10 hari, terhitung sejak 1 Ramadhan 1434 Hijriah,"
kata pimpinan Dayah Seramoe Darussalam Tgk Harwalis Harun Wali.
Meski peserta Suluk itu berasal dari warga terdekat dengan dayah, namun
mereka tidak dibenarkan untuk pulang atau keluar dari perkarangan pondok
pesentran selama mengikuti kegiatan ritual tersebut.
"Itu memang sudah menjadi kesepakatan antara peserta Suluk dengan
'Mursyid' atau pimpinan dayah. Kesepakan itu tentunya tidak boleh dilanggar.
Namun, jika memang ada sesuatu yang krusial di kampung halaman peserta suluk,
maka baru diperbolehkan untuk pulang," katanya menjelaskan.
Aturan itu diberlakukan agar peserta
Suluk itu benar-benar terkosentrasi hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri
kepada Allah melalui media suluk tersebut, kata Harwalis.
Kendati demikian, ia menjelaskan
jarang aturan yang diberlakukan itu dilanggar oleh peserta Suluk karena memang
jiwanya sudah terikat benar-benar bertaubat dan mendekatkan diri kepada Sang
Khalik, dengan menjauhkan diri dari kegiatan duniawi.
Harwalis juga menjalaskan sebenarnya
Suluk pada setiap Ramadhan ini lebih bersifat aktivitas ibadah dari biasanya.
"Artinya selama mengikuti Suluk,
selain memenuhi ibadah wajib misalnya shalat dan puasa, juga diperbanyak dengan
dzikir baik pada siang maupun malam hari," katanya menjelaskan.
Sehingga, dijelaskan terkadang mata
peserta Suluk itu merah dan cekung dikarenakan memang waktu istirahat dan
tidurnya berkurang. Hati dan mulutnya terus menerus mengingat Allah melalui
dzikir-dzikir.
Harwalis mencontohkan, jamaah peserta
Suluk di dayahnya pada malam hari setelah shalat tarawih dan dzikir, juga
melaksanakan tadarus Al Quran hingga menjelang sahur. Ahli suluk itu hanya
beramal dan beribadah cukup terarah untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT.
Kegiatan Suluk dari tarekat
Naqsabandiyah yang disebarkan oleh Syekh Nuda Waly Al Khalidi itu tidak hanya
dilaksanakan saat Ramadhan, tapi juga bisa pada bulan Zulhijah dan Rabiul Awal.
"Tujuan suluk mencari ridha
Allah. Sedangkan tarekat itu adalah jalan untuk mencari keridhaan Allah atau
membuat kedekatan dengan lahir dan batin," kata Harwalis menjelaskan.
Oleh karenanya, para peserta suluk
itu jauh-jauh hari telah mempersiapkan bekal baik itu fisik maupun psikisnya,
serta juga nafkah selama sepuluh hari di dayah tersebut.
Selain itu, peserta Suluk juga
dilarang memakan makanan yang berdarah selama sepuluh hari mengikuti ritual
tersebut. Para peserta suluk juga
disediakan dapur umum yang setiap harinya untuk menyiapkan makanan berbuka dan
sahur.
"Memang ada pantangan yang
tidak boleh dimakan selama mengikuti Suluk, misalnya yang mengandung darah
seperti daging, dan juga ada unsur
kimia. Itu semata-mata agar perjalanan dzikir tersebut bisa berjalan
lancar," kata pimpinan Dayah Seramoe Darussalam itu.
Tidak diperbolehkannya makanan yang
mengandung kimia dan daging itu, menurut dia karena dapat menjadi penghalang
dalam perjalanan dzikir seseorang hamba.
"Sebab, yang berdarah itu
sesuatu yang disukai syaitan. Kalau juga ada yang makan makanan berdarah, maka itu sebuah pelanggaran. Kalau ada yang
melanggar maka harus mandi sunat taubat," katanya menjelaskan. (Suara Darussalam/az)